11 May
2020
Oleh :
Dahlan Iskan
Saya tidak bisa membayangkan
betapa sulitnya posisi Presiden Jokowi saat ini: cetak uang seperti yang
diinginkan DPR? Atau terbitan obligasi seperti yang diinginkan Menteri Keuangan
Sri Mulyani?
Itulah dua pilihan yang tidak
sederhana. Itu sudah menyangkut mazhab dalam ilmu ekonomi. Itu sudah bukan
masalah furu'iyah. Itu sudah menyangkut akidah ekonomi. Perdebatan soal itu
memerlukan pemikiran tingkat guru besar ekonomi. Tidak boleh lagi hanya
berdasar emosional, solidarity, atau pun logika dangkal.
Kelihatannya Presiden Jokowi
membiarkan dulu perdebatan antara dua kubu itu. Tapi di ujungnya nanti presiden
pasti akan membuat putusan. Untuk mengatasi krisis ekonomi pasca Covid-19 ini.
Bisa saja Presiden akhirnya
memilih cetak uang. Itu berarti Presiden memenangkan kelompok politik. DPR kini
sudah dikuasai mazhab cetak uang. Bahkan DPR sudah memutuskan harus cetak
uang.
Tekanan politik akan sangat kuat
untuk itu.
Bisa juga Presiden memutuskan
pilih mengeluarkan obligasi. Lebih baik menambah utang. Berarti memenangkan
kelompok teknokrat ekonomi. Yang di dalamnya dikomandani oleh Menteri Keuangan
Sri Mulyani dan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo.
Pilihan yang mana pun tidak
masalah. Sepanjang pihak yang dikalahkan tidak bereaksi negatif. Maka presiden
akan menghitung dengan cermat reaksi negatif itu.
Kalau Presiden memilih obligasi
(utang), berarti presiden memenangkan mazhab teknokrat. Alias mengalahkan
mazhab politik. Akankah itu ada risiko politik? Yang sampai membuat koalisi
ambyar? Yang membuat bojo anyar seperti Golkar ngambek?
Sebaliknya kalau Presiden memilih
memutuskan cetak uang. Berarti memenangkan kelompok politik --teknokrat
dikalahkan. Adakah risikonya? Bisa jadi kepercayaan dunia atas Indonesia merosot.
Bahkan bisa saja menteri keuangan memilih berhenti.
Rasanya teknokrat sekelas Sri
Mulyani tidak akan mau mempertaruhkan reputasinyi. Dia tidak akan mau menerima
ide seperti cetak uang. Baginyi itu sudah seperti murtad. Cetak uang tidak ada
dalam ”rukun iman” mazhab ilmu ekonomi yang dianutnya.
Jangan-jangan Presiden akhirnya
memutuskan memilih jalan aman. Yakni pilihan nomor 3: tidak memutuskan apa-apa.
Tidak memutuskan apa-apa berarti
tidak berbuat apa-apa. Lantas dari mana negara mendapat uang untuk membangun
kembali ekonomi?
Rasanya tidak ada lagi sumber
uang yang lain. Pajak dan penerimaan non-pajak sama sekali tidak bisa diharap.
Menarik pajak itu ibarat mengambil telur ayam dari pendaringan. Kini ayamnya
lagi ambyar. Tidak bisa bertelur lagi. Kalau pun dipaksa sampai harus
dipijit-pijit perutnya yang bisa keluar hanya telek.
Berarti Presiden harus membuat
putusan. Tapi pilihan yang mana?
Betul-betul tidak mudah. Kita
bantu doa di malam-malam Ramadan kita. Saya pun rela mencari Lailatul Qadar di
sepertiga terakhir bulan puasa ini. Untuk dipersembahkan demi kekuatan batin
Presiden.
Kini Presiden harus memutuskan
dua perkara besar sekaligus. Pertama, bagaimana bisa memadamkan kebakaran di
negara ini. Kedua, bagaimana membangun negara di atas reruntuhan kebakaran itu.
Saya ikuti terus pergulatan dua
mazhab itu --dari jauh. Begitu keras perseteruan antar dua mazhab itu. Di
puncak kekuasaan republik ini. Untung publik tidak banyak tahu --dan sebaiknya
tidak usah tahu?
Publik juga akan lelah kalau harus
mengikuti pergulatan kelas profesor itu.
Di edisi besok, DI’s Way akan
mengikhtisarkan pergulatan itu. Dengan syarat pembaca tidak boleh emosi. Cebong
dan kampret tidak boleh ikut berkomentar. Ini persoalan yang tidak bisa
diselesaikan dengan emosi dan perasaan.
Saya jadi ingat perdebatan antar
calon presiden Amerika dua periode lalu. Dua-duanya tidak perlu diragukan
kehebatannya, kepintarannya dan nama besarnya.
Yang mana pun yang terpilih tidak
akan salah. Karena itu rakyat diminta memperhatikan di antara dua pilihan yang
sama-sama hebat itu: siapa yang akan lebih siap kalau ada telepon berdering
pukul 3 pagi. (Dahlan Iskan)
No comments:
Post a Comment