SRI MULYANI
Menteri terbaik dunia: Mengapa Sri
Mulyani layak mendapatkan predikat itu?
Muhamad Chatib Basri Ekonom, Menteri Keuangan periode
2013-2014
Ketika
mendengar bahwa Sri Mulyani mendapat penghargaan sebagai Menteri terbaik dunia
di World Development Summit di Dubai, saya tak terlalu terkejut. Bahkan
mungkin, menurut saya, penghargaan ini agak terlambat. Seharusnya ia memperoleh
predikat itu sejak beberapa tahun lalu.
Mengapa?
Banyak studi yang menunjukkan bahwa salah satu pilar utama stabilitas
makroekonomi Indonesia adalah stabilitas fiskal.
Ketika Sri
Mulyani kembali ke Indonesia untuk menjadi Menteri Keuangan pada tahun 2016, ia
memastikan bahwa kebijakan fiskal kita kredibel. Secara berani ia memotong
anggaran sekitar Rp140 triliun, untuk memastikan bahwa anggaran pemerintah
realistis, kredibel dan memberikan fondasi yang kokoh bagi struktur ekonomi
Indonesia.
Tentu tak
semua setuju. Kebijakan ini dianggap procyclical, tidak mendorong pertumbuhan.
Padahal dalam kondisi pertumbuhan ekonomi yang melambat, yang harus dilakukan
adalah ekspansi fiskal.
Kritik ini
tentu saja ada benarnya. Namun jangan dilupakan, sebelum ekspansi fiskal dapat
dilakukan, harus dipastikan dulu, bahwa anggaran pemerintah berkelanjutan
(sustainable). Bila tidak, itu akan membahayakan perekonomian.
Kita belajar
dari pengalaman Brazil, bagaimana defisit anggaran yang tak terjaga
mengakibatkan perekonomian Brazil terpuruk, terutama setelah Taper Tantrum
2013.
Kita juga
belajar dari pengalaman Yunani, bahwa defisit anggaran yang dibiayai oleh utang
yang terlalu besar membawa perekonomian mereka kedalam krisis.
Selain itu,
tentu kita harus mencatat: bahwa defisit anggaran di Indonesia yang meningkat
tajam tahun 2015-2016, lebih disebabkan oleh rendahnya realisasi penerimaan
pajak, akibat target pajak yang terlalu tinggi. Dan ini menggoyahkan
kepercayaan orang kepada fondasi makroekonomi kita.
Sri Mulyani
mengembalikan keberhati-hatian fiskal (fiscal prudence).
Saya ingat,
dalam sebuah diskusi informal dengan Sri Mulyani, saya mengatakan beruntung
sekali langkah itu diambil sebelum Trump menjalankan kebijakan pemotongan
pajaknya dan sebelum the Fed merencanakan untuk mempercepat kenaikan bunga.
Bila tidak, kekuatiran akan fiskal yang tak kredibel akan mendorong arus modal
keluar jauh lebih besar dibanding beberapa waktu lalu.
Tentu kita
harus mencatat: ke depan kebijakan fiskal harus bergerak lebih dari sekedar
penopang stabilitas makro, itu harus menjadi instrumen countercyclical
dalam perekonomian. Namun ia membutuhkan tahapan.
Kita sudah
mulai melihat arah itu sekarang. Pertumbuhan ekonomi 2018 berpeluang untuk
tumbuh lebih baik dibanding tahun 2017. Fondasi makro yang baik membantu hal
ini.
Kebijakan
fiskal procyclical adalah saat pemerintah memilih untuk meningkatkan belanja
negara dan mengurangi pajak ketika ekonomi sedang baik, namun mengurangi
belanja dan meningkatkan pajak saat resesi.
Sebaliknya,
kebijakan fiskal countercyclical, pemerintah mengurangi belanja dan
meningkatkan pajak selama ekonomi sedang baik, dan mengurangi belanja dan memotong
pajak selama resesi.
Mungkin
karena hal ini, Sri Mulyani pantas dinobatkan sebagai menteri terbaik dunia
versi World Government Summit.
