Selasa 05
May 2020
Oleh :
Dahlan Iskan
Gubernur
Khofifah ketika melihat cara kerja robot Raisa di RS Unair. Pemprov Jawa Timur,
ITS, dan Unair kali ini bersatu untuk satu tujuan: Lawan Corona!
Perawat
baru itu bernama pendek: Raisa. Tapi langkahnya panjang: tidak pernah
lelah.
Raisa
adalah juga satu-satunya perawat yang tidak akan pernah tertular Covid-19.
Dia
seorang, eh, sebuah robot.
Tempat
dinas Raisa di Rumah Sakit Universitas Airlangga. Yang dikhususkan untuk pusat
penanganan Covid-19 di Surabaya.
Penempatan
pertama Raisa sebenarnya di lantai 5. Itulah lantai khusus untuk ICU. Tapi di
ICU itu pekerjaannyi tidak sebanyak kemampuannyi.
Akhirnya
Raisa dimutasi ke lantai 4 --yang beban kerjanya lebih besar.
Raisa
dilahirkan di Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Bidannyi terdiri
dari 4 dosen dan 12 mahasiswa --elektro, komputer, informatika, dan mesin.
Kepala bidannya: Rudy Dikairono ST, MT --dosen Fakultas Teknik Elektro ITS.
Dengan
hadirnya Raisa, beban perawat di rumah sakit itu berkurang --terutama beban
mental. Kemungkinan tertular sangat berkurang.
Raisa-lah
yang lebih sering berhubungan dengan pasien. Dia yang lebih sering ke kamar
pasien --mengantarkan obat, alat ukur suhu, atau makanan minuman.
Kadang
Raisa perlu agak lama di dekat pasien. Yakni ketika pasien memerlukan dialog
dengan perawat atau dokter. Raisa memang dilengkapi kamera dan screen. Pasien
bisa bertanya kepada perawat yang wajahnya muncul di layar. Lalu si perawat
menjawab lewat layar itu.
Begitu
tugas di kamar itu selesai Raisa kembali ke ”meja kerja”-nyi: kumpul bersama
perawat jaga di ujung lantai itu.
Raisa
yang satu ini belum sepenuhnya ”dewasa”. Raisa sengaja dilahirkan dengan
kecerdasan terbatas. Dia masih harus dibantu dengan remote control.
Bukan
karena ITS tidak mampu. Tapi karena waktu. ”Robot ini harus sudah jadi dalam
dua minggu,” ujar Rudy Dikairono.
Waktu
itu ”cepat berfungsi” lebih utama daripada ”kecerdasan yang sempurna”. Apalagi
yang diprioritaskan adalah faktor keamanan perawat dan dokter. Bukan tingkat
kecanggihannya.
Dengan
hadirnya Raisa, kadar pertemuan langsung perawat dengan pasien turun 60 persen.
Begitulah keterangan perawat di rumah sakit itu.
Tentu
saya tidak bisa melihat langsung kerja Raisa di lantai 4 itu. Prosedur ke RS
itu sangat ketat. Apalagi saya adalah jenis orang yang paling rawan tertular
--tiap hari saya justru minum obat penurun imunitas.
Tapi
saya bisa minta tolong seorang dokter. Saya titip pertanyaan untuk perawat di
sana. Saya kenal dokter itu. Si dokter kenal perawat itu. ”Turun 60 persen,”
adalah kata-kata perawat ke DI’s Way lewat sang dokter.
Raisa
terbukti bisa menunjukkan prestasi kerja. Gubernur Jatim Khofifah Indar
Parawansa pun memesan lagi dua Raisa. Sedang anggaran dari Kementerian Ristek
Dikti masih cukup untuk membuat satu Raisa lagi. Berarti akan ada tiga Raisa
baru di Rumah Sakit Unair.
”Yang
satu sudah selesai. Dua Raisa lainnya bisa jadi dalam enam hari ke depan,” ujar
Rudy.
Rudy
kini lagi menyelesaikan S3 di ITS. Yang penelitiannya juga tentang robot.
Khususnya robot sepak bola. ”Robot sepak bola itu paling advance,” ungkap Rudy.
Ia
sendiri bukan pemain bola. Hanya suka menontonnya. Tapi membuat robot sepak
bola sungguh sulit. ”Tiap tahun ada pertemuan ahli robot sepak bola,” kata
Rudy. ”Tahun ini mestinya di Prancis. Batal gara-gara Covid-19,” tambahnya.
Rudy
ini anak Sidoarjo --dari Desa Sukodono. Sampai sekarang ia masih tinggal di
desa itu. Tiap hari PP ke ITS di kawasan timur Surabaya.
Tentu
SMA-nya juga di Sidoarjo --SMAN 1, satu kandang dengan Rektor ITS sekarang.
Setamat
S-1 Elektro ITS, Rudy ambil double degree: di ITS dan di Fachhochschule
Darmstadt, Jerman.
