Friday, May 1, 2020

CORONA VIRUS SEBUAH SUPPLY SHOCK

Oleh: Muhamad Chatib Basri  

Wabah virus corona atau COVID-19 yang tengah berjangkit di hampir seluruh dunia menimbulkan banyak kekuatiran dan kecemasan. Salah satu kekuatiran yang muncul adalah dampaknya terhadap perekonomian dunia.  Salah satunya: resesi ekonomi global. Apakah resesi global akan terjadi dan bagaimana dampaknya bagi Indonesia? 

Saya tak pandai benar menjawabnya karena pertanyaan yang paling penting belum mampu kita jawab: berapa lama wabah ini akan berjangkit? Pertanyaan ini menjadi penting karena durasi dari wabah ini punya implikasi dalam global supply chain (mata rantai jaringan produksi global).

Saya melihat bahwa fenomena COVID-19 adalah fenomena supply shock. Apa maksudnya? China adalah salah satu pusat dari jaringan produksi atau hub dari production net-work. Tak hanya itu, China juga memproduksi bahan pembantu atau barang modal bagi banyak negara didunia. Terganggunya perekonomin China akibat COVID-19 akan membuat terganggunya rantai produksi global (global supply chain). Miudahnya: disrupsi di China akan membuat tidak tersedianya bahan baku, bahan penolong, barang modal atau komponen yang dibutuhkan oleh negara-negara lain termasuk di Eropa, Asia dan juga Indonesia. Dalam kondisi ini maka produksi akan terganggu. Inilah saya sebut sebagai supply shock. Disisi lain melemahnya China juga berarti mengurangi permintaan terhadap bahan baku, bahan mentah atau komponen untuk barang jadi yang diprioduksi di China. 

Jika COVID-19 ini mereda dalam waktu pendek, sekitar 3-4 bulan, maka jumlah stock bahan baku, komponen dsb mungkin masih cukup, sehingga dampak disrupsi supply belum akan terjadi. Namun bila ini berlangsung dalam jangka waktu panjang, maka perusahaan akan kehabisan bahan baku, barang modal, komponen untuk produksi. Akibatnya terjadi disrupsi dalam produksi. Terjadilah  supply shock. Implikasi dari supply shock, aggregate supply atau produksi akan menurun. Penurunan produksi akan mendorong terjadinya kenaikan harga. 

Jika aggregate supply menurun, implikasinya adalah output akan menurun dan harga akan naik. Didalam ekonomi, fenomena ini dikenal dengan istilah Stagflation, kombinasi dari stagnasi dan inflasi. Artinya pertumbuhan ekonomi menurun tapi kenaikan harga (inflasi) meningkat. 

Jika pemerintah atau Bank Sentral tidak berbuat apa-apa, maka stagflation akan terjadi. Jika pemerintah dan Bank Sentral melakukan antisipasi dengan mendorong permintaan --melalui kebijakan counter cyclical atau kontra siklus-- agar ekonomi berjalan (seperti yang dilakukan pemerintah Indonesia dan Bank Indonesia saat ini), maka ada harapan permintaan akan naik dan  perlambatan  ekonomi dapat diatasi. Namun perlu dicatat, peningkatan permintaan ditengah kondisi produksi yang menurun akan menaikkan harga. Saya ingin mengingatkan disini bahwa jika wabah berlangsung cukup lama, kelangkaan akan terjadi dan implikasinya adalah kenaikan harga. Ini akan memukul kelompok menengah bawah.

Seperti saya tulis dalam artikel saya di Kompas, Data menunjukkan bahwa wabah SARS telah menurunkan pertumbuhan ekonomi China dari 11.1% (triwulan I , 2003) menjadi 9.1% (triwulan II, 2003). Namun perekonomian China membaik kembali dan tumbuh menjadi 10% dalam triwulan III dan IV tahun itu. Data menujukkan bahwa pertumbuhan sektor retail dan industrial output di China mengalami penurunan yang sangat tajam. Jika benar bahwa wabah SARS dapat dijadikan pembanding, maka kita bisa membuat skenario untuk perekonomian Indonesia. Namun seperti yang disampaikan ekonom Jeffrey Frankel dari Harvard Univesity,   dampak dari COVID-19 mungkin akan lebih berat dibandingkan SARS 2003. Mengapa? Karena pada tahun 2003 peran China sebagai salah satu pusat global supply chain masih relatif kecil dibanding sekarang. Selain itu kondisi ekonomi China saat ini lebih buruk dibandngkan tahun 2003. Karena itu dampaknya bisa lebih berat.