Namun bagi
saya, Sri Mulyani melangkah lebih jauh dari itu.
Ia tak hanya
melakukan tugas utama Menteri Keuangan: memastikan kesinambungan fiskal dan
menggunakan fiskal sebagai instrumen untuk pertumbuhan, stabilitas dan alokasi
anggaran untuk mencapai target pembangunan seperti mengurangi kemiskinan,
perbaikan kesehatan, pendidikan dan infrastruktur.
Sri Mulyani
bergerak lebih jauh. Dan hal ini dilakukannya jauh sebelum ia mendapatkan
penghargaan ini.
Bagi saya
kontribusi yang luar biasa dari Sri Mulyani adalah pembangunan institusi di
Kementerian Keuangan. Sayangnya tak banyak media lokal atau studi di Indonesia
dibuat tentang ini.
Tahun 2015
saat saya menjadi Senior Fellow di Harvard Kennedy School, saya diundang oleh
Princeton University untuk memberikan ceramah tentang Taper Tantrum. Tetapi
yang menarik adalah mereka meminta saya juga untuk menjadi pengajar tamu disalah
satu kelas dan membagi pengalaman reformasi di Kementeri Keuangan.
Princeton
University memang menulis sebuah studi kasus tentang reformasi di Kementerian
Keuangan berjudul: Changing a Civil Service Culture: Reforming Indonesia
Ministry of Finance: 2006-2010
Saya cukup
beruntung karena terlibat didalam proses reformasi itu, sebagai Staf Khusus
Menteri Keuangan ketika itu. Bagi saya, ini adalah kontribusi Sri Mulyani yang
luar biasa.
Mereka yang
memiliki interaksi yang cukup intens dengan Kementerian Keuangan akan melihat
perbedaan yang fundamental sebelum dan sesudah tahun 2006.
Sri Mulyani
bergerak lebih jauh dari memastikan kesinambungan fiskal.
Pembenahan
institusi dilakukan secara menyeluruh. Ditata dengan sabar, tidak mudah.
Termasuk upaya pemberantasan korupsi di bea cukai dan pajak. Masih jauh dari
sempurna, namu upaya perbaikan dilakukan. Upaya pelayanan ditingkatkan. Tentu,
hasilnya belum sepenuhnya memuaskan.
Bahkan di
banyak sisi kita masih melihat berbagai kelemahan. Namun kita memang melihat
Kementerian Keuangan yang berbeda setelah reformasi institusi dimulai pada
tahun 2006.
Saya
menyaksikan bagaimana proses reformasi institusi dilakukan dengan gigih. Tak
mudah, kadang menimbulkan rasa frustrasi. Kerap kali Sri Mulyani juga tersulut
emosinya.
Ketika saya
menjadi Menteri Keuangan di periode 2013-2014, proses ini dilanjutkan, dan saya
merasakan bahwa tugas Menteri Keuangan menjadi lebih mudah, karena -- walau
masih jauh dari sempurna -- Kementerian Keuangan sudah memiliki sistem yang
lebih baik dalam hal standar, prosedur, evaluasi kinerja dan sebagainya.
Tak heran
bagi saya bila pada tahun 2016 Princeton University merilis studi kasus
Kementerian Keuangan.
Karena itu
saya tak terkejut ketika membaca rilis resmi tanggal 11 Februari 2018 dari Sri
Mulyani: "Berbagai upaya reformasi kebijakan telah dicanangkan di
Kementerian Keuangan, bertujuan untuk mendorong kebijakan fiskal menuju
pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan. Reformasi birokasi di Kementerian
Keuangan juga sudah membuahkan banyak hasil."
Sri Mulyani
benar. Itu sebabnya saya mengatakan bahwa ia berhak mendapat penghargaan itu
sejak beberapa tahun lalu.
Tentu,
keberhasilan ini, bukanlah keberhasilan individu. Seperti yang dikatakan Sri
Mulyani, ia cukup rendah hati untuk mengatakan bahwa ini adalah keberhasilan
kolektif, dan tentunya pengakuan akan keberhasilan Indonesia, seperti yang
dikatakan oleh Presiden Joko Widodo.
