Minggu 10 May 2020
Oleh : Dahlan Iskan
Ini memang bacaan hari Minggu. Tapi ibu satu ini luar biasa: Suami kerja di Amerika. Istri kerja di Shanghai. Di manakah dua anaknya akan ”disembunyikan” dari Covid-19?Menariknya suami-istri itu orang
Amerika. Bukan keturunan Tionghoa. Mereka pun diskusi tentang keselamatan dua
anaknya itu. Topik diskusinya: lebih selamat di mana, di Tiongkok atau di
Amerika?
Setiap rumah tangga punya
problemnya sendiri-sendiri. Demikian juga pasangan ini.
Sejak sebelum Tiongkok
dilanda Covid-19, dua anak mereka sudah ikut ibunya di Shanghai. Mereka sekolah
di kota terbesar di Tiongkok itu.
Ketika wabah kian hebat
melanda Tiongkok, di Amerika masih tenang-tenang saja. Seperti tidak mungkin
wabah yang sama akan masuk ke Amerika.
Shanghai pun mengumumkan
sekolah-sekolah harus tutup.
Maka sang ibu mengirim dua
anaknya pulang ke Amerika. Tanpa ada yang menemani. Di bandara Washington
dijemput sang ayah. Sementara Tiongkok dilanda Covid biarlah mereka tinggal
bersama sang ayah di Washington DC.
Mereka pun pindah sekolah ke
sana. Kembali ke sekolah mereka yang lama.
Sebulan kemudian, ternyata
Covid mulai merajalela di Amerika. Cepat sekali. Mulailah ada pengumuman:
sekolah akan ditutup.
Sang istri mengikuti
perkembangan itu demi anaknyi. Dengan tingkat waswas yang tinggi.
Tak lama kemudian Tiongkok
mulai berhasil mengatasi Covid-19. Sedang Amerika kian kedodoran. Sang ibu
ambil putusan cepat: lebih selamat kalau anaknyi ditarik kembali ke Shanghai.
Toh sekolah di Washington akan ditutup.
Soal penanganan pandemi,
sang istri menjadi lebih percaya pada kemampuan Tiongkok.
Sedang keadaan di Amerika
justru sangat mengkhawatirkannyi. Dia tidak percaya sistem di Amerika bisa
bertindak keras seperti di Tiongkok.
Maka dia pun terbang ke
Washington DC. Menjemput sang anak. Begitu mendarat di Washington dia sudah
mengambil kesimpulan: keputusannyi benar. Yakni untuk menarik kembali anaknyi
ke Shanghai.
Saat mendarat di bandara pun
dia sudah tahu: Amerika sangat sembrono --sangat menganggap enteng pandemi ini.
Dia lihat di bandara itu: tidak ada pemeriksaan yang memadai. Di Washington pun
dia lihat sikap orang-orangnya cuek-bebek. Seperti sedang tidak ada pandemi.
Jalan-jalan raya masih ramai. Orang masih berlalu-lalang di mana-mana. Restoran
masih penuh. ”Ini bahaya,” katanyi dalam hati.
Maka tidak sampai hitungan
hari dia sudah berangkat lagi ke bandara. Bersama dua anaknyi. Tujuannya bulat:
Shanghai. Anaknyi akan lebih aman daripada di Amerika.
Hanya 36 jam sang ibu di
Amerika.
Kelak, beberapa hari
kemudian, dia merasa lebih benar lagi. Yakni ketika dia ikuti perkembangan
Covid-19 di Amerika. Yang korbannya terus meroket seperti tak terkendali.
Itulah gambaran seorang ibu
yang lagi terjepit pandemi di antara dua benua.
Kisah berikutnya tidak hanya
menarik, tapi juga penting bagi kita. Agar kita tahu beginilah cara mengelola
masyarakat di tengah pandemi. Harian South China Morning Post, Hongkong, memuat
kisah sang ibu itu. Tanpa menyebutkan nama dan identitas lengkap.
