PERJUANGAN SINGA ACEH
YANG TERLUKA
Sahabat-sahabatku yang budiman, kita benar-benar tidak tahu apa
yang sesungguhnya terjadi di Aceh yang kita banggakan sebagai Serambi Mekah
itu. Berita mengenai kezaliman di sana sungguh simpang siur. Semua bentuk
kezaliman, sebutlah apa saja, sekarang ini sedang terjadi di sana. Mulai dari
pembunuhan, pembantaian, pemerkosaan, penyiksaan, penahanan, pelecehan harkat
manusia yang cenderung kepada “pemusnahan” bangsa Aceh kini tengah berlangsung.
Namun apa yang
dialami Aceh saat ini merupakan kisah perjuangan yang panjang dan menyedihkan
dari orang-orang Aceh. Saya telah mencoba mengumpulkan berbagai informasi
tentang Aceh yang Saya tuangkan dalam renungan kali ini.
Perjalanan
sejarah Aceh tak dapat dipisahkan dengan kisah perjuangan Teungku Muhammad Daud
Beureueh seorang tokoh ulama Aceh yang oleh pemerintah Soekarno maupun Suharto
dianggap sebagai pemberontak, padahal Abu Beureueh (panggilan akrab Daud
Beureueh) dianggap sangat berjasa dalam memperjuangkan kemerdekaan RI melawan
penjajah Belanda.
Berikut ini kisah
tentang “Daud Beureueh, Singa Aceh yang Terluka” yang saya kutip dari
sebuah artikel dalam harian Republika belum lama berselang.
Abu Beureueh dilahirkan
15 September 1899 (tepat seratus tahun lalu dari tanggal Saya menulis renungan
ini, 15 September 1999) di satu kampung yang bernama Beureueh-Keumangan.
Ayahnya, Teungku Imum Ahmad adalah seorang ulama yang sangat berpengaruh
sehingga mendapat gelar sebagai Imeum
Shijk (Imam Besar).
Sejak kecil Abu
Beureueh tak pernah mengenyam pendidikan umum namun hanya pendidikan agama dari
pesantren ke pesantren. Sekalipun demikian, dengan kecerdasan dan kecepatan
berpikir yang luar biasa, Abu cepat menyerap segala ilmu yang diajarkan
kepadanya, termasuk bahasa Belanda. Ilmu-ilmu agama yang dikuasainya antara
lain seperti Mantiq, Fiqih, Nahwu, Sharaf, Tafsir, Tasawwuf dan Hadits.
Disamping itu Abu juga menguasai ilmu siyasah (politik) dan tarikh (sejarah).
Pendidikan semacam itulah yang mendasari ke-ulama-annya di kemudian hari.
Pada tahun 1925,
Abu mengajar di Dayah (= lembaga pendidikan model pesantren gaya Aceh) Uteun
Bayi atas permintaan Maharaja Abdul Hamid Mangkubumi Lhokseumawe. Pada tahun
1930 Abu kembali ke Pidie dan membuka Madrasah Sa’adah Abadiyah di Blang Paseh.
Nama Abu semakin harum, karena disamping mengajar Abu juga berdakwah kesegala
pelosok. Kepiawaiannya dalam berdakwah menyebabkan Abu memperoleh julukan Singa Podium.
Seorang
antropolog dari Cornell University, James
T. Siegel, dalam bukunya “The Rope of God” menulis betapa
Teungku Keumangan Umar yang masih ada pertalian saudara dengan Abu, sangat
membenci Abu, sehingga Abu tak bisa mengajar dan berdakwah di sana. Dayahnya
akhirnya ditutup. Berkali-kali Teungku Keumangan meminta kepada Belanda agar
Abu di internir saja.
Karena
pertentangan antara keduanya tak pernah reda, pemerintah Belanda meminta
bantuan kepada Tuanku Raja Keumangan keturunan dari Raja Aceh yang alim dan
bijaksana. Dengan pertimbangan bahwa daerah Aceh Selatan masih sangat
terbelakang dalam syiar Islam dan sangat membutuhkan tenaga ulama, maka
akhirnya Daud Beureueh setuju untuk hijrah ke Tapaktuan, Aceh Tengah. Di sini
pengikutnya makin banyak dan pengaruhnya makin besar.
