Oleh: Muhamad Chatib Basri
Wabah virus corona atau
COVID-19 yang tengah berjangkit di hampir seluruh dunia menimbulkan banyak
kekuatiran dan kecemasan. Salah satu kekuatiran yang muncul adalah dampaknya
terhadap perekonomian dunia. Salah satunya: resesi ekonomi global. Apakah resesi global akan terjadi dan
bagaimana dampaknya bagi Indonesia?
Saya tak pandai benar
menjawabnya karena pertanyaan yang paling penting belum mampu kita jawab:
berapa lama wabah ini akan berjangkit? Pertanyaan ini menjadi penting karena
durasi dari wabah ini punya implikasi dalam global supply chain (mata rantai jaringan produksi global).
Saya melihat bahwa fenomena
COVID-19 adalah fenomena supply shock.
Apa maksudnya? China adalah salah satu pusat dari jaringan produksi atau hub
dari production net-work. Tak hanya itu, China juga memproduksi bahan pembantu
atau barang modal bagi banyak negara didunia. Terganggunya perekonomin China
akibat COVID-19 akan membuat terganggunya rantai produksi global (global supply
chain). Miudahnya: disrupsi di China akan membuat tidak tersedianya bahan baku,
bahan penolong, barang modal atau komponen yang dibutuhkan oleh negara-negara
lain termasuk di Eropa, Asia dan juga Indonesia. Dalam kondisi ini maka produksi
akan terganggu. Inilah saya sebut sebagai supply shock. Disisi lain melemahnya
China juga berarti mengurangi permintaan terhadap bahan baku, bahan mentah atau
komponen untuk barang jadi yang diprioduksi di China.
Jika COVID-19 ini mereda
dalam waktu pendek, sekitar 3-4 bulan, maka jumlah stock bahan baku, komponen
dsb mungkin masih cukup, sehingga dampak disrupsi supply belum akan terjadi.
Namun bila ini berlangsung dalam jangka waktu panjang, maka perusahaan akan
kehabisan bahan baku, barang modal, komponen untuk produksi. Akibatnya terjadi
disrupsi dalam produksi. Terjadilah supply shock. Implikasi dari supply
shock, aggregate supply atau produksi akan menurun. Penurunan produksi akan
mendorong terjadinya kenaikan harga.
Jika aggregate supply
menurun, implikasinya adalah output akan menurun dan harga akan naik. Didalam
ekonomi, fenomena ini dikenal dengan istilah Stagflation, kombinasi dari
stagnasi dan inflasi. Artinya pertumbuhan ekonomi menurun tapi kenaikan
harga (inflasi) meningkat.
Jika pemerintah atau Bank
Sentral tidak berbuat apa-apa, maka stagflation akan terjadi. Jika pemerintah
dan Bank Sentral melakukan antisipasi dengan mendorong permintaan --melalui kebijakan counter cyclical atau
kontra siklus-- agar ekonomi berjalan (seperti yang dilakukan pemerintah
Indonesia dan Bank Indonesia saat ini), maka ada harapan permintaan akan naik
dan perlambatan ekonomi dapat diatasi. Namun perlu dicatat,
peningkatan permintaan ditengah kondisi produksi yang menurun akan menaikkan
harga. Saya ingin mengingatkan disini bahwa jika wabah berlangsung cukup lama,
kelangkaan akan terjadi dan implikasinya adalah kenaikan harga. Ini akan
memukul kelompok menengah bawah.
Seperti saya tulis dalam
artikel saya di Kompas, Data menunjukkan bahwa wabah SARS telah menurunkan
pertumbuhan ekonomi China dari 11.1% (triwulan I , 2003) menjadi 9.1% (triwulan
II, 2003). Namun perekonomian China membaik kembali dan tumbuh menjadi 10%
dalam triwulan III dan IV tahun itu. Data menujukkan bahwa pertumbuhan sektor
retail dan industrial output di China mengalami penurunan yang sangat tajam.