Begitu mendarat kembali di
Shanghai sang ibu menemukan suasana yang begitu berbeda. Begitu ketat. Padahal
wabah sudah mulai bisa diatasi di Shanghai.
Tanggal 15 Maret 2020 dia
mendarat kembali di bandara Shanghai. Bersama dua anaknyi. Suasananya berbeda
sekali dengan di bandara Amerika.
Penumpang pesawat tidak
boleh langsung meninggalkan pesawat. Harus lama duduk manis di dalam dulu.
Sampai semua pemeriksaan selesai. Satu persatu ditanya tentang keadaan badan
mereka. Suhu badan. Obat yang sedang di makan. Pernah pergi ke kota mana saja.
Banyak dokumen kesehatan yang harus diisi. Lalu diperiksa begitu teliti. Dua
jam lamanya ibu dan anak Amerika itu berada di dalam pesawat.
Ketika penumpang akhirnya
diizinkan meninggalkan pesawat, masih harus antre menjelang proses imigrasi.
Dua jam lamanya berdiri di barisan antre itu.
Begitu tiba di depan,
seorang petugas bandara melakukan pemeriksaan lagi. Semua dokumen diperiksa
teliti lagi. Yang memeriksa mengenakan pakaian APD lengkap.
Setelah lolos pemeriksaan
itu masuk lagi ke dalam antrean berikutnya: antre mem-foto copy semua dokumen
kesehatan. Yang sudah lolos dua pemeriksaan sebelumnya. Ada mesin foto copy
Xerox di situ.
Copy-an dokumen tersebut
lantas ditempeli kertas kuning. Artinya, itulah tanda boleh antre di tahap berikutnya.
Yakni antre untuk dilakukan pemeriksaan cepat Covid-19.
Hasil pemeriksaan itu akan
menentukan nasib. Ada tiga kemungkinan: harus karantina di rumah masing-masing,
atau harus karantina di hotel yang sudah ditunjuk. Atau juga harus langsung
masuk rumah sakit.
Setelah melalui proses itu,
barulah bisa ke imigrasi. Untuk pemeriksaan paspor.
Sang ibu bernasib baik:
kondisi badannyi dan anak-anaknyi sangat baik. Mereka dinyatakan harus masuk
karantina di apartemen mereka sendiri.
Untuk itu dia mendapat dokumen
”lolos” dari bandara. Berarti boleh mengambil bagasi.
Tapi bukan berarti sudah
bebas. Untuk pemegang dokumen warna itu dia harus masuk lorong antrean khusus.
Yakni yang menuju bus yang sudah ditentukan. Yakni bus jurusan apartemen sang
ibu. Tidak boleh pakai taksi atau pakai bus lain.
Tapi sebelum menuju bus
khusus itu dia harus men-download Apps khusus. Yakni Apps laporan kesehatan.
Dia harus mengisi daftar pertanyaan di Apps itu. Kondisi badannya harus selalu
dilaporkan lewat ponselnya.
Sampailah sang ibu dan anak
di dekat bus. Dia harus menjalani lagi pemeriksaan suhu badan. Lalu harus
menunjukkan bahwa dia sudah memiliki Apps di ponselnyi.
Masih ada prosedur lain
lagi. Dia hanya boleh mengarantina diri di apartemen sendiri kalau bisa
memenuhi syarat ini: tetangga di apartemen itu mengizinkan. Yang dimaksud
tetangga adalah komite penghuni apartemen (semacam pengurus) dan manajemen
apartemen.
Kalau dua pihak itu tidak
setuju mereka harus karantina di hotel. Ada dua pilihan hotel. Yang tarifnya 30
dolar dan yang 60 dolar. Itulah hotel yang sudah ditentukan. Agar pemerintah
bisa mengawasi dengan ketat.
Sang ibu cukup pede untuk
bisa diterima komite apartemen dan manajemenya. Itu karena sang ibu tinggal di
apartemen yang penghuninya mayoritas orang asing.