***
Sesungguhnya sejak umur
30-an tahun, Abu telah dikenal sebagai ulama dan pemimpin rakyat. Dalam
perjuangan memperoleh kemerdekaan, ia menyalurkan aspirasinya melalui
organisasi PUSA (Persatuan Ulama
Seluruh Aceh). Organisasi yang dibentuk dalam musyawarah besar para ulama di
Peusangan, Aceh Utara pada 5 Mei 1939 ini secara aklamasi memilihnya sebagai
ketua PUSA.
PUSA semula
dimaksudkan untuk “memurnikan ajaran Islam”, tetapi lambat laun menjadi semakin
politis dan dijadikan alat perjuangan untuk mengusir penjajah. Organisasi Islam
yang nasionalis ini lalu terbukti mampu mematangkan Aceh memberontak terhadap
pemerintah Hindia Belanda dan menggulingkan Uleebalang feodal.
Saat tentara
Jepang menduduki Aceh, Abu Beureueh dan PUSA-nya mengambil siasat politik untuk
berteman dengan orang-orang Jepang itu. Dijaman revolusi, ia dan pengikutnya
berjuang mempertahankan kemerdekaan. Abu mengeluarkan fatwa wajib berjuang
untuk menegakkan dinullah. Ia
mengobarkan semangat Fisabilillah dan
“hidup terhormat atau mati syahid”.
Nama besar Abu
Beureueh bergema sampai ke Jakarta. Presiden Sukarno lalu menunjuknya sebagai
anggota Dewan Pertimbangan Agung RI di Aceh. Pada tahun 1947 ia diangkat
sebagai Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo dengan pangkat Mayor
Jenderal. Dalam jabatannya sebagai Gubernur Militer, ia telah berbuat terlalu
besar untuk negara Republik Indonesia. Jasanya yang luar biasa adalah
memenangkan perang Aceh-Belanda di area Medan. Itulah satu-satunya daerah yang
tak dapat ditembus Belanda.
***
Lantas, kenapa Daud
Beureueh kemudian memberontak terhadap Pemerintah RI yang saat itu dipimpin
oleh Soekarno? Menurut data dan analisis yang muncul, menunjukkan bahwa
keputusan Daud Beureueh untuk berontak muncul karena akumulasi
peristiwa-peristiwa yang mengecewakannya. Juga didukung oleh sifat Daud
Beureueh yang selain keras, ulet dan cinta rakyat, juga mempunyai pendirian
yang amat tangguh, sehingga sulit untuk bergeser atau digeser dari sesuatu yang
diyakini kebenarannya.
Kisah
pembangkangan Daud Beureueh ditandai oleh suatu peristiwa pada tanggal 27
November 1950. Ibukota Provinsi Aceh kala itu, Kutaraja diselimuti ketegangan.
Ketika Wakil Presiden Bung Hatta tiba di “Tanah Rencong” sebagai penguasa
tertinggi kedua dari pusat, bukan sambutan kehormatan selazimnya yang ia
terima, melainkan penentangan keras yang cenderung tanpa kompromi.
Daud Beureueh,
Gubernur Provinsi di ujung barat RI itu menolak misi Hatta. Dengan sorot mata
tajam dan suara lantangnya, ia berkata di depan Hatta: “Untuk membubarkan
provinsi Aceh boleh kapan saja, bahkan malam ini juga! Jika itu terjadi, kita
akan membangun negara dengan cara kita sendiri!”. Kehadiran Hatta di Aceh
memang sama dengan misi-misi pemerintah sebelumnya, yaitu membujuk Abu Beureueh
dan pemimpin Aceh lainnya agar menerima pembubaran Provinsi Aceh. Pembubaran
Propinsi Aceh memang telah dilakukan pada 14 Agustus 1950.