Jika benar bahwa wabah SARS dapat dijadikan pembanding, maka kita bisa membuat
skenario untuk perekonomian Indonesia. Namun seperti yang disampaikan ekonom
Jeffrey Frankel dari Harvard Univesity, dampak dari COVID-19
mungkin akan lebih berat dibandingkan SARS 2003. Mengapa? Karena pada tahun
2003 peran China sebagai salah satu pusat global supply chain masih relatif
kecil dibanding sekarang. Selain itu kondisi ekonomi China saat ini lebih buruk
dibandngkan tahun 2003. Karena itu dampaknya bisa lebih berat.
Dari sisi global, sayangnya
ruang bagi pemerintah dan Central Bank untuk melakukan counter cyclical tak
tersedia banyak. Mengapa? Sebab tingkat bunga sudah relatif rendah dan ruang
fiskal terbatas. Tengok saja bagaimana terbatasnya ruang fiskal dan moneter negara
Eropa. Bahkan juga Amerika Serikat. Akibatnya tak banyak amunisi tersedia untuk
melakukan kebijakan counter cyclical.
Dalam kasus Indonesia, kita cukup beruntung karena dua
hal:
Pertama, Indonesia agak tertinggal didalam jaringan produksi
global. Sehingga dampak dari supply shock akan relatif lebih kecil dibandingkan
negara seperti Singapura atau Thailand. Selain itu porsi perdagangan dalam PDB
Indonesia relatfi kecil dibanding Singapura. Implikasinya pukulan terhadap
perekonomian Indonesia tidak akan separah Singapura
Kedua: masih ada ruang bagi Bank Indonesia untuk menurunkan
bunga. Saya melihat bahwa the Fed juga mungkin akan menurunkan bunga bila
situasi menjadi semakin parah. Selain itu kita masih punya ruang fiskal untuk
ekspansi. Karena itu saya menyarankan seperti dalam tulisan saya di Kompas 28
Februari 2020 untuk melakukan counter cyclical
Saya kira apa yang
dilakukan pemerintah dan Bank Indonesia sudah tepat dalam hal kebijakan fiskal
dan moneter.
Namun seperti saya
sampaikan diatas, kebijakan kontra siklus (counter cyclical) dengan mendorong
permintaan ditengah terganggunya pasokan, akan mengakibatkan kenaikan harga.
Ini adalah ciri dari supply shock
Karena itu saya kira
kebijakan counter cyclical harus dibarengi dengan kebijakan supply side. Yang
paling utama adalah mencari sumber bahan baku, komponen dari negara lain yang
belum terjangkit atau relatif lebih mampu menyediakan pasokan dibanding China.
Yang paling ideal adalah bila pasokan dari China bisa digantikan oleh pasokan
lokal, karena ini sekaligus juga akan meningkatkan produksi dalam negeri
melalui subistitusi impor.
Saya bisa membayangkan
bahwa produk komponen atau barang modal yang tadinya tak mampu bersaing dengan
China sekarang bisa survive. Mungkin harganya lebih mahal, tetapi ini lebih
baik ketimbang tidak tersedia.
Karena itu dari sekarang
perusahaan harus bersiap-siap mencari sumber supply chain baru untuk
mengantisipasi jika wabah COVID-19 berlangsung lama. Pemerintah juga harus
memastikan stock bahan pangan aman. Ini amat penting.
Dalam hal jaringan
produksi, saya tahu ini tak mudah, karena jaringan produksi tak bisa begitu
saja diganti. Jika toh disrupsi supply terjadi dan kenaikan harga tak bisa
dihindari, maka pemerintah harus bersiap untuk memberikan bantuan bagi penduduk
miskin, terutama berkaitan dengan Bantuan
Pangan Non Tunai (antisipasi jika harga makanan naik), juga program PKH.
Yang paling penting memastikan stock dan harga pangan terkendali.
Kelompok miskin inilah yang
amat rentan kepada kenaikan harga.
Mengatasi supply shock
akibat disrupsi dalam mata ratai produksi global tak mudah. Kita belajar dari
sejarah bagaimana supply shock membuat inflasi dunia meningkat di pertengahan
1970 an. Apakah supply shock akan terjadi?
Tentu ini semua tergantung
seberapa lama wabah ini berjangkit. Kita berharap bahwa seperti SARS, wabah ini
tak berlangsung lama, sehingga dampak supply shock tak terjadi. Namun bila
terjadi dalam waktu cukup lama, maka antisipasi seperti diatas perlu dilakukan.
No comments:
Post a Comment