DISRUPSI
7 RAKSASA BISNIS INDONESIA
7
Raksasa Industri Bisnis Indonesia Yang Diprediksi Akan Terpuruk
Sudah sempat baca berita mengenai sepinya pembeli di pasar Glodok? Miris sekali rasanya, karena dulu buat orang-orang yang tinggal di Jabodetabek, kalau mau beli elektronik, ya ke Glodok. Sayangnya, kondisi sepinya Glodok ini sudah dialami sejak beberapa tahun belakangan disebabkan karena berjamurnya toko online, disisi lain, penjual diberatkan dengan uang sewa toko.
Trend bisnis Indonesia saat ini
Trend sepinya pembeli di
pasar tradisional (offline) yang akhir-akhir ini terjadi diramalkan akan terus
berlanjut.
Proses penjualan modern,
yaitu perpindahan pembelian dari proses tradisional (offline) dimana pembeli
bertemu dengan penjual di suatu tempat (seperti toko), kemudian berpindah
ke pembelian secara online, dimana pembeli tidak lagi harus
bertemu bahkan berinteraksi dengan penjual.
Perubahan trend ini tidak
hanya terjadi di Indonesia saja, tetapi telah terjadi juga di belahan dunia
lain dan akan terus terjadi mengikuti perilaku manusia modern yang mudah dan
efisien. Akibatnya, beberapa industri dan bisnis terpaksa atau dipaksa untuk
beradaptasi.
Berikut 7 jenis bisnis
yang diprediksi bakal terpuruk karena perkembangan dunia digital (online):
1. Bisnis Retail dan Supermarket
Belum lama ini, kita
dikejutkan dengan berita kebangkrutan salah satu pioneer supermarket yang
mengusung konsep supermarket dan coffee shop, yaitu Seven Eleven. Hal ini
menjadi salah satu bukti akan ketatnya persaingan bisnis di area tersebut.
Belum lagi gebrakan yang dilakukan Amazon melalui AmazonGo (supermarket yang
terintegrasi dengan aplikasi smartphone) yang bisa jadi akan masuk ke pasar
Indonesia. Dengan mengusung konsep “No lines, No checkout” atau “Tanpa antri,
Tanpa bayar dikasir”, AmazonGo bisa jadi akan menjadi saingan berat untuk
brand-brand supermarket ternama seperti Carrefour, Hypermart dan lain-lain.
2. Bisnis Perdagangan Elektronik
Pasar elektronik Glodok
menjadi salah satu pusat perdagangan elektronik terbesar di Indonesia pada
tahun 1990-an yang berlokasi di Jakarta Barat. Sejak 2-3 tahun belakangan,
Glodok menjadi sepi pembeli salah satu penyebabnya karena berkembangnya toko
online. Kebanyakan pedagang yang masih bertahan di Glodok karena memiliki toko
online, sedangkan pedagang yang tidak menjual online, sudah bisa dipastikan
tidak dapat bertahan di Glodok.
3. Bisnis Perdagangan Handphone
Indonesia sebagai salah
satu pasar terbesar telpon genggam. Roxy Square menjadi salah satu saksi bisu
geliat di tahun 2000an di Jakarta.
Pembangunan fly over dilakukan sebagai solusi untuk mengurai kemacetan di daerah Roxy Square dan maraknya penjualan melalui online di sinyalir menjadi 2 alasan terbesar sepinya pembeli di Roxy Square saat ini. Belum lagi biaya sewa ruko 20jt/tahun.
Pembangunan fly over dilakukan sebagai solusi untuk mengurai kemacetan di daerah Roxy Square dan maraknya penjualan melalui online di sinyalir menjadi 2 alasan terbesar sepinya pembeli di Roxy Square saat ini. Belum lagi biaya sewa ruko 20jt/tahun.
4. Bisnis Transportasi
Siapa yang tidak kenal
GoJek, Grab atau Uber? 3 brand transportasi terbesar yang saat ini ada di
Indonesia. Anehnya, meski berpenghasilan ratusan juta setiap harinya,
perusahaan-perusahaan ini tidak memiliki aset transportasi sebagaimana yang
layaknya bisnis transportasi sebelumnya, atau lebih dikenal sebagai “share economy” atau
“peer economy”.
Model bisnis tersebut, berdampak sangat besar bahkan hingga menimbulkan gejolak
sosial yang sebelumnya menggantungkan hidupnya pada jasa transportasi seperti
ojek pangkalan dan taxi.
5. Bisnis Perhotelan
Hampir serupa dengan nasib
transportasi offline, industri perhotelan terus berusaha keras bertahan agar
tingkat hunian (occupancy) tetap di angka yang menguntungkan. Salah satu faktor
penyebab menurunnya pendapatan pada industri ini yaitu online marketplace (seperti:
AirBnB) atau aplikasi budget hotel (seperti: Reddoorz dan Airy Room),
perusahaan website/aplikasi yang memungkinkan pemilih rumah, villa, apartement
bahkan kamar kos, agar dapat menyewakan propertinya kepada orang lain. Tingkat
hunian (occupancy)
beberapa hotel dan villa di Bali kurang dari 50% bahkan 0% occupancy selama
berhari-hari, sesuatu yang jarang sekali terjadi di beberapa tahun sebelumnya.
6. Bisnis Media Cetak
(Koran, Majalah, Tabloid, dll)
Sinar Harapan, Harian
Bola, Koran Tempo Minggu dan Jakarta Globe adalah hanya sebagian dari banyak
media cetak yang terpaksa harus menutup bisnisnya karena tingginya biaya cetak
koran dan tidak mampu bersaing dengan media online (seperti detik.com,
okezone), meskipun sebagian media offline sudah beralih ke online. Kejadian
serupa juga terjadi di media-media cetak di Amerika, sebut saja The Washington
Post dan The New York Times.
7. Bisnis Tekstil dan
Pakaian
Pasar Tanah Abang atau
dulunya bernama Pasar Sabtu, telah ada sejak tahun 1735 yang menjadi salah satu
pusat penjualan tekstil terbesar se-Asia Tenggara yang berlokasi di Jakarta
Pusat. Menurut beberapa sumber, penurunan penjualan hingga mencapai lebih dari
50% dirasakan oleh penjual jika dibandingkan dengan tahun lalu hal ini
dikarenakan berkurangnya daya beli masyarakat dan persaingan dengan eCommerce
(toko online) besar yang semakin digandrungi masyarakat.
Untungnya, sebagian pemilik toko di Tanah Abang masih terbantu dengan adanya pembeli reseller yang menjual kembali barang dagangan mereka melalui online.
Untungnya, sebagian pemilik toko di Tanah Abang masih terbantu dengan adanya pembeli reseller yang menjual kembali barang dagangan mereka melalui online.
Ekspansi
bisnis ke dunia digital atau online bukan lagi menjadi pilihan tetapi sudah
menjadi keharusan yang harus disegerakan. Mudahnya menjalankan bisnis online
mengakibatkan ledakan jumlah toko online di seluruh dunia. Modal kecil, tanpa
resiko kerugian, membuat toko online
dalam beberapa menit dan peluang keuntungan besar, menjadi
beberapa alasan banyak orang untuk terjun ke bisnis online. Pilihannya
hanya Beradaptasi atau Tergerus
zaman. Ayo mulai toko online kamu sekarang!