Peristiwa itu tidak
hanya dilakukan tanpa kompromi terlebih dulu dengan Abu selaku Gubernur, tapi
lebih dari itu, ternyata provinsi Aceh harus melebur ke dalam provinsi Sumatera
Utara, wilayah yang sejak jaman penjajah Belanda tidak disukai orang Aceh.
Inilah yang sangat melukai hati Sang Singa Aceh itu.
***
Kekecewaan lain yang
dirasakan oleh Abu Beureueh ialah akibat sikap Presiden Soekarno yang dianggap
melecehkan rakyat Aceh sebagai “daerah modal” perjuangan. Aceh memang telah
membelikan dua pesawat terbang pertama RI (Seulawah 001 dan 002) untuk
kepentingan pemerintah pusat. Dalam kunjungan pertama Soekarno ke Aceh (1948),
ia memberi harapan kepada kaum muslim Aceh.
Ketika itu,
Soekarno meminta kepada Abu agar rakyat Aceh turut dalam perjuangan bersenjata,
karena hanya Acehlah yang masih tegak kedaulatannya yang belum dapat dikuasai
oleh Belanda. Soekarno juga berjanji: “Kelak,
bila perang usai, provinsi Aceh akan diberikan hak untuk melaksanakan hukum
syari’at Islam sebagai harapan Kanda (Abu Beureueh) dan Rakyat Aceh!”
Sambil menyeka air mata Soekarno berkata kepada Abu selaku wakil rakyat Aceh: “Wallah, akan saya pergunakan pengaruh saya
agar rakyat Aceh benar-benar dapat melaksanakan syari’at Islam di daerahnya”.
Setelah revolusi
selesai, ceritanya jadi lain. Tagihan Abu agar Aceh menjadi provinsi dengan
kebebasan bersyari’at Islam ditolak! Di panggung luas politik Indonesia, Abu
merasa makin tak diacuhkan, bahkan disudutkan. Untuk melemahkan Abu Beureueh,
pemerintah bukan hanya mengirim tentara, tapi juga memanfaatkan “sisa-sisa
feodal” yang tidak rela Aceh dipimpin oleh “kaum sarungan” yang terhimpun dalam
PUSA.
Semua kekecewaan
ini menggumpal di jantung dan kepala Abu Beureueh yang juga merupakan cerminan
bagi kekecewaan banyak orang Aceh yang muncul dalam bentuk ungkapan umum
seperti: “Inikah balas jasa terhadap Aceh
yang telah membiayai wakil-wakil pemerintah pusat dan bahkan membeli dua buah
pesawat terbang 1 dan 2 untuk Indonesia?” Sampai ada yang berseloroh: “Kusangka panas hingga petang, ternyata
hujan di tengah hari”. Kalau Singa Aceh sudah mengaum, itu pertanda situasi
sudah kelewatan dan kegusarannya telah memuncak - karena ia dikenal sebagai
ulama yang penyabar, meski keras pendirian. Dan jika ia sudah mengaum, maka tak
ada yang bisa melunakkannya.
***
Pada 21 September 1953,
atas nama ummat Islam daerah Aceh dan sekitarnya, Abu Beureueh menyatakan:
“Proklamasi Aceh menjadi Negara Bagian Islam Indonesia (NII) pimpinan Imam
Kartosuwiryo”. Proklamasi yang mencengangkan ini segera ditindaklanjuti dengan
aksi militer terhadap RI. “Sebagian besar
rakyat Aceh terlibat dalam pemberontakan itu; tua-muda, pria-wanita.
Sebagiannya ditempatkan di lini depan, yang lain di lini belakan membantu
keperluan lainnya”, tulis Hasan
Saleh dalam bukunya “Mengapa Aceh Bergolak”.
Seolah tak
mempunyai pilihan lain, pemerintah pusat menanggapi aksi pemberontakan Abu
dengan kekerasan senjata. Akibatnya, mudah diduga; darah bersimbah dimana-mana.
