Indonesia
Bangkit!
Transkripsi Kuliah Umum Presiden Joko Widodo pada tanggal 11
Maret 2016, di Universitas Sebelas Maret, Solo, Jawa Tengah
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Yang saya hormati para Menteri
Kabinet Kerja
Yang saya hormati Bapak Rektor UNS beserta seluruh civitas akademika dan keluarga besar UNS
Yang saya hormati Gubernur Jawa Tengah, seluruh wali kota, bupati, gubernur yang hadir, pimpinan dan anggota dewan DPR, DPRD
Hadirin Bapak Ibu sekalian yang berbahagia.
Yang saya hormati Bapak Rektor UNS beserta seluruh civitas akademika dan keluarga besar UNS
Yang saya hormati Gubernur Jawa Tengah, seluruh wali kota, bupati, gubernur yang hadir, pimpinan dan anggota dewan DPR, DPRD
Hadirin Bapak Ibu sekalian yang berbahagia.
Alhamdulilah saya sudah jadi kakek. Saya kaget, perasaan saya,
saya masih muda, apapun saya syukuri.
Hari ini saya akan berbicara yang berkaitan dengan persaingan.
Kalau UNS, pada lustrum kali ini mengangkat internasionalisasi UNS berbasis
budaya nasional, saya kira apa yang saya sampaikan juga berkaitan dengan itu,
berkaitan dengan persaingan global, berkaitan dengan keterbukaan, berkaitan
dengan kompetisi.
Bapak Ibu sekalian yang saya hormati,
Dari detik ke detik, menit ke menit, jam ke jam, hari ke hari,
sekarang kita dihadapkan pada yang namanya kompetisi, yang namanya persaingan.
Tidak hanya kota dengan kota, provinsi dengan provinsi, individu dengan
individu, tetapi juga sekarang sudah masuk kepada persaingan negara dengan
negara.
Kalau kita lihat di gambar (slide menunjukkan gambar para
pemimpin ASEAN) ini kepala negara, kepala pemerintahan di ASEAN, setiap bertemu
pasti bergandengan tangan seperti yang ada di gambar, bergandengan tangan.
Tetapi di dalam pikiran saya, mereka adalah pesaing-pesaing kita, kita
berkompetisi dengan mereka. Iya, karena kita juga rebutan dengan mereka untuk
arus modal masuk, arus investasi masuk, arus uang masuk ke negara mereka,
rebutan dengan kita menawarkan fasilitas-fasilitas, menawarkan
insentif-insentif.
Itulah persaingan dan sudah tidak bisa kita tolak lagi, tidak
bisa kita bilang nanti dulu, sudah tidak bisa. Inilah keterbukaan yang akan
terus kita hadapi, bukan hanya di Masyarakat Ekonomi ASEAN, mau tidak mau
sebentar lagi kita dihadapkan pada blok-blok perdagangan yang kalau kita tidak
siapkan SDM-SDM kita, akan ditinggal kita oleh yang namanya kompetisi dan
persaingan itu.
Ada FTA (Free Trade Agreement) EU (Uni Eropa), ada RCEP bloknya
Cina, ada TPP bloknya Amerika. Sudah ngeblok, ngeblok, ngeblok, kita ikut atau
tidak? Kalau bilang tidak mau ikut, RCEP gak mau ikut, FTA-nya EU gak mau ikut,
TPP-nya bloknya Amerika. Apa yang terjadi? Begitu barang kita kirim ke sana
dikenai pajak 20%. Begitu kita kirim produk ke negara sana, kita kena pajak
15%. Artinya apa? Barang kita gak mungkin bisa bersaing dengan negara lain,
karena negara lain nol (pajak) yang ikut, yang tidak kena 20%. Oleh sebab itu,
sekali lagi semuanya harus dikalkulasi. Ikut, untungnya apa? Tidak ikut,
ruginya apa? Ini kompetisi.
Kemudian kalau kita melihat, sebenarnya tantangan ke depan, visi
jauh ke depan itu akan seperti apa sih kita ini? Kita lihat masalah pertambahan
penduduk dunia. Coba kita lihat pada tahun 2043, jumlah penduduk dunia akan
12,3 miliar. Meningkat drastis dua kali, apa yang akan terjadi pada tahun-tahun
itu, yang harus kita persiapkan dari sekarang. Pada saat itu orang akan
rebutan, dunia akan rebutan dua hal.
