Sunday, January 5, 2020

KEMBANG KUNING

KEMBANG KUNING

Kembang Kuning: Muara Seribu Cerita Surabaya

Siang yang tak terlalu terik dan wisata sejarah yang tak biasa telah berlangsung hari ini, di tengah hingar-bingar kota Surabaya yang di salah satu sudutnya kami dapat menggali kisah dalam ribuan nisan yang berjajar di komplek makam Kembang Kuning, Surabaya. Pemandu perjalanan kami adalah Mas Ipung Dhahana Adi, penulis 'Surabaya punya Cerita' yang dikenal sebagai Surabayais tulen dan kerap menjadi jujugan para peneliti dari dalam dan luar negeri.

Tidak banyak yang tahu bahwa Kembang Kuning adalah komplek pemakaman plural, mulai dari makam Kristen, Tionghoa, Islam, bahkan Yahudi. Di bagian pojok sebelah utara terdapat komplek pemakaman Yahudi, juga sebuah bilik bekas Sinagog dengan Bintang Daud (Star of David) di atapnya. Di makam tersebut terdapat nisan Charles Murssy, ayah dari Irwan Murssy, suami artis Maia Estianty. Rupa-rupanya Charles Murssy adalah konglomerat yang pernah mendanai perjuangan Republik ini dalam menghadapi agresi sekutu ketika perang mempertahankan kemerdekaan. Ia dulu merupakan pengusaha pemasok mobil import. Rumahnya di masa kini menjadi gedung Bank Mandiri di kawasan Jl.Pemuda, Surabaya. Jadi saya sendiripun baru tahu ada makam Yahudi dan ada seorang Yahudi yang ternyata pernah berjasa bagi tanah air. Nama Charles Murssy mungkin tidak pernah disebutkan dalam materi pelajaran Sejarah, mungkin karena belum banyak yang tahu atau bisa juga tidak disebut karena mungkin penulis-penulis sejarah merasa panas dingin jika mengetahui ke-yahudi-an beliau.

Masuk ke arah selatan, mas Dhahana Adi menunjukkan kegiatan pengembangan ekonomi kreatif warga setempat berupa pengeringan dan pengolahan bunga-bunga kamboja kering untuk bibit parfum dan berbagai kegunaan lainnya. 

Masuk lebih dalam lagi terdapat makam Islam dan makam Mbah Karimah, mertua Sunan Ampel. Konon, Kembang Kuning ini memiliki hubungan dengan Kembang Putih, Tuban, karena menurut berbagai literasi, Kembang Kuning (Kambang Kuning) dan Kembang Putih (Kambang Putih) pernah tercatat sebagai kota pelabuhan besar di tanah Jawa. Jika para sesepuh kampung menunjukkan bahwa terdapat jejak selasar-selasar yang pernah dilalui air atau sungai pada masa lalu, maka saya meyakini bahwa Kembang Kuning merupakan salah satu jalur toll laut yang pernah dibangun di era Majapahit, seperti yang tercantum dalam literatur-literatur peninggalan kerajaan terbesar itu; dan dapat diperkirakan pula bahwa dari sinilah proses Islamisasi di tanah Jawa bermula.

Kami juga berkunjung ke makam Ayub Abdul Djalal, seniman populer yang dikenal dengan tubuh tambunnya dan pernah membintangi beberapa film layar lebar, termasuk 'Inem Pelayan Seksi'. Selain Ayub, adapula makam maestro musik Toni Kerdijk, penggagas sekolah musik pertama di Surabaya yang juga guru dari Mus Mulyadi dan Dara Puspita. Di Kembang Kuning pula kami menjumpai makam Everdina Bruring yang dalam nisannya tertulis Everdina Soetomo, istri dari Dr.Soetomo, tokoh pergerakan nasional Indonesia.

Sebelum menuju makam Belanda, kami mengamati patung Alfred Emile Rambaldo, penerbang Belanda yang membuka jalur penerbangan pertama kali di Jawa, yang kemudian tewas karena kecelakaan balon udara. Kami juga menjumpai monumen walikota kedua Surabaya pada jaman kolonial, yakni G.J Dijkerman. Tugu monumen itu terletak di tengah komplek makam Kembang Kuning, dengan patung malaikat diatasnya. Monumen itu digunakan sebagai peringatan bahwa beliaulah yang membuka lahan pemakaman Kembang Kuning pada era kolonial Belanda.