Salah satu peristiwa yang mencoreng kening pemerintah adalah “Tragedi Cot Jeumpa” pada awal tahun
1954. Melukiskan peristiwa berdarah itu, harian Peristiwa mewartakan: “Sebanyak
64 penduduk yang tak berdosa telah menjadi korban tindakan alat negara yang
tidak bertanggung jawab”.
Horor-horor
semacam itu tidak menyurutkan Abu Beureueh, ia terus menggencarkan
pemberontakannya, sehingga menjadikan Aceh bak “duri dalam daging” bagi
pemerintah pusat. Sementara itu, beberapa provinsi lain mulai pula dilanda
aneka kekisruhan. Pemerintah pusat yang masih belia dan labil itu akhirnya
“mengalah”.
Pada 1 Januari
1957, Aceh diberi status provinsi. Tapi siapakah yang harus dijadikan Gubernur?
Mengangkat kembali Abu Beureueh berarti memelihara anak macan. Maka, agar Aceh
yang muda menggeliat itu gampang dikendalikan, haruslah dicari orang Aceh yang
sejuk. Pilihan akhirnya jatuh pada Ali Hasjmy, Inspektur Kepala Jawatan Sosial
RI di Jakarta, yang dikenal dekat dengan Soekarno. Ikrar Lamteh (1957) kemudian
dicapai.
Tak sampai 2
tahun kemudian, misi Hardi datang untuk menjamin Aceh memperoleh hak otonomi
dalam bidang agama, pendidikan dan adat istiadat. Meskipun demikian, Abu
Beureueh dan anak buahnya baru “turun gunung” pada tahun 1962. Itupun setelah
pemerintah menjanjikan akan diberikan kebebasan untuk menjalankan hukum
syari’at Islam, karena bagi Abu Beureueh tuntutan yang satu inilah yang
dianggapnya paling fundamental dalam perjuangannya.
Setelah ia turun
gunung, kembali dikhianati oleh pemerintah pusat, dimana syari’at Islam di bumi
Serambi Mekah itu tak pernah terwujud. Berarti, dua kali pemerintah Soekarno
mengkhianati Abu Beureueh. Tentu saja Abu kembali mengangkat senjata sampai
penguasa berganti dari Soekarno ke Suharto.
***
Setelah ia kembali ke
pangkuan ibu pertiwi, pada 1 Mei 1978 (pada usia 79 tahun) Abu Beureueh di
hijrahkan ke Jakarta dengan alasan “demi memelihara keamanan dan menjaga
ketertiban”. Tatkala masalah Abu Beureueh dibicarakan di Jakarta, para ulama
dan Pemda Aceh membuat surat pernyataan. Surat tertanggal 9 Juli 1982 itu,
berisi permohonan agar Abu Beureueh dapat kembali ke Aceh sesegera mungkin.
Rupanya semua itu
belum meyakini pemerintah. Baru setelah Abu Beureueh sendiri mengirim surat
susulan kepada Presiden Suharto (16 Juli 1982), dan menuturkan keadaan tubuhnya
yang telah uzur, ia diijinkan pulang ke tanah yang menjadi belahan jiwanya.
Di kampung
halamannya, pejuang gigih ini menyibukkan diri untuk mengubur kekecewaannya.
Masjid Baitul A’la Lil Mujahiddin dan Dayah yang didirikannya terus dibenahi.
Hari-harinya diisi dengan menerima tamu di masjid yang hingga kini berdiri
megah di Beureuneun Sigli. Akhirnya, Daud Beureueh menutup usia pada tahun 1985
dalam usia 86 tahun di Beureuneun Sigli. Sebelum menutup usia, ia mewasiatkan
agar dirinya dikebumikan di samping masjid yang ia bangun. Dan kini, di sana
telah berdiri sebuah yayasan yang bernama Yayasan Shijk Muhammad Daud Beureueh.