Kontribusi
Sri Mulyani yang luar biasa adalah membenahi institusi Kementerian Keuangan.
Saya mengenal
Sri Mulyani cukup lama. Satu hal yang tak pernah saya lupakan adalah pengalaman
kami di G-20. Saya ringkaskan sedikit disini.
Dalam
pertemuan G-20 di Pittsburgh, Presiden Obama meminta Indonesia untuk membagikan
pengalamannya dalam menurunkan subsidi BBM. Kita ingat pada tahun 2005 dan
2008, Indonesia menaikkan harga BBM dan mengalokasikan subsidinya untuk rakyat
miskin melalui program BLT.
Mungkin aneh
bagi sebagian diantara kita, mengapa kebijakan yang di dalam negeri dicaci maki
habis-habisan, justru dianggap cerita sukses dan patut contoh oleh
negara-negara anggota G-20.
Siang itu,
Presiden Yudhoyono sudah siap untuk memberikan paparannya. Sayangnya, waktu
sangat terbatas, sehingga Presiden SBY tak jadi bicara.
Tentu kami
semua -- saya ingat yang ada di ruang pertemuan itu adalah Menteri Keuangan Sri
Mulyani, juru bicara Presiden Dino Djajal, Mahendra Siregar dan saya sebagai
Deputi Menteri Keuangan untuk G-20 -- merasa amat kecewa.
Kami berusaha
meminta keterangan dari delegasi Amerika Serikat, tapi jawabannya tak memuaskan
karena yang memimpin sesi itu adalah Obama sendiri. Mereka tentu tak berani
menanyakan kepada Obama.
Saya ingat
Sri Mulyani setengah berbisik kemudian mengatakan, "Sepertinya saya mesti
ngomong langsung dengan Obama kalau begini". Saya kira dia bergurau.
Tetapi kemudian saya sadar, Sri Mulyani serius dengan ucapannya.
Ia
menghampiri Presiden Obama yang baru memasuki ruangan setelah jeda makan siang.
Mereka berbicara berdua. Saya kebetulan berada kurang lebih dua meter di
belakang Sri Mulyani, sehingga saya mendengar percakapan diantara mereka.
Dengan terus
terang -- khas Sri Mulyani -- ia menyampakan kekecewaannya. Ia mengatakan bahwa
Presiden Obama sudah meminta Indonesia untuk memberikan pidato, tetapi waktunya
habis. Karena itu ia meminta Presiden Obama menyampaikan maaf kepada Presiden
SBY dan memberikan kesempatan di sesi berikutnya.
Saya
terkejut.
Presiden
Obama -- saya kutip dari ingatan -- tersenyum dan mengatakan, "Itu
kesalahan saya, saya minta maaf, saya akan berikan kesempatan di sesi berikutnya."
Setelah itu saya lihat Presiden Obama menghampiri Presiden SBY dan berbicara
berdua.
Dan di sesi
berikutnya, Presiden Obama meminta maaf secara terbuka, dan meminta Presiden
SBY untuk menyampaikan pidatonya.
Sri Mulyani
kelihatan tersenyum. Sambil bercanda kami mengatakan kepada Sri Mulyani:
sebetulnya ia lebih cocok menjadi Menteri Pertahanan ketimbang Menteri
Keuangan!
Ini adalah
anekdot kecil tentang Sri Mulyani. Tentu bukan karena itu, ia dinobatkan
sebagai Menteri terbaik dunia oleh World Development Summit.
Bagi saya
reformasi kelembagaanlah kontribusinya yang luar biasa. Hal ini persis seperti
yang kita lihat sebagai salah satu agenda utama Presiden Joko Widodo untuk
memperbaiki ease of doing business (kemudahan melakukan usaha): mempermudah
perijinan, menghapus regulasi yang berbelit.
Reformasi inilah yang akan membawa Indonesia ke arah yang lebih baik. Selamat!