Tuesday, January 28, 2020

LOGAM TANAH JARANG INDONESIA

LOGAM TANAH JARANG INDONESIA


Saat ini...., China yang komunis bisa menjadi kapitalis..., dan menarik begitu banyak investor.

Semua perusahaan industri yang terdaftar dalam 500 fortune..., pasti punya pabrik di China....: 

Boeing..., punya manufaktur nya di China. 

90% produksi Iphone diproduksi di China. 

Merk Korea...: Samsung..., LG..., diproduksi di China. 

GE..., raksasa bidang industri high tech dan elektro ada di China.

Semua produk merek Jepang diproduksi di China. 

Kehadiran mereka di China sangat cepat sekali...., hanya 20 tahun mereka sudah menjadi mesin pertumbuhan ekonomi China. 

Dari kehadiran mereka..., lahirlah  jutaan supply chain yang merupakan perusahaan lokal..., dengan melibat ratusan juta angkatan kerja.  

Mengapa....? 

Jawabannya hanya satu....: China punya bahan baku Rare Earth (REE) atau Logam Tanah Jarang (LTJ). 

Apa itu REE atau  LTJ? 

REE atau LTJ, merupakan bahan mineral yang mengandung tujuh belas unsur kimia, yang terdiri dari skandium, itrium, dan 15 unsur lantanida (lantanum, serium, praseodimium, neodimium, promethium, samarium, europium, gadolinium, terbium, disprosium, holmium, erbium, thulium, ytterbium dan lutetium). 

Skandium ditemukan di sebagian besar deposit unsur tanah jarang..., dan kadang-kadang diklasifikasikan sebagai Logam Tanah Jarang.  

Apa manfaat dari REE/LTJ ini?

Hampir keseharian kita tidak bisa dipisahkan dari alat yang dihasilkan karena adanya material RRE/LTJ;  seperti memori komputer, DVD, baterai isi ulang, ponsel, catalytic converter, magnet, lampu neon, dan banyak lagi. 

Sejak mewabahnya kendaraan listrik di negara maju sebagai dampak revolusi energi hijau, kebutuhan akan RRE/LTJ semakin besar.

Karena, baterai kendaraan listrik tersebut membutuhkan bahan baku REE/LTJ. 

Kendaraan listrik dalam jangka menengah, akan mengalahkan kendaraan BBM fosil. 

Di masa yang akan datang, akan terjadi perubahan geopolitik dari minyak ke REE/LTJ. 

Dalam konteks geopolitik,  sumber REE/LTJ adalah: 

1 China, dimana penambangan terbesar di wilayah Mongol. 

2 Iran, belum diolah 

3 Indonesia,  belum diolah. 

Namun, hanya masalah waktu Iran dan Indonesia akan tampil sebagai produsen REE/LTJ  terbesar di dunia. 

Di saat itu, Iran dan Indonesia akan menghadapi masalah geopolitik dalam konstelasi global, yang menginginkan penguasaan sumber daya dari REE/LTJ tersebut.

Pemain utama yang berebut sumberdaya itu adalah AS dan China, yang keduanya rakus akan REE/LTJ. 

Sebelumnya beberapa dekade yang lalu, geostrategi dan geopolitik hanya berputar putar sekitar perebutan sumber daya minyak dan gas.

Hanya masalah waktu bandul geopolitik akan bergerak ke REE/LTJ.

Mengapa?

Kerakusan akan minyak dan gas dulu, akan sama rakusnya  terhadap REE/LTJ di masa yang akan datang.  

Perseteruan akan kembali mewarnai geopolitik, setelah permintaan  akan REE/LTJ semakin meningkat sebagai energi alternatif.

Artinya, siapa yang menguasai sumber daya RRE/LTJ, maka dialah penguasa dunia.

