Ketika harga minyak dunia sedang melambung tinggi,
Venezuela menasionalisasi perusahaan Migas nya.
Maka jadilah Venezuela sebagai
negara terkaya di dunia..., dalam hal penguasaan Sumber Daya Alam Migas.
Mereka menggunakan kelebihan
dollar..., dengan membeli emas.
Kemudian..., emas itu dijadikan
jaminan untuk mencetak uang.
Para PNS gajinya naik
berlipat..., orang miskin dapat uang..., para pengangguran dapat uang juga
setiap bulan.
Upah para buruh..., setara
dengan upah di negara maju.
Karena itu..., Partai Sosialis
yang berkuasa..., seakan menjadi dewa bagi rakyat.
Bahkan orang venezuela
berkata...:
“Tuhan hadir di dunia..., melalui
Partai Sosialis....“.
Ketika harga minyak dunia mulai
turun...., maka otomatis pendapatan juga turun.
Sementara..., biaya sosial terus
meningkat.
Lama-lama devisa habis..., dan
pemerintah Venezuela meminjam ke luar negeri dengan skema counter trade untuk
membeli barang barang konsumsi rakyat.
Counter trade ...,
adalah sebuah konsep yang membahas mengenai kegiatan ekspor dan impor suatu
negara...; yang mana dari kegiatan ekspor dan impor tersebut disertakan sebuah
perjanjian yang di dalamnya berisikan mengenai perjanjian untuk pembelian
barang kembali..., transfer teknologi..., dan lain sebagainya.
Uang terus dicetak...,
untuk memenuhi belanja sosial.
Karena volume kontrak counter
trade sudah di atas limit..., sehingga tidak ada lagi yang bisa
diijonkan.
Maka..., mereka menjual cadangan
emas untuk impor barang kebutuhan dalam negeri.
Saat itulah mata uang Venezuela
jatuh..., dan terus jatuh karena pemerintah tidak bisa lagi berhutang untuk
impor barang..., apalagi cadangan emas nya sudah habis.
Tapi karena kebutuhan belanja
sosial kepada rakyat tidak bisa ditunda..., pemerintah Venezuela terus mencetak
uang dan membagikannya kepada rakyat.
Tetapi..., barang-barang
kebutuhan rakyat sangat terbatas di pasar.
Semua kebutuhan dalam negeri...,
baik untuk impor bahan baku industri maupun konsumsi rakyat...; Venezuela masih
tergantung impor.
Letter of Credit (LC) yang
diterbitkan bank-bank di Venezuela..., tidak lagi diakui internasional.
Pabrik tutup..., jaringan ritel
tutup..., harga-hargapun melambung.
Tapi..., pemerintah Venezuela
tidak kehilangan akal.
Mereka meningkatkan uang beredar
dengan mencetak uang..., dan membagikannya lebih banyak kepada rakyat.
Namun akhirnya..., barang
yang tersedia di pasar sudah sangat terbatas.
Mana ada pedagang yang mau
dibayar dengan kertas senilai tissue toilet.
Uang..., sudah tidak ada
nilainya.
Karena uang tidak laku..., rakyat
menjual apa saja untuk makan.
Mengapa....?
Karena mereka tidak terlatih
struggle..., terbiasa disuapin dengan politik populis.
Bahkan..., ada yang menjual anak
gadisnya untuk sepiring spaghetti.
Di tengah krisis multidimensi...,
Venezuela harus menghadapi pandemi COVID-19.
Bagaimana mereka bisa
bertarung...?
Sebelum ada COVID-19 saja mereka
sudah menderita kelangkaan obat..., akibat tidak ada uang impor
obat.
Andai mereka berhasil menemukan
sebotol alkohol (disinfektan) di pasar..., harganya 300.000 Bolivares ($ 4,17).
Sementara..., upah minimum
sebulan 350.000 Bolivares (dinilai hanya $ 4,85).
Keadaan ini memaksa mereka
memilih...: makan atau obat.
Apapun pilihannya..., resikonya
sama saja.
Mereka juga tidak bisa lagi
mengambil uang bansos di Bank..., karena senilai USD 50 mata uang mereka harus
diangkut dengan truk mini.
Oleh karena itu...; kIta harus
bersyukur punya pemimpin hebat..., yang tidak terjebak politik populis yang
mengutamakan solusi mencetak uang.
Walaupun kita mengeluarkan
stimulus sebesar Rp. 405 T..., namun yang dibagikan untuk bansos hanya 25%
saja.
75 % tetap untuk tujuan
produksi..., agar setelah Juni kita kebut kerjakan lagi proyek-proyek.
Mari bersyukur…, karena kita
tidak sengsara seperti Venezuela...; yang diberi Tuhan kekayaan Migas dengan
deposit terbesar di dunia tetapi kelaparan.
Itulah harga dari kebodohan
politikus populis.
Rahayu (Babo inspired.....)
No comments:
Post a Comment