Oleh : Dahlan Iskan
Minggu, 14 Nopember 2021 - 04:25 WIB
LAMA-LAMA saya hanyut juga: ikut rombongan –!!!– Durian
Travellers, DT. Rutenya: Malang-Senduro, di Lumajang.
Di Malang, Anda sudah tahu: wajib
ke kebun duriannya Mas Yanto (Baca Disway: Durian Pentil). Yang di dekat Gunung
Kawi itu.
Ampun. Rakus semua. Makan durian
seperti makan singkong saja. Termasuk ketika makan yang kelas Musangking. Saya pun harus mengajari
mereka di bawah pohon yang penuh buah berduri itu: makan durian itu harus seperti
makan es krim. Dicucup lembut, halus, sedikit sedikit, dengan bibir dan lidah,
sambil mata agak terpejam.
Saya praktikkan di depan mereka
bagaimana menikmati durian. Saya ambil yang Musangking. Saya peragakan cara itu
dengan makan durian beneran.
Sangat pelan dan lembut. Lalu
satu lagi. Juga pelan. Masih satu lagi. Dan lagi. Dan lagi.
Tidak boleh disosor secara kasar.
Gila semua.
Setelah pelajaran pendek
tersebut, mulailah dibelah durian ke dua: habis dalam sekejap. Pun yang ketiga
dan seterusnya. Anak-anak muda memang tidak bisa diajak main halus.
Yang kumpul hari itu, Senin lalu,
termasuk yang datang dari Samarinda, Makassar, Palembang, Banyumas, Tegal dan
Bandung. Masing-masing bercerita tentang kelebihan durian di kampung mereka.
Saya pun bertanya: adakah di
tempat kalian orang seperti Mas Yanto. Yang berani membuang pentil-pentil
durian yang begitu banyak. Kok tidak dibiarkan saja pentil itu jadi buah durian
yang besar.
"Tidak ada," jawab
mereka bergantian. Umumnya, pemilik pohon durian merasa sayang pentil yang
begitu banyak dirontokkan.
"Ada!" ujar Pak Akhiong
yang juga punya kebun durian.
Pak Akhiong bukan anggota DT. Ia
tidak ikut hadir di Malang.
Pak Akhiong kirim WA ke sana
-setengah mengoreksi Disway tentang keberanian Mas Yanto.
"Maaf saya sudah lama tidak
berkomunikasi. Kemarin saya melihat youtube Durian Traveller. Yang ada acara
makan durian di Malang. Saya dengar bapak bicara begini: belum pernah ada
pekebun di Indonesia yang berani membuang pentil atau buah durian sebesar bola
tenis. Tentu itu tidak benar. Di Bangka, di kebun Jebus, Koba, maupun di Parit3
(Tupaicong) sudah dilakukan. Dari tahun 2018, 2019, hingga 2021. Pekebunnya
membuang banyak buah. Disortir. Yang potensial saja dibiarkan membesar".
Terima kasih Pak Akhiong. Kian
lengkaplah informasi tentang pentil durian.
"Teman saya di Medan juga
sudah mulai melakukan itu," tambahnya.
"Di sana cara itu disebut
apa?" tanya saya.
"Kami tidak tahu apa itu
pentil. Atau apa itu buang pentil. Proses itu kami sebut pruning," ujar
Pak Akhiong. Buah durian, ketika baru sebesar bola tenis atau bola takraw harus
dipruning.
Akhiong pun mengirimkan foto-foto
hasil pruning itu. Saya lihat, durian yang dipruning memang sudah bukan pentil
lagi. Sudah lebih besar dari pentil.
Mungkin yang dilakukan Pak Yanto
lebih baik: dipruning ketika masih pentil. Ketika baru sebesar bolanya Alay.
Kan sayang, nutrisi pohon sudah telanjur banyak terserap di buah itu baru
dibuang.
Mungkin juga mereka yang di
Bangka dan Medan itu yang benar: kalau masih terlalu pentil bagaimana bisa tahu
mana yang perkembangannya kurang baik?
Cara Bangka itu bisa lebih yakin
memilih mana pentil yang memang harus dibuang.
Dari Malang saya berangkat duluan
menuju Lumajang. Saya memilih jalur yang lebih panjang: memutar ke arah selatan
gunung Semeru. Ingin tahu saja.
Saya belum pernah melewati jalur
itu.
Itulah jalur yang disebut lewat
Piket Nol.
Saya tidak menyangka jalur antar
kecamatan ini padat dengan kendaraan truk. Kelihatannya ekonomi berkembang baik
di pelosok ini. Di sepanjang jalan, saya melihat pohon sengon di mana-mana. Di
lereng-lereng bukit. Petani memilih menanam sengon. Yang setelah lima tahun
bisa dipanen: dijadikan bahan baku industri kayu.
Setelah tiga jam perjalanan,
tibalah di Piket Nol. Langit bermendung hitam. Matahari kian menyenja. Saya
belum menulis artikel Disway. Pun belum memilih komentar pilihan.
Itu cukup alasan untuk berhenti.
Biarlah istri jalan-jalan di Piket Nol. Saya duduk di atas batu besar. Di
tebing batu yang tinggi. Di situlah saya menulis naskah. Di HP tercinta ini.
Juga membaca semua komentar sampai jam itu.
Ternyata istri tahu sendiri ke
mana dan di mana pemandangan terbaik. Saya menyusul: ternyata ke jembatan lama
yang sudah tidak dipergunakan lagi.
Dari jembatan ini terlihat
jembatan baru yang lebih tinggi dan besar. Pemandangannya bagus sekali.
Beberapa turis lokal juga terlihat di jembatan lama itu. Sambil wajahnya
terlihat penuh ketakutan. Takut roboh. Aspal jembatan memang masih utuh, tapi
pagarnya sudah lenyap. "Dicuri orang," ujar Bupati Lumajang, Toriqul
Haq yang masih sangat muda itu.
Tapi pencurian itu bukan urusan
bupati. Jembatan itu milik provinsi. Hanya saja sayang kalau sampai runtuh.
Jembatan lama itu bisa jadi panggung wisata. Bisa diberi pengaman yang memadai.
Dan lagi jembatan itu bisa untuk
arena uji nyali. Sesekali jembatannya bergetar. Itu pertanda gunung Semeru lagi
batuk-batuk kecil. Kalau sampai roboh memang berbahaya: sungai di bawahnya
dalam sekali.
Dulu memang ada pos di pinggir
jalan: itulah pos untuk piket di lokasi yang tertinggi di jalur
Malang-Lumajang.
Di pos itu dulunya wisatawan
istirahat. Kini sudah rusak. Warung-warung kecilnya juga sudah kumuh.
Lingkungan Piket Nol harus diselamatkan. Mungkin sulit: siapa yang merasa
memilikinya.
Saya sudah terlalu malam tiba di
Lumajang. Sudah lapar. Pak Bupati Toriqul Haq minta saya makan di pendopo. Saya
milih bertanya: di mana ada sate gule yang enak.