Iran meluncurkan ingot tanah jarang pertamanya, dengan kemurnian 99%, yang disebut Mischmetal

Ingot, hasil penelitian selama enam bulan oleh Pusat Penelitian Pengolahan Mineral Iran, terdiri dari empat unsur tanah jarang; termasuk serium, lantanum, neodimium, dan itrium, yang semuanya diekstraksi dari tambang di Iran Tengah. 

Apa itu Mischmetal....? 

Itu sangat dibutuhkan sebagai bahan baku pembuatan tabung hampa udara, baterai yang mengandalkan teknologi hibrida logam. 

Dalam industri logam, ini sebagai sumber pemicu terjadinya percikan api untuk memulai pembakaran dan nyala api, serta untuk meningkatkan kemampuan cetakan dan sifat-sifat mekanis pada campuran metal. 

Iran sejak tiga tahun lalu serius mempelajari metode ekstraksi dan eksploitasi vanadium, galium, nikel, kadmium, dan tungsten; serta akan segera memulai produksi ingot dan paduan tanah jarang ini. 

Hebatnya walau Iran diembargo ekonominya, namun kerjasama penambangan dan pengolahan bukan hanya datang dari China (Sinosteel)  yang jelas partner Iran, tetapi juga dari berbagai negara seperti Jerman, Denmark, Italia, Australia, dan Jepang. 

Namun yang terbesar tetaplah China, dan AS tidak dapat kesempatan sama sekali memanfaatkan sumber daya alam REE/LTJ.  

Di China, sekitar 30 tahun lalu, Pemerintah China telah memutuskan untuk menjadikan REE/LTJ bahan baku strategis, dan melarang pihak asing menambangnya.

Penambangan REE/LTJ pertama kali di wilayah Mongolia, dan kemudian meluas sampai ke Xinjiang yang sangat besar depositnya. 

Walau begitu...  China hanya memiliki sekitar 30% cadangan global dari tanah jarang. 

Namun, China memproduksi ekstrak tanah jarang mencapai 70% produksi dunia.

Sebagian bahan tambang REE/LTJ  didapat dari tambang yang mereka miliki di Amerika Utara, Australia, Asia Tenggara, Asia Tengah, dan Afrika Sub-Sahara, yang dikapalkan ke China untuk diolah. 

China menguasai 90% pasar ekstrak REE/LTJ  dunia. 

Tahun ini,  China tengah meningkatkan kuota penambangan tahunan untuk REE/LTJ  menjadi 132.000 ton,  atau 10 persen di atas rekor tertinggi pada tahun lalu.

Indonesia,  memiliki potensi mineral REE/LTJ mencapai 1,5 miliar ton. 

Namun, mineral REE/LTJ tersebut belum dimanfaatkan optimal sebagai barang strategis untuk mendukung kegiatan industri dalam negeri, maupun menjadi komoditas ekspor. 

Survey yang dilakukan Badan Geologi, ada 29 lokasi yang berpotensi mengandung REE/LTJ. 

Lokasi tersebut berada di wilayah Riau, Kepulauan Bangka Belitung, Sumatera Utara, Pulau Bintan Riau, Kepulauan Anambas Riau, Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Barat.  

Inalum mulai tahun 2019 menggandeng BATAN, untuk melakukan studi pengolah REE/LTJ tersebut. 

Dan rencananya,  tahun depan Inalum akan membangun industri REE/LTJ,  yang rencananya akan bermitra dengan China.

Masalah Geopolitik 

Dunia, tidak bisa mengandalkan China untuk menjamin pasokan akan REE/LTJ. 

Sebab kalau dibiarkan, maka China akan jadi diktator Industri dan mengontrol dunia.

Mengapa....? 

Karena kebutuhan industri hilir akan REE/LTJ di China sangat besar. 

China telah mendominasi produksi REE/LTJ sejak 1990-an, sebagian besar didorong oleh dua faktor: harga rendah dan investasi yang didukung negara dalam infrastruktur dan teknologi. 

Pada tahun 2000-an, Cina hampir sepenuhnya menguasai produksi REE/LTJ. 