Tim
ITS, katanya, bisa membuat Raisa hanya dalam dua minggu berkat pengalaman
panjangnya.
ITS
sudah punya tim robot yang mapan. Tiap tahun ada saja gelar juara yang diraih.
Baik tingkat nasional maupun internasional.
Misalnya
tim robot sepak bola itu --juara nasional. Itulah robot sepak bola pertama ITS
--dengan penggerak roda. Tahun berikutnya lebih maju lagi. Disebut robot Ichiro
--penggeraknya sudah bukan roda lagi. Pemain sepak bolanya sudah berlari dengan
kaki.
Lalu
diciptakan lagi robot Barunastra --robot kapal. Yang kita tahu pergerakan kapal
itu juga begitu sulitnya --terutama saat ”take off” dan ”landing”.
Tiga
robot ITS itu semuanya sudah serba otomatis. Bisa diandalkan. Motonya: Satu
hati. Untuk negeri. Wani!
Jadi,
bahwa Raisa masih perlu pakai remote control itu karena memang diinginkan
begitu.
Hampir
saja saya tidak mengenal Raisa. Kalau saja Rektor ITS, Prof. Ir. Mochamad
Ashari, M.Eng., Ph.D, tidak usil. Tiba-tiba saja saya baca, di medsos, Prof
Ashari jadi humas Unair. Tanpa dibayar dan tanpa SK. Rektor ITS itu
mempromosikan Unair.
Prof
Ashari rektor ITS (kiri) dan Rektor Unair, Prof M.Nasih (dua dari kiri).
Ups...
Ternyata mempromosikan ITS juga. Lewat prestasi tim robotiknya itu. ”Nama Raisa
sendiri usulan dari Unair,” ujar Prof. Ashari. Waktu belum dibawa ke Unair
namanya masih Raitsa --ada huruf ”i-t-s” di dalamnya.
Raisa,
kata Prof Ashari, adalah hasil kerja sama dua universitas besar di Surabaya
itu.
Prof.
Ashari baru satu tahun jadi rektor ITS. Ia seperti ”anak hilang” yang kembali
ke ibu kandungnya. Lima tahun lamanya Ashari ”berjuang” di Bandung. Di luar
ITS. Untuk menjadi rektor Universitas Telkom pertama. Yakni gabungan empat
sekolah tinggi Telkom --yang merger menjadi Universitas Telkom. Prof.
Ashari-lah bidan penggabungan itu.
Tahun
lalu Universitas Telkom menduduki peringkat satu universitas swasta di
Indonesia. Dengan jumlah mahasiswa 30.000 orang.
Kini
Prof. Ashari sudah pulang ke kandang. Ia alumnus Elektro ITS. Rumahnya di
Sidoarjo. Di Desa Wonoayu --dekat pesantren besar Bumi Shalawat milik Gus
Ali.
Setamat
S-1 Ashari mencari beasiswa sendiri. Belum ada email waktu itu. Semua proposal
ia kirim lewat faksimile. Usahanya berhasil. Ia diterima di Curtin University
di Perth, Australia Barat. Di situ Ashari menyelesaikan gelar S-2 dan S-3 nya.
Meski
rektor ITS, Prof. Ashari tetap tinggal di Desa Wonoayu. Tidak mau pindah ke
Surabaya. ”Saya memilih bersama ibu di Wonoayu. Tinggal ibu. Ayah sudah
meninggal,” ujarnya.
Ayah-ibunya
asli Desa Wonoayu itu. Petani. Mencangkul dan menanam padi. Tapi 4 anaknya
mentas semua: dua doktor, satu dokter, satu lagi direktur BUMN besar.
Ashari
rajin mempromosikan Raisa. Apalagi akan segera lahir Raisa-Raisa berikutnya.
Dengan nama depan tetap Raisa.
Adik
Raisa itu kemungkinan akan diberi nama Raisa Tiara. Tugasnya di lantai 2.
Adiknya lagi bisa saja bernama Raisa BCL --Backer Calm Down Labour. Untuk
lantai 3. Adik ketiga di lantai 4: Raisa Rosa --ransum, obat, salep,
antiseptik.
Adik-adik
Raisa dibuat lebih pintar. Bisa mengukur suhu dan lain-lain. Sedang Raisa
sendiri akan balik ke lantai 5 --ke ICU. Tapi Raisa akan cuti dulu dua-tiga
hari. Agar kameranya bisa muter-muter. Untuk memonitor berbagai sudut ruang
ICU. Dokter dan perawat ICU bisa tidak sering-sering ke dalam.
Raisa
dan adik-adiknya akan terus membuat Ashari lebih sibuk. Sampai ia rela
menurunkan pangkatnya sendiri menjadi humas Unair. Hasil lebih penting dari status.
(Dahlan Iskan)
No comments:
Post a Comment