Yang pertama, energi pasti rebutan. Yang kedua, masalah pangan
pasti rebutan. Akan rebutan dua hal itu dan keuntungan kompetitif kita adalah
kita mempunyai itu. Kita mempunyai energi fosil, kita punya. Energi yang baru
terbarukan, kita juga mempunyai. Pangan kita punya tetapi belum dikelola baik,
energi kita juga punya tapi belum dikelola dengan baik. Sehingga memerlukan
sebuah strategi besar negara ini, strategi besar ekonomi, strategi besar
politik global, strategi besar pemikiran-pemikiran ke depan. Lima puluh tahun
yang akan datang, 100 tahun yang akan datang, 1000 tahun yang akan datang harus
dihitung dari sekarang dan harus dipersiapkan dari sekarang. Kalau jumlah
penduduk sudah lipat dua, rebutannya hanya dua nantinya sekali lagi pangan dan
energi, dan kita memiliki potensi dan kekuatan itu.
Pada saat saya ke Merauke tapi bukan di kotanya, masih dua jam
dari Merauke. Saya melihat hamparan datar, luas, ada air, 4,2 juta hektar.
Setelah saya hitung-hitung, kalau itu ditanami padi semuanya, itu sudah lebih
dari produksi nasional kita sekarang. Kalau dikelola dengan manajemen yang
baik, dikelola dengan cara-cara pertanian modern itu sudah lebih dari produksi
nasional kita yang kurang lebih sekarang ini diatas 70 juta ton. Di sana saya
hitung kurang lebih bisa mencapai 100-110 juta ton, hanya satu kabupaten.
Padahal di situ kanan kirinya ada empat kabupaten yang memiliki kurang lebih
hal yang sama.
Inilah kekuatan ke depan kita, energi kita semuanya punya, yang
fosil, minyak, gas, kita ada semuanya. Batu bara kita punya semuanya. Hanya
sekali lagi, kesempatan itu sering hilang karena strategi manajeman ekonomi
kita, tidak kita rancang secara baik. Angin kita ada, yang terbarukan
geothermal, matahari, yang tanaman kita ada semuanya, sawit bisa jadi biofuel,
biodiesel, semuanya ada, semuanya. Ini hanya masalah manajemen, masalah
pengelolaan.
Inilah saya kira tantangan kita ke depan dan harus kita
persiapkan dari sekarang. Perguruan tinggi semestinya juga menyesuaikan itu,
apa tantangan ke depan dan apa yang harus disiapkan oleh SDM-SDM perguruan
tinggi, konsentrasi kita kemana? Ini harus ditentukan dari sekarang.
Oleh sebab itu, dalam persaingan, kembali kepada persaingan,
yang kita perlukan adalah semua hal yang berkaitan dengan produktifitas, semua
hal yang berkaitan dengan kecepatan, semua hal yang berkaitan dengan etos
kerja, semua hal yang berkaitan dengan efisiensi. Kita harus punya hal-hal itu
yang kita harus siapkan SDM ke depan karena persaingan nantinya bukan hanya
persaingan barang dan jasa saja, tapi persaingan individu, SDM kita dengan SDM
negara lain karena sudah ndak bisa kita cegah. Arus dokter masuk, arus
profesional yang lain masuk, kita masuk ke sana tapi sewaktu juga mereka bisa
masuk ke sini.
Tapi sekali lagi jangan takut dan jangan kuatir dengan itu,
karena juga kepala negara yang lain, presiden, perdana menteri yang lain di
lingkup ASEAN, bisik-bisik ke saya.
“Pak, kami takut, kami kuatir nanti orang Indonesia yang
jumlahnya 252 juta itu akan masuk semuanya ke negara kita.”
Artinya apa? Negara-negara sekitar kita takut semua dengan kita.
Jadi saya titip, kita jangan takut. Wong orang lain takut kok, presiden negara
lain takut, kalau perlu kita takut-takuti supaya makin takut.
Janganlah kita, aduh saya kalau mendengar komentar terutama di
media sosial, itu yang harus kita benahi. Budaya-budaya etos kerja,
budaya-budaya berpikir positif, positive thinking, budaya-budaya optimisme, ini
yang harus kita bangun. Sehingga negara lain melihat kita betul-betul, bukan
hanya takut tapi ngeri dulu karena mereka ngomong sendiri.
“Bayangkan, Pak, kalau separuh dari penduduk Indonesia masuk ke
negara kita (negara mereka), bagaimana kita bisa bersaing?”
