Monday, March 2, 2020

AKHIR KARIR MOCHAMMAD IDJON DJANBI

AKHIR KARIR MOCHAMMAD IDJON DJANBI

Mochammad Idjon Djanbi (MID) adalah Pelatih utama sekaligus Komandan pertama pasukan elite TNI-AD yang kini bernama KOPASSUS (Pada awalnya kopassus masih bernama Kesko TT). Idjon Djanbi merupakan nama yang amat keramat di kalangan pasukan Baret Merah Indonesia.

Mantan prajurit komando Belanda inilah yang pertama kali mengasah mental dan fisik anggota TNI-AD terpilih untuk kemudian dilatih menjadi prajurit tangguh berkualifikasi komando. Panglima Tentara Territorium III/Siliwangi, Kolonel AE Kawilarang yang meminta Mochammad Idjon Djanbi untuk membentuk pasukan komando. Pasukan kecil yang tangguh, tangkas dan mampu bertempur di segala medan.

Saat itu, di jawa barat terdapat gangguan gerombolan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang bergerilya dan menakutkan tentu saja menjadi masalah besar bagi Panglima TT III/Siliwangi. Panglima Siliwangi ketika itu, Kolonel Alexander Evert (AE) Kawilarang, teringat idenya bersama almarhum Brigjen Anumerta Slamet Riyadi untuk mendirikan pasukan khusus.

Dalam autobiografinya, AE Kawilarang: Untuk Sang Merah Putih (1989), Kawilarang menulis: “Untuk melawan gerakan-gerakan gerombolan yang mobil itu, saya perhitungkan, perlu dibentuk suatu kesatuan yang terlatih bertempur, secara kesatuan kecil sampai dengan dua orang saja dan all round. Dan itu harus diciptakan, diadakan."

INDONESIA, menurutnya, harus punya pasukan khusus. Dia memulai dari kesatuan yang dipimpinnya dahulu. Kolonel AE Kawilarang beruntung, Orang yang cocok untuk melatih pasukan impiannya tersebut tinggal di Lembang, dekat dengan markas Divisi Siliwangi. Orang itu adalah bekas perwira pasukan khusus Belanda yang sudah menjadi Warga Negara Indonesia. Ia seorang bule bernama Mochammad Idjon Djanbi. 

Sekitar 1952, AE Kawilarang memanggil laki-laki yang usianya 5 tahun lebih tua darinya itu. Laki-laki bule tersebut datang dengan pakaian khaki drill ala tentara pula. Kawilarang menjelaskan niatnya untuk membentuk satu kompi pasukan komando. Kawilarang meminta Idjon sudi untuk menjadi pelatih. Permintaan itu disambut dengan jawaban "iya". Idjon pun aktif menjadi TNI dengan menyandang pangkat Mayor.

Ketika diminta memimpin dan membentuk Kesatuan Komando (Kesko) tahun 1952, bukan perkara yang mudah. Tak ada sumber daya manusia, peralatan dan dukungan dana. Tetapi pelan-pelan Idjon Djanbi mampu mewujudkan sebuah pasukan komando yang handal dengan cucuran KERINGAT dan tetesan DARAH.

Ternyata tak semua suka kepadanya. Walau sudah masuk Islam, menjadi Warga Negara Indonesia dan menjadi perwira TNI, tetap saja Idjon dianggap sebagai orang Belanda. Dulunya, Idjon Djanbi bernama asli Rokus Bernardus Visser. Mantan komandan sekolah terjun payung Belanda. Dia anggota pasukan elite Belanda yang akhirnya bersimpati pada perjuangan Indonesia. Visser keluar dari tentara Belanda, menjadi WNI, Masuk Islam, Menikah dgn gadis sunda dan mengganti namanya menjadi Mochammad Idjon Djanbi dan menjadi petani bunga di Lembang.

Periode 1950an, sentimen itu memang tinggi. Apalagi Idjon Djanbi diangkat menjadi Mayor (Pangkat yang cukup tinggi kala itu). Desas-desus Idjon Djanbi adalah mata-mata Belanda kerap dihembuskan sejumlah perwira yang iri. Inisial MID, Mochammad Idjon Djanbi sering dikaitkan dengan Militaire Inlichtingendienst, dinas intelijen militer Belanda.