Dominasi ini tidak dicapai hanya dengan harga, tapi China juga menggunakan kebijakan industri yang dimulai pada 1980-an untuk mengembangkan keahlian dalam ekstraksi, pemisahan, dan penyempurnaan dari REE/LTJ. 

Kebijakan industri China sebenarnya mencerminkan pendekatan AS pada 1950-an dan 1960-an, ketika Laboratorium Ames dan Pusat Informasi Rare Earth (RIC) menggunakan investasi negara untuk mendukung upaya sektor swasta.

Sementara dukungan negara menurun dengan cepat di Amerika Serikat (RIC hilang pada tahun 2002), lembaga-lembaga China masih terus menguat. 

Setelah China mendominasi produksi, mereka menggunakan harga diferensial untuk memberi keuntungan bagi produsen hilir domestik dibandingkan ekspor.

Harga domestik yang lebih murah, serta ketersediaan SDM keahlian, menjadi magnit menarik investor asing ke China untuk membangun industri hilir. 

Semua industri elektronik raksasa  Jepang, Korea, AS, dan Eropa mendirikan pabrik di China.

China sebagian besar mengendalikan harga..., menjaga harga tetap rendah, dan membuatnya sulit untuk disaingi. 

Sudah banyak perusahaan tambang REE/ LTJ yang bangkrut akibat ulah China. 

Seperti contoh,   Perusahaan AS. Molycorp menguasai tambang California Mountain Pass; tetapi Molycorp harus mengajukan kebangkrutan ketika harga jatuh.

Perusahaan yang berbasis di Kanada, yang sekarang memiliki aset sebagian besar telah memindahkan R&D dan proses pemisahan serta penyempurnaan dari Mountain Pass ke China. 

Begitu cara China menyedot penambang membangun pengolahan REE/LTJ di China.

Jepang dan Austalia berusaha untuk membuka tambang baru, sebagai antisipasi kalau China mengembargo REE/LTJ.  

Tapi, membuka tambang baru juga memakan waktu dan penuh risiko. 

Dari tiga belas konsesi tambang di Afrika misalnya, hanya dua yang berproduksi..., tiga telah gagal, dan delapan lainnya masih dalam tahap sangat awal. 

Jepang menemukan sumber daya mineral REE/LTJ di dasar laut, tetapi penambangannya akan sangat mahal dan beresiko. 

Selain China, kekuatan tersembunyi sumber daya REE/LTJ itu adalah Indonesia dan Iran. 

Kedua negara ini sudah mulai membuka pintu untuk penambangan REE/LTJ. 

Namun..., baik Iran maupun Indonesia telah mengeluarkan UU yang mengharuskan pengolahan semua sumber daya mineral dilakukan di dalam negeri sebelum di ekspor. 

Umumnya, unsur REE/LTJ dijumpai di mineral ikutan, seperti bastnaesit, monasit, xenotim, apatit, dan zirkon.

Pada konsentrat nikel, timah, emas, dan almunium; unsur REE/LTJ banyak terdapat.

Dengan melarang ekspor konsentrat, itu artinya sumber bahan baku ikutan berupa REE/LTJ tidak bisa lagi didapat oleh smelter yang ada di luar negeri. 

Dengan demikian, semua industri pengolahan mineral di luar negeri yang membutuhkan bahan baku untuk indusri hilirnya, harus membangun smetel di Indonesia. 

Yang paling agresif melakukan kerjasama pembangunan smelter tambang mineral di Indonesia,  adalah China. 

Di sinilah terjadi pertarungan lobi politik tingkat tinggi antara dua kekuatan., yaitu AS dan China (bersama sekutunya Eropa dan Australia) untuk mendapatkan pengaruh di Indonesia. 

AS dan Eropa termasuk Jepang, jelas tidak ingin membangun smelter di Indonesia..., karena mereka ingin menghidupkan industri dalam negerinya. 