Mereka takut loh, jangan dipikir mereka tidak takut dengan kita.
Oleh sebab itu, yang diperlukan adalah bagaimana kita ini membenahi hal-hal
yang kurang dan dalam waktu yang secepat-cepatnya. Sekali lagi ini persaingan,
ini kecepatan.
Tadi tertulis di situ dwelling time, hal-hal seperti itu. Ini
masalah bongkar muat saja di pelabuhan yang saya ngamuk betul di situ, tapi
tidak kelihatan wartawan. Saya masukkan ke dalam ruangan, betul-betul saya
marah betul.
Bongkar muat di pelabuhan, di Singapura hanya 1 hari, di Malaysia
hanya 2 hari, kita masih 6-7 hari saat itu, saat itu waktu saya masuk Tanjung
Priok. Saya datang ke sana tapi memang 3 hari sebelumnya mereka tahu, saya akan
ke sana, disiapkan monitor-monitor, dijelaskan tentang invoice, packing list
harus seperti. Saya sampaikan, saya hidup ngurusin ekspor impor di pelabuhan
itu 24 tahun, gak usah terangin.
Saya tanya sampai saya ulang tiga kali, ini yang gak bener
siapa? Bea Cukai atau Pelindo-nya atau Kementerian Perdagangan atau Kementerian
Pertanian, karena terlibat di situ banyak sekali ternyata. Gak dijawab, malah
jawabnya bolak balik ke invoice, packing list PT. Apa, gak usah diterangin itu.
Pertanyaan saya, siapa yang selama ini paling lambat? Gak dijawab-jawab
kemudian saya masukkan ruangan, saya marahin habis. Dan ada satu menteri dengan
terpaksa saya copot, saya ganti gara-gara dwelling time. Karena 6 biilan saya
beri waktu, saya minta turun, gak turun sama sekali.
Tapi saat ini sudah masuk Januari ke 4,7 sekarang sudah masuk
antara 3 dan 4 (hari), turun terus sudah. Kita harapkan, saya targetkan bulan
depan sudah masuk pada posisi angka 3. Kalau angka 3 sudah mendekati 2 boleh
lah, 7-6 hari ngurus kayak gitu. Biaya setelah saya hitung-hitung, biaya yang
hilang hampir 740 triliun karena ketidakefisienan seperti itu. Ini masalah
kecepatan, hanya masalah kecepatan. Tapi saya yakin tahun ini pasti, 3 (hari)
itu Insya Allah akan kita dapatkan dengan cara apapun, apa ganti menterinya
lagi atau yang lain.
Yang ke dua, ini juga kecepatan. Saya sudah tekankan, saya dapat banyak masukan lagi di daerah, dari daerah baik di kabupaten, kota, provinsi, sama masalah perizinan. Sehari setelah dilantik yang saya urus itu.
Saya datang ke BKPM, ini masalah penanaman modal. Saya tanya ke
sana, bagaimana izin di sini? Saya tanya ke pemohon kan. Bisa 6 bulan, 8 bulan,
bisa setahun. Saya sudah mikir ini pasti tergantung, kalau 6 bulan berapa,
kalau 8 bulan berapa, kalau setahun berpa. Sudahlah ngerti, itu makanan
sehari-hari sebelum saya masuk ke pemerintahan, ngertilah sudah.
Saya perintah saat itu semua kementerian yang ada izin-izin
masukkan ke satu pintu di BKPM, ada 21 kementerian harusnya masuk ke sana. Saya
tunggu 3 bulan masih separuh. Ini kan mendelegasikan kewenangan kepada BKPM,
saya ngerti kenapa pada sulit, karena di situ ada ‘kue’-nya. Bapak Ibu tahu ya
‘kue’ ya? Karena ada ‘kue’ ya, gak mau. Tapi begitu saya sudah ngomong, tidak
ada tawar menawar lagi, saya beri waktu. Akhirnya 21 menyerahkan ke sana
kewenangannya.
Tiga bulan setelah itu, saya cek lagi masih seminggu dua minggu
kalau izin, tapi kan sebelumnya bulan menjadi seminggu dua minggu. Saya
sampaikan, saya gak mau, kenapa masih seminggu dua minggu?
“Pak, memang sudah diserahkan ke sini tapi tanda tangan masih di
kementerian.”