***
Saudara-saudaraku
yang saleh, sebenarnya perjuangan bangsa Aceh tidak berhenti setelah berpulangnya
Abu Beureueh. Sampai saat ini, mereka belum juga memperoleh hak mereka (yang
telah dijanjikan oleh pemerintah pusat) untuk melaksanakan hukum syari’at Islam
di daerahnya.
Perlawanan rakyat
Aceh melalui Daud Beureueh kemudian dilanjutkan oleh Hasan Tiro dengan Gerakan
Aceh Merdeka (GAM)-nya yang dideklarasikan pada bulan Mei tahun 1977.
Tuntutannya tetap sama; berlakunya hukum syari’at Islam di Aceh! Untuk
membungkam GAM, pemerintah Suharto melaksanakan berbagai operasi militer di
Aceh, sehingga selama hampir 20 tahun belakangan ini, Aceh dianggap sebagai
daerah yang panas dan mudah bergolak.
Karena tekanan
militer, Hasan Tiro kabur keluar negeri. Namun, keinginan rakyat Aceh tetap
keras sehingga para petinggi militer GAM tetap mengadakan perlawanan secara
gerilya. Tekanan TNI – dengan memberlakukan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM)
-- makin menjadi-jadi dan makin tak terarah, sehingga rakyat Aceh yang tak
berdosa banyak yang ikut jadi korban.
Sebaliknya para
pengikut GAM makin banyak dan semakin berani. Kalau dulu mereka bersembunyi di
hutan-hutan, kini mereka berani tampil dan berkomunikasi dengan orang luar,
termasuk wartawan AFP yang berhasil mengabadikan gambar mereka dengan
senjata-senjata otomatis yang mereka miliki. Karena tekanan balik dari GAM,
terjadilah pembantaian rakyat Aceh secara membabi buta oleh TNI yang sungguh
tak masuk akal orang-orang yang beriman.
Bayangkan,
bagaimana dengan mudahnya para prajurit TNI menembaki anak-anak dan orang tua,
hanya karena panik mendengar letusan ban pecah, bukannya letusan senjata api
ataupun bom. TNI kini tidak bisa membedakan mana yang GAM dan mana yang rakyat,
karena memang GAM dan rakyat Aceh telah menyatu. GAM pula yang melindungi
rakyat Aceh dari kebiadaban TNI.
***
Pertanyaannya adalah:
Kenapa TNI begitu ngotot mempertahankan Aceh sebagai “Daerah Istimewa Aceh”,
dan pemerintah pusat tidak juga memberikan otonomi untuk menjalankan hukum
syari’at Islam yang diminta rakyat Aceh sejak dulu? Aceh, yang sejak dulu
menjadi “daerah modal” bagi pemerintah, kini semakin besar kontribusinya bagi
anggaran negara.
Propinsi Aceh
memang kaya, sehingga pemerintah membangun berbagai proyek vital disini, antara
lain proyek ladang minyak dan gas Arun, tambang emas dan entah berapa lagi
perusahaan yang dianggap vital dan merupakan pundi-pundi emas bagi pemerintah
pusat.
Dalam satu
wawancara dengan tokoh Aceh, H. Ghazali
Abas Aadn yang juga adalah anggota FPP DPR Aceh ketika ditanya mengenai
kepentingan militer di Aceh, ia menjelaskan: “Aceh kan sangat kaya. Bila aman, maka tidak ada alasan untuk
mengamankan Aceh. Dan, bila mengamankan Aceh berarti kan ada upahnya. Nah,
untuk mendapatkan upah, Aceh dibuat tidak aman dengan operasi intelijen militer
itu. Jadi, operasi intelijen militer yang terjadi di Aceh selama ini adalah
sebuah operasi yang sangat menjijikkan” (Sumber: Oposisi no.56 Tahun I, 29 Agustus 1999).
Lebih lanjut ia
menjelaskan bahwa kas militer memperoleh miliaran rupiah dengan menjaga
(menjadi herder) sejumlah perusahaan di Aceh untuk menjamin keamanan dari
kemungkinan gangguan yang sebetulnya diciptakan sendiri oleh TNI. Memang
sungguh menjijikkan. Tega-teganya mereka mengorbankan rakyat demi rupiah.