Sementara Jokowi tetap bersikeras: "Stop eksport konsentrat, smelter please" 

Protes Eropa (tentu di belakangnya AS) terhadap larangan ekspor bahan mentah mineral oleh Indonesia, adalah bukti bahwa AS sedang menekan Indonesia. 

Mengapa....? 

AS dan sekutunya, tentu tidak mau tergantung dengan China akan kebutuhan REE/ LTJ. 

Kalau AS tidak  menguasai sumber daya REE/LTJ, tentu sangat beresiko bagi masa depan industrinya.

Karenanya, setelah Jokowi dilantik sebagai presiden tensi politik memanas,  khususnya sentimen anti China meluas.

China tidak mau tinggal diam, China menawarkan dukungan financial kepada pemerintah Jokowi untuk pembangunan infrastruktur di luar Jawa, dan berjanji akan mengembangkan indusri hilir tambang mineral untuk mengurangi defisit neraca perdagangan Indonesia. 

Sedangkan AS tidak menjanjikan apa apa, kecuali mengancam Jokowi melalui kekuatan proxy nya di dalam negeri. 

Mengapa AS menolak kebijakan larangan ekspor bahan mentah tambang....? 

AS sudah punya pusat industri pengolah REE/LTJ di Malaysia dan Eropa. 

AS berharap, bahan baku tambang REE/LTJ dikirim ke Malaysia dan Eropa., untuk kemudian kemudian dieskpor ke AS. 

Ini memang batu sandungan bagi bangkitnya industri hilir tambang di Indonesia, khususnya REE/LTJ.

Iran agak beruntung, karena proxy AS di Iran sejak pembunuhan Qasem Soleimani menjadi alasan bagi intel Qud untuk menangkapi mereka. 

Sehingga, program Iran menjadi kekuatan baru di masa depan berkat sumberdaya REE/LTJ tidak mengalami kendala serius dari dalam negeri. 

Namun hambatan serius datang dari luar, tahun ini AS mulai head to head dengan Iran. 

Ketegangan baru terjadi di Iran, dengan terbunuhnya Qasem Soleimani.  

AS sudah mengirim Armada kapal Induk dan 1500 marinir... perang terbuka mungkin saja terjadi...

Jadi sebenarnya, AS dan Barat harus menyadari politik hegemoni, karena melalui kekerasan dan embargo sudah bukan jamannya. 

Kini saatnya kolaborasi dan synergi sebagaimana yang dilakukan China; Barat dan AS harus mau merelokasi industrinya ke Indonesia dan Iran, agar terjadi keseimbangan dengan China. 

Pada waktu bersamaan, China harus mengubah sifat ingin mengontrol industri hilir dengan mematikan pesaing di hulu. 

Kalau itu terjadi, maka kejayaan bangsa Mongol, Persia, Majapahit, akan mengulang sejarah dunia di era modern, tetapi dengan cara cara yang egaliter dan penuh cinta. 

Sudah saatnya kita semua sebagai bagian dari penduduk dunia mengutamakan cinta dalam membangun, dan bersaing secara sehat.

Bagi Indonesia, semoga faktor geopolitik ini disadari oleh semua anak bangsa, agar tetap bersatu. 

Jangan sampai kita diadu domba, yang pada akhirnya pihak asing yang untung.

Yang penting..., pengalaman era kejayaan MIGAS di era Soeharto di bawah aneksasi AS (Barat dan sekutunya),  yang memaksa kita hanya menjual minyak mentah tanpa kemandirian di bidang kilang BBM, jangan terulang lagi. 

Ke depan kita harus belajar dari kesalahan masa lalu, dan focus kepada nilai tambah dan kedaulatan terhadap SDA untuk kepentingan rakyat banyak. 

Karenanya,  industri pengolahan REE/LTJ adalah mutlak dilakukan di dalam negeri,  termasuk juga industri hilirnya.

Jadi: siapapun jadi presiden setelah Jokowi, platform ini harus jadi pijakan.

Rahayu

(Disarikan dari: Babo, FB)


No comments:

Post a Comment