Ini akal-akalan saja ini. Saya sampaikan kepada menteri,
diserahkan total ke BKPM. Saya sampaikan kepada Kepala BKPM, saya minta tidak
minggu lagi. Saya gak mau hari, tidak mau minggu, ngurus izin jam. Ini jamannya
computerized, jamannya IT. Saya pernah coba yang ngurus SIUP TDP, SIUP
itu apa sih, hanya ada 6. Nama perusahaan, nama pemilik, alamat, modal usaha,
jenis usaha, hanya gitu-gitu.
Coba saya mau coba dengan yang ada di meja front (depan). Di
oba, saya hitung dua menit. Ini kok masih minggu, masih bulan ngurus kayak
gitu. Kenapa ini dua menit, jadinya kok masih minggu? Kenapa, saya tanya
langsung? Saya memang senang ke daerah, ke lapangan karena saya ingin ngerti
detil hal-hal seperti itu. Saya ingin ngerti mikro tapi saya juga ingin ngerti
makronya, saya ingin nguasai itu. Apa jawabnya? Kenapa ini dua menit? Tapi tadi
saya tanya pemohon bisa seminggu-dua minggu.
“Iya, Pak. Kalau di saya dua menit bisa, tapi yang di lantai 3,
yang di atas itu yang lama.”
“Loh? Siapa yang di atas itu?”
“Yang tanda tangan, Pak, Pak Kepala.”
Ini ternyata yang tanda tangan malah dua minggu, tanda tangan
satu detik kan rampung.
Hal-hal seperti yang kita akan kalah dalam kompetisi kalau tidak
dihilangkan. Saya sudah minta bupati, wali kota, semuanya harus ngikutin
hal-hal seperti itu. Kalau kita ingin memenangkan kompetisi. Kalau tidak, kita
ditinggal oleh negara lain. Pilihannya hanya itu, menang atau kita ditinggal.
Kalau saya, saya ingin menang dan saya harapkan seluruh rakyat juga ingin
negara kita menang.
Kecepatan, pelayanan, kemudian apa lagi yang tidak efisien? Itu
yang akan terus kita lakukan, yang lama, yang tidak efisien, yang menyebabkan
kartelisasi, yang menyebabkan oligopoli, semuanya harus hilang.
Petral ini juga sama. Bapak Ibu tahu Petral ya? Beli minyak,
beli minyak kita kan beli bisa yang G to G langsung, pemerintah ke pemerintah
jelas lebih murah. Ini kenapa lewat orang yang ke tiga, yang di tengah? Sudah
bertahun-tahun gak bisa hilang, saya sudah perintah ke menteri. Bubarkan itu,
bekukan, bubar! Menterinya tanya saya lagi, “Pak, Bapak serius?”
Sudah diperintah, dibubarkan, bubarkan! Karena menteri kerjanya
masih ragu-ragu. Kalau dua kali tanya, baru, ditegasin itu baru ya bubar
sekarang. Ini yang menyebabkan ketidakefisienan tapi banyak yang gak seneng,
saya tahu banyak sekali. Karena di sini bukan puluhan triliun lagi, hmm..ngerti
saya.
Jadi untuk memperkuat daya saing pemerintah melakukan
perubahan-perubahan yang fundamental, pengalihan subsidi yang konsumtif kepada
yang produktif. Coba setiap tahun kita dulu kehilangan 300 triliun untuk subsidi,
yang disubsidi siapa? Yang disubsidi siapa? Saya cek di data 82% itu yang
disubsidi ternyata yang punya mobil, Bapak Ibu Saudara-saudara semuanya dapat
subsidi coba. Terus yang di desa dapat apa? Yang nelayan, yang usaha mikro
kecil-kecil dapat apa?
Oleh sebab itu, perubahan itu harus dilakukan, termasuk
pembubaran Petral, politik anggaran yang selama ini kita konsentrasi dan fokus
pada infrastruktur, pada pendidikan dan kesehatan. Kemudian pembangunan yang
tidak Java-centris tetapi Indonesia-centris itu yang akan terus kita lakukan.
Kemudian hilirisasi, industrialisasi, gak bisa lagi kita kirim ke luar sekarang
mentahan (raw material). Gak, harus diolah di sini. Karena nilai tambah itu
harus berada di Indonesia.