Dari sisi global, sayangnya ruang bagi pemerintah dan Central Bank untuk melakukan counter cyclical tak tersedia banyak. Mengapa? Sebab tingkat bunga sudah relatif rendah dan ruang fiskal terbatas. Tengok saja bagaimana terbatasnya ruang fiskal dan moneter negara Eropa. Bahkan juga Amerika Serikat. Akibatnya tak banyak amunisi tersedia untuk melakukan kebijakan counter cyclical.

Dalam kasus Indonesia, kita cukup beruntung karena dua hal: 

Pertama, Indonesia agak tertinggal didalam jaringan produksi global. Sehingga dampak dari supply shock akan relatif lebih kecil dibandingkan negara seperti Singapura atau Thailand. Selain itu porsi perdagangan dalam PDB Indonesia relatfi kecil dibanding Singapura. Implikasinya pukulan terhadap perekonomian Indonesia tidak akan separah Singapura

Kedua: masih ada ruang bagi Bank Indonesia untuk menurunkan bunga. Saya melihat bahwa the Fed juga mungkin akan menurunkan bunga bila situasi menjadi semakin parah. Selain itu kita masih punya ruang fiskal untuk ekspansi. Karena itu saya menyarankan seperti dalam tulisan saya di Kompas 28 Februari 2020 untuk melakukan counter cyclical

Saya kira apa yang dilakukan pemerintah dan Bank Indonesia sudah tepat dalam hal kebijakan fiskal dan moneter.

Namun seperti saya sampaikan diatas, kebijakan kontra siklus (counter cyclical) dengan mendorong permintaan ditengah terganggunya pasokan, akan mengakibatkan kenaikan harga. Ini adalah ciri dari supply shock

Karena itu saya kira kebijakan counter cyclical harus dibarengi dengan kebijakan supply side. Yang paling utama adalah mencari sumber bahan baku, komponen dari negara lain yang belum terjangkit atau relatif lebih mampu menyediakan pasokan dibanding China. Yang paling ideal adalah bila pasokan dari China bisa digantikan oleh pasokan lokal, karena ini sekaligus juga akan meningkatkan produksi dalam negeri melalui subistitusi impor.

Saya bisa membayangkan bahwa produk komponen atau barang modal yang tadinya tak mampu bersaing dengan China sekarang bisa survive. Mungkin harganya lebih mahal, tetapi ini lebih baik ketimbang tidak tersedia.

Karena itu dari sekarang perusahaan harus bersiap-siap mencari sumber supply chain baru untuk mengantisipasi jika wabah COVID-19 berlangsung lama. Pemerintah juga harus memastikan stock bahan pangan aman. Ini amat penting.

Dalam hal jaringan produksi, saya tahu ini tak mudah, karena jaringan produksi tak bisa begitu saja diganti. Jika toh disrupsi supply terjadi dan kenaikan harga tak bisa dihindari, maka pemerintah harus bersiap untuk memberikan bantuan bagi penduduk miskin, terutama berkaitan dengan Bantuan Pangan Non Tunai (antisipasi jika harga makanan naik), juga program PKH. Yang paling penting memastikan stock dan harga pangan terkendali.

Kelompok miskin inilah yang amat rentan kepada kenaikan harga.

Mengatasi supply shock akibat disrupsi dalam mata ratai produksi global tak mudah. Kita belajar dari sejarah bagaimana supply shock membuat inflasi dunia meningkat di pertengahan 1970 an. Apakah supply shock akan terjadi?

Tentu ini semua tergantung seberapa lama wabah ini berjangkit. Kita berharap bahwa seperti SARS, wabah ini tak berlangsung lama, sehingga dampak supply shock tak terjadi. Namun bila terjadi dalam waktu cukup lama, maka antisipasi seperti diatas perlu dilakukan.


No comments:

Post a Comment