Perjalanan kami berlanjut ke Ereveld, komplek makam kehormatan Belanda. Disana kami disambut oleh Bu Audrey, seorang wanita indo-jerman, pengelola Ereveld yang banyak menceritakan kisah dibalik keberadaan jasad yang terkubur dalam deretan nisan yang berjumlah hampir limaribuan. Diantara banyaknya nisan, saya sempat heran karena terdapat jajaran nisan dengan nama yang sama. Ketika saya tanyakan pada Bu Audrey, ternyata kesamaan nama itu adalah nama marga dari beberapa orang dalam satu keluarga yang terbunuh dalam kamp konsentrasi Jepang. Di sudut Ereveld juga terdapat tugu peringatan limabelas marinir Belanda yang tenggelam saat agresi Jepang, dan ditengah-tengahnya terdapat tugu peringatan Karel Doorman, pemimpin angkatan laut Belanda yang gugur dalam pertempuran Laut Jawa.

Selain bercerita tentang sejarah, Bu Audrey juga menunjukkan proses pembuatan nisan-nisan makam, juga berbagi ilmu lettering untuk menuliskan huruf secara manual pada nisan maupun bendera-bendera penghias karangan bunga yang digunakan para peziarah.  Berada di Ereveld juga berasa ada dalam cover album Metallica, Master of Puppets, makanya daku selpi2..

Tepat dihadapan komplek makam Ereveld, terdapat satu-satunya makam Islam di tengah makam Nasrani dengan nama Roro Hadiningsih, yang di dalam batu nisannya tertulis sebagai korban kekejaman pasukan Dai Nippon. Mas Dhahana Adi menceritakan bahwa Roro Ningsih ini meninggal saat hendak diperkosa tentara Jepang. Entah meninggal karena dibunuh atau bunuh diri, tidak ada yang tahu.

Sore ini saya, juga para pengajar IC School serta para anak didik, memiliki kebanggan tersendiri karena sekolah kami tercatat sebagai sekolah pertama yang menjajal rute B Ereveld Surabaya atas kreasi dari Mas Dhahana Adi dan teman-teman Gekraf Jatim. Kami semua mendapat banyak pelajaran dari studi wisata Kembang Kuning. Mas Dhahana Adi dan Bu Audrey telah menjelaskan banyak pada kami. Tak hanya faktor kesejarahan saja, melainkan dari Kembang Kuning kita juga bisa mengetahui betapa Surabaya sebagai kota besar dapat menerima segala perbedaan yang ada. Tanah Surabaya adalah tanah kemajemukan. Kultur masyarakatnya yang keras, ceplas-ceplos namun ramah menyimpan segala keunikan yang bisa dirasakan oleh siapa saja yang berkunjung. Walhasil, walaupun sedikit lelah karena perjalanan yang cukup panjang, namun kami puas. Tak terkecuali Pak Ubaid yang bersemangat, Pak Huda yang tetap sumringah walaupun sambil menahan sakitnya lima buah bisul yang tumbuh di ketiak kirinya, juga cerianya gadis-gadis guru muda: Yuni dan Bella. 

Di tengah mendung yang mulai membuka diri pada matahari, tampak Kak Dita guru ekonomi, berseri-seri dengan kerudung coklat kayu manisnya. Seorang guru ekonomi yang cerah ceria sedang berjalan mengiringi perjalanan anak-anak didik, rasanya di setiap langkahnya segala teori ekonomi runtuh. Aku membayangkan bila Dita memegang kuasa dan mengakhiri dominasi ekonom pria di seluruh dunia...

Karena terlalu lama memperhatikan Dita, aku baru sadar jika aku kurang ngopi. Maklum, pagi tadi aku hanya sempat menikmati setengah gelas saja. Seusai acara kudatangi sebuah warkop yang penjualnya kepo dan bertanya,

"Mas, onok acara opo kok ngajak siswa nang kembang kuning? Golek togel ta?"

Aku hanya tertawa kecil, lalu menerangkan sedikit padanya tentang kesejarahan Kembang Kuning, seperti yang diceritakan oleh Mas Dhahana Adi dan Bu Audrey. Pemilik warung itu terperangah. Seperti halnya diriku, rupanya ia juga baru tahu bahwa Kembang Kuning adalah muara seribu cerita tentang Surabaya.

(Guruh Dimas Nugraha - 26/02/20)

No comments:

Post a Comment