Tuesday, August 4, 2020

MOZAIK PASCA PROKLAMASI

Cerita lengkap Sepekan Menjelang Proklamasi, yang telah dibukukan, sudah pernah dua kali cetak dan terakhir dalam bentuk e- book. Untuk kembali menyambut bulan Proklamasi, saya akan mengutip  beberapa kepingan peristiwa paska proklamasi. Peristiwa yang mungkin sebagian sudah diketahui umum, tapi mungkin juga ada yang belum. Selamat menikmati. Merdeka!.  

MOZAIK PASKA PROKLAMASI

Oleh : Buntje Harbunangin

MENYEBARKAN BERITA PROKLAMASI

Naskah proklamasi selesai dibacakan Bung Karno. Bendera Merah Putih dikerek perlahan di sebuah tiang yang tidak begitu tinggi. Bendera naik melambai-lambai. Bung Karno memberi hormat. Semua orang serentak menyanyikan lagu Indonesia Raya.  Sebagian besar  tak sanggup menahan air matanya. Terharu. 

Tugas berikutnya, menyampaikan berita gembira ini kepada  70 juta rakyat, di seluruh pelosok Indonesia. Langkah pertama, mengabarkan kepada rakyat Jakarta. Bung Karno memanggil Riwu Ga, pelayan setianya sejak bocah dari Ende. “Angalie (saudaraku), pergilah keliling kota. Sampaikan pada rakyat bahwa kita sudah merdeka”. Tanpa bertanya lagi, Riwu Ga segera menyambar bendera Merah Putih dan sepucuk alat pelantang suara, megafone. Ia melompat naik jeep terbuka yang dikemudikan Sarwoko, berkeliling kota Jakarta. Sambil mengibar-ngibarkan bendera dan memegang megafone, Riwu Ga berteriak-teriak sepanjang jalan, “Kita sudah merdeka! Kita sudah merdeka!”. Rakyat pun menyambut, bersorak sorai dari pinggir jalan. Meneriakkan kata yang sama, Merdeka, Merdeka, Merdeka !!.. Sebenarnya ini tindakan berbahaya.  Setiap saat, Kempetai  dapat menembak Riwu Ga dan Sarwoko, tapi mereka berdua sudah tidak perduli. 

Sementara itu Jusuf Ronodipuro, melalui Radio Hoso Kanriyoko yang  sekarang menjadi RRI, menyiarkan ke seluruh Indonesia. Begitu juga  Syahrudin, F. Wuz, Adam Malik lewat kantor berita Domei yang kini menjadi kantor berita Antara, Pasar Baru.   

Pukul 11.00 siang, berita proklamasi telah sampai ke Bandung, Jawa Barat, melalui sambungan telepon. Saat itu Daidanco Kasman Singodimedjo menerima kabar tersebut. Dengan lekas ia menyebarkannya kepada Daidanco (komandon batalion