"MID, itu katanya singkatan dari intelijen Belanda. Sering ada bisik-bisik itu dulu. Tapi saya tak percaya, banyak teman-teman juga tak percaya. Kalau yang muda-muda memang banyak yang percaya lalu jadi berbeda terhadap Pak Idjon," kata Pak Nadi (seorang pensiunan pasukan elite didikan Idjon saat berbincang dengan merdeka.com).

Soal tudingan mata-mata ini juga digambarkan dalam Dalam buku Inside Indonesia's Special Forces yang ditulis Ken Conboy. Salah satu perwira muda yang tak menyukai Idjon Djanbi adalah Letnan LB Moerdani (kelak Panglima ABRI), yang baru lulus sekolah jadi instruktur. Benny mencurigai komandannya itu sebagai mata-mata. Tuduhan itupun tentu saja tidak bisa di buktikan.

Saat itu sejumlah pemimpin militer setuju melucuti kewenangan Idjon Djanbi, termasuk mengurangi porsi dalam melatih Kopassus. Namun, rencana tersebut tak dapat terlaksana karena belum ada calon yang kuat untuk menggantikan Idjon Djanbi sebagai Komandan Kopassus.

Setelah beberapa lama Idjon Djanbi melatih di Kopassus, sebanyak 44 siswa dari 80 orang dinyatakan lulus, Benny Moerdani salah satu di antaranya. Meski dinyatakan lulus, bukan berarti penolakan mereka terhadap Idjon Djanbi telah padam.

Pada 25 Juli 1955, KKAD berganti nama menjadi Resimen Para Komando Angkatan Darat atau RPKAD. Setahun kemudian, kekuatan RPKAD meningkat berkali lipat. RPKAD menerima 126 siswa sebagai tambahan kekuatan.

Saat itulah kader senior RPKAD mengusulkan agar komandan diganti menjadi pribumi. Para petinggi militer di Jakarta setuju dengan usulan tersebut.

Singkat cerita, pada tahun 1956, setelah hal ini dilaporkan ke pimpinan TNI, untuk meredam situasi, Mayor Mochammad Idjon Djanbi ditarik oleh Kolonel Sukanda Bratamenggala menjadi staf Inspektorat Infanteri, dan posisinya digantikan oleh Wakilnya, Mayor RE Djailani. 

Idjon Djanbi ditawari jabatan yang jauh dari pelatihan komando, Ia tersinggung dan memilih untuk pensiun. Idjon Djanbi yang tidak betah dalam posisi administrasi memutuskan "berhenti", dan lalu bekerja di bidang perkebunan dalam status anggota TNI yg dikaryakan. 

Dia tahu dirinya disingkirkan, Idjon Djanbi marah. Harga dirinya sebagai perwira terusik. Dia keluar dari TNI dan dari kesatuan yang sangat dicintainya. Padahal sudah susah payah membangun pasukan komando kebanggaan Siliwangi itu benar-benar dari nol.

"Saya pribadi yakin Pak Idjon bukan mata-mata Belanda. Dulu dia sudah memilih keluar dari tentara Belanda dan memihak TNI. Dia juga sudah jadi petani bunga di lembang ketika bertemu Pak Kawilarang," kata Pak Nadi.

Pada tahun 1969 pada saat ulang tahun RPKAD, Mayor Inf. Mochammad Idjon Djanbi diberi kenaikan pangkat menjadi Letnan Kolonel. Beliau wafat pada tanggal 1 April 1977 di usia 62 tahun dan di makamkan di TPU Pracimalaya, Kuncen, Yogyakarta.

Sumber: 

AE Kawilarang: Untuk Sang Merah Putih (1989)

Inside Indonesia's Special Forces

Wawancara Bapak Nadi (Purnawirawan Kopassus) 

Kariernya sebagai tentara dengan sederet prestasi berakhir tidak mengenakan. Akhir kariernya tak secemerlang pasukan yang kini dikenal sebagai salah satu pasukan elite terbaik dunia


No comments:

Post a Comment