Sebelum sang ibu naik bus,
seorang petugas berpakaian ”astronaut” memeriksa paspor. Lalu mengambilnya.
Paspor itu baru akan dikembalikan kalau hasil tes Covid-19 sudah keluar.
Tanpa menunggu pengembalian
paspor sang ibu naik bus besar. Tidak tahu bus itu akan ke mana. Tidak semua
penumpangnya di apartemen yang sama.
Satu jam kemudian tibalah
bus besar itu di sebuah gelanggang olahraga. Sang ibu mengecek di mana lokasi
itu. Dia pun tahu. Di sebuah distrik yang dia kenal.
Penumpang diminta turun dari
bus. Tapi diperiksa dulu nomor penumpangnya. Lalu harus masuk ke dalam antrean
di sport center itu. Sesuai dengan nomor dan warna kertas yang dia pegang.
Sang ibu masuk grup 1. Maka
antrean masuk sport center itu pun harus di antrean 1.
Di dalam gelanggang olahraga
disediakan tempat duduk yang bisa disandarkan. Agar mereka bisa istirahat. Ada
juga pesawat tv dengan program video on demand.
Mereka harus lama sekali di
situ. Untuk menunggu dipanggil satu persatu. Untuk menjalani tes Covid-19.
Petugas astronaut lantas
membagikan selimut. Lalu mengantar roti yang ditaruh di kereta dorong.
Jumlahnya tak terbatas. Dibagi juga susu impor dari Jerman. Sang ibu menaruh
apresiasi tinggi atas susu itu. Orang asing di Tiongkok memang tidak biasa
minum susu lokal. Dibagi juga masker dan air dalam botol.
Jam 20.30 (berarti sudah 7
jam setelah mendarat) namanyi dipanggil. Dua orang perawat berpakaian astronaut
membawanyi ke belakang gedung. Yakni ke halaman yang dipasangi tenda.
Di situlah dilakukan tes
Covid-19. Yakni dengan cara diambil cairan mukus yang ada di dalam hidung -- dekat
tenggorokan.
Selesai pengambilan mukus
sang ibu kembali lagi ke kursi yang bisa disandarkan tadi. Saat inilah sang ibu
waswas. Sambil lesehan di kursi ia membayangkan: jangan-jangan hasilnya positif.
Jangan-jangan tertular saat di Amerika. Kalau sampai sang ibu positif, berarti
akan dipisah dari dua anak kecilnyi.
Panjanglah bayangan sang
ibu. Akan di mana anaknya. Akan di mana pula dia. Bagaimana akan bisa
berkomunikasi. Kalut.
Tapi dia juga kagum. Betapa
banyak orang yang dites di Tiongkok ini. Beda sekali dengan di Amerika.
Bayangan itu membuat sang
ibu tidak bisa tidur. Padahal sudah jam 00.30. Untungnya anak-anaknyi lelap di
balik selimut tebal di kursi sandar itu.
Jam 02.30 terdengarlah pengumuman.
Semua penumpang bus tadi dinyatakan negatif. Bukan main leganyi.
Mereka pun boleh siap-siap
pulang. Baru siap-siapnya. Masih banyak dokumen yang harus diisi dan diperiksa.
Termasuk dokumen pernyataan tidak akan keluar dari apartemen selama 14 hari.
Jam 04.30 barulah mereka
bisa meninggalkan sport center.
Sang ibu akhirnya bisa tiba
di apartemennya sendiri. Di Shanghai.
Tapi jam 9 pagi pintu
kamarnyi sudah diketok. Petugas berpakaian astronaut melakukan pengukuran suhu
badan. Begitu juga sore hari.
Begitulah ketatnya
pemeriksaan di Tiongkok. Sejak dari dalam pesawat sampai tiba di rumah. Itulah
mengapa Covid-19 cepat teratasi di sana.
Saat itu, pada tanggal itu,
penumpang masih begitu bebasnya keluar masuk Indonesia. (Dahlan Iskan)
Foto :Shanghai City
No comments:
Post a Comment