Benar-benar biadab!!
Kalau memang demikian
kisahnya, maka sangat dapat dimengerti rationale
dibalik perlawanan GAM dan pada umumnya rakyat Aceh. Apalagi kalau
persoalan dilihat dari kaca mata yang sama, yaitu kacamata Islami. Allah
berfirman:
“Telah diijinkan (berperang) bagi orang-orang yang
diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah,
benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu” ~ Al-Hajj : 39 ~
Karakter Islam
orang-orang Aceh sangat kental. Perlawanan GAM untuk memerangi kezaliman punya
dasar yang sangat kuat yaitu Al-Qur’an. Oleh karena itu mereka konsisten dan
tak takut mati. Mereka merasa melakukan perlawanan fisabilillah, perlawanan yang di ridhoi Allah.
Kalau dulu PUSA
dan kemudian GAM pada awalnya menuntut otonomi untuk diberlakukannya hukum
syari’at Islam, maka kini tuntutan bertambah. Kini GAM menuntut kemerdekaan!
Dulu mereka bahagian dari perjuangan kemerdekaan RI, namun setelah mereka jadi
bahagian dari negara RI yang berdaulat, tampaknya mereka malah dijajah,
dirampok, diperbodoh dan dilecehkan harkatnya oleh pemerintah pusat. Dan yang
lebih memprihatinkan, mereka menjadi rakyat yang dibantai secara sistimatis
oleh TNI.
Dari sudut kemanusiaan
tindakan GAM untuk memperjuangkan kemerdekaan, yaitu merdeka dari kekerasan
militer, merdeka dari penjarahan harta benda, merdeka dari perampokan dan
merdeka dari pemerkosaan, merdeka untuk memilih pemimpinnya sendiri, merdeka
dalam menjalankan syari’at Islam dan mengadili semua pelanggar hak azasi
manusia di Aceh, apakah ia militer atau bukan, sungguh pantas kita dukung.
Perjuangan mereka
adalah untuk mendapatkan kemerdekaan yang hakiki. Dan dari kisah-kisah diatas,
kita dapat menarik kesimpulan betapa pemimpin negara ini masih alergi terhadap
Islam yang dengan berbagai alasan selalu menghindar berlakunya hukum syari’at
Islam di Aceh. Masih ada semacam Islam-phobia.
Padahal kalau hukum syari’at Islam dijalankan di Aceh, Aceh diyakini malah bisa
menjadi model untuk suatu pemerintah daerah (dan juga bagi pusat) yang
berahlaq, bersih dan berwibawa.
Kenapa tidak?!
Islam adalah agama yang penuh kasih sayang dan toleransi. Berlakunya syari’at
Islam hendaknya jangan diterjemahkan sebagai pengekangan dan pembasmian bagi
orang-orang non-muslim. Atau apakah memang sebagian besar para pemimpin kita
ini hanya islam-islaman saja!?
Nah apa yang
terjadi setelah penulisan artikel ini (1999) tentu Anda telah mengetahuinya.
Suatu perjuangan yang panjang dari rakyat Aceh, yang akhirnya mendapatkan apa
yang diperjuangkan oleh Daud Beureueh selama berpuluh-puluh tahun walaupun tidak sepenuhnya. Aceh benar-benar
menjadi suatu daerah yang “Istimewa” karena hanya di sinilah di negeri yang
sekuler berlaku syari’at Islam .... Aspek lainnya? Wallahualam.
Bagaimana
pendapat Ananda?
Kepustakaan: Al-Qur’an,
Hikmah Republika, “Daud Beureueh, Singa Aceh yang Terluka” oleh Lamkaruna Putra
di harian Republika
Filename: THINK43-ACEH - Jkt, 15/09/1999,
Re-edited: 6 September 2009, Ramadhan 1430 H
Copyright 2009 © Bambang Irawan