Juga infrastruktur kita, karena dua menurut saya yang sangat
penting. Selain tadi, masalah aturan-aturan, kecepatan, pelayanan,
infrastruktur menjadi sangat penting sekali. Percuma kita melayani cepat tetapi
begitu masuk ke pelabuhan-pelabuhannya terlalu kecil, kapal besar gak bisa
masuk, sehingga yang dibangun harus pelabuhan. Ini di Kuala Tanjung sudah mulai
tahun kemarin, Makassar New Port sudah mulai tahun ini, di Sorong akan kita
mulai. Sudah, gak ada pilihan-pilihan. Konektivitas hubungan antar provinsi
antar pulau karena kita harus sadar kita mempunyai 17.000 pulau.
Kemudian infrastruktur yang lain, kayak jalan tol, jangan di
Jawa saja donk. Di luar Jawa juga sangat penting, karena ini sekali lagi,
kecepatan mobilitas barang, mobilitas manusia. Ini di Trans Sumatera, ini sudah
seperti gambar ini (gambar jalan tol Trans Sumatera) meskipun baru kecil sekali
yang jadi. Tapi yang penting buat saya, dimulai, masalah diselesaikan kalau
ada, tapi dimulai dan di luar Jawa.
Biasanya kalau Presiden itu ground breaking, sudah, iya kan?
Tapi memang seharusnya seperti itu, tapi saya nggak. Setelah ground breaking,
dia bulan saya cek lagi, empat bulan saya cek lagi. Saya ke tol Trans Sumatera
ini sudah lima kali, semua yang besar-besar pasti akan saya kontrol. Saya cek,
saya kontrol, saya cek, saya cek, saya cek lagi pasti, saya pastikan. Saya
ingin melakukan ini agar yang bekerja di bawah itu betul-betul, pertama
semangat, yang ke dua merasa bahwa dia bekerja diawasi. Kadang-kadang juga ada
yang ngerasa-ngerasa, ini Presiden kok setiap hari ke sini? Biar, gak apa-apa.
Bandara kecil-kecil, yang di Rembele. di Bener Meriah, di
Sorong, ingin sekali dikonektivitas. Saya ngerti, begitu saya cek di Trans
Sulawesi, kereta api ini transportasi yang paling murah, darat itu yang paling
murah ya kereta api. Ini sudah direncakankan 30 tahun yang lalu, tol Trans
Sumatera juga katanya sudah 35 tahun yang lalu sudah direncanakan,
direncanakan.
Kalau saya gak berfikir panjang-panjang. Sudah putuskan, jalan,
putuskan jalan. Kenapa seperti itu? Infrastruktur itu semakin diundur akan
semakin mahal, saya berikan contoh MRT di Jakarta. Pembebasan lahan ada 100
juta, 150 juta, 200 juta coba per meter. Coba itu dibangun 25 tahun yang lalu,
paling hanya masih sejuta lima juta, itu baru pembebasan lahan, belum harga
keretanya, sudah lipat.
Jalan-jalan desa juga perlu karena komoditas produk itu dimulai
dari desa. Oleh sebab itu, dana desa tahun kemarin 21 triliun, tahun ini 47
triliun. Kenapa ini penting? Karena desa itu adalah dimulainya produk-produk
itu berangkat, entah yang namanya beras, entah yang namanya palawija, yang
namanya holtikultura semuanya asalnya dari situ. Kalau jalannya gak baik,
bagaimana mobil bisa datang di desa itu? Produk-produk bagaimana bisa dikirim
ke kota kalau jalannya seperti yang ada di seberang sana (menunjuk gambar
jembatan yang rusak), kalau jalannya seperti itu. Padahal hanya delapan bulan
bisa dibangun seperti yang sebelah kanan (gambar jembatan baru). Kita sudah
bangun ini, saya coba saja ke Menteri PU, dicoba saja satu provinsi saja
jembatan kecil-kecil coba yang bergelantungan seperti itu dibangun semuanya.
Di Banten, kemarin dibangun berapa? Sepuluh, tapi setelah ini
akan dibangun lebih banyak karena saya mau ngecek dulu harganya berapa. Saya
itu paling cerewet masalah harga. Cek dulu, bener, oke jalan. Kalau saya ke
lapangan, ini kalau saya cek 5 kali. Pak Menteri PU pasti 10 kali, iya donk.
Kalau presidennya 5 kali, menterinya pasti 10 kali, dua kali lipat ini pasti.
Nanti dirjen-nya pasti ngecek ke bawahnya 20 kali, nanti bawahnya lagi direktur
atau apa pasti 40 kali, pasti seperti itu. Ini manajemen kontrol ya seperti
itu. Manajemen itu apa sih, merencanakan, mengorganisasi, melaksanakan dan
mengontrol, mengawasi. Hanya itu.
Kemudian masuk tadi ke masalah pangan. Bagaimana kita bisa
menanam, menanam, menanam kalau air tidak disediakan? Sehingga memang kita
gila-gilaan, saya sudah sampaikan ke menteri sudah bangun setelah lihat
lapangan semuanya 49 waduk dalam 5 tahun ini. Tahun kemarin 13, tahun ini 8,
tahun depan lagi tambah, tambah, tambah. Karena kuncinya di situ, pangan.
Sekali lagi, energi dan pangan. Konsentrasi untuk memenangkan
pertarungan global itu hanya dua itu. Orang nanti kalau kita sudah betul-betul
butuh bendungan semuanya ada. Suatu saat, saya gak tahu tahun berapa, orang
akan bisa datang, kepala pemerintahan/kepala negara, “Pak Presiden, mohon kami
bisa dikirim dari Indonesia beras sekian juta ton.”
Akan bisa berbondong-bondong seperti itu karena jumlah penduduk
sudah lipat dua kali, akan ada kejadian seperti itu. Ini yang harus kita
persiapkan, mulai dari irigasi kecil itu harus diurus. Gak tahu berapa
puluh tahun irigasi kecil kita ini. Kita suruh cek kemarin 52% rusak total,
rusak berat.
Dan terakhir, saya ingin mendorong UNS untuk juga konsentrasi
menembangkan riset serta hilirisasi yang kompetitif, untuk menjawab
keperluan-keperluan tadi dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat dan kebutuhan pasar
yang ada. Ini harus menyesuaikan, perguruan tinggi mestinya menyesuaikan itu.
Kalau kebutuhan pasar, kebutuhan masyarakatnya di pangan mestinya heavy-nya
agak ke sana, energi heavy-nya juga ke sana.
Saya minta riset-riset yang memperkuat inovasi, yang memperkuat
competitiveness, daya saing itu terus dilakukan. Perguruan tinggi juga perlu
mengembangkan tema-tema riset yang strategis, tidak hanya kita riset untuk kita
sendiri tapi betul-betul tematis dan arahnya, goal-nya, ke mana itu harus
kepentingan masyarakat, kebutuhan masyarakat dan bisa dipakai oleh pasar baik
industri, baik manufaktur, dan juga sisi pertanian, sisi nelayan. Proyek-proyek
nasional yang berbasis riset, yang UNS juga sudah melakukan di bidang mobil
listrik, sepeda motor listrik, saya kira harus terus dikembangkan.
UNS sebagai universitas yang berkembang menuju kelas dunia harus
aktif dan juga mempersiapkan diri menjadi perguruan tinggi yang mandiri dan
menjadikan UNS tidak kalah dengan universitas-universitas lain di dunia dan
nantinya menjadi kebanggan kita, menjadi kebanggaaan Indonesia. Standar-standar
intenasional karena sekali lagi kompetisi ini tidak hanya kota dengan kota,
tidak hanya negara dengan negara, tapi univesitas di sini dengan universitas di
negara yang lain, saya kira ini yang harus menjadi standar-standar kita.
Saya memberikan penghargaan, memberikan apresiasi kepada UNS
yang telah diterima kehadirannya sebagai kampus yang peduli pada rakyat, kepada
wong cilik khususnya yang fokus pada pemberdayaan UMKM, yang saya lihat dari
dulu konsistensi UNS dalam pemberdayaan dan pengembangan usaha mikro, usaha
kecil, usaha menengah yang mengakar dalam masyarakat dan saya kira ini bisa
diangkat dalam forum-forum nasional maupun global.
Pada saat ini, UNS juga memiliki pusat studi UMKM dan prodi S2,
S3 mengenai pemberdayaan mayarakat, dengan bidang konsentrasi salah satunya
adalah pemberdayaan UMKM, ini memang harus fokus, harus tematis. Maka UNS juga
harus hadir di ujung-ujung pelayanan pendidikan dengan tri darma perguruan
tingginya dengan mengedepankan kepentingan rakyat.
Demikian yang bisa saya sampaikan pada kesempatan yang baik ini,
selama dies natalis ke-47 dan lustrum ke-8 kepada selurtuh keluarga besar UNS.
Selamat bekerja, selamat berkarya. Terima kasih.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
=========================Eko Sulistyo, Wahyu Susilo, Wiharti Ade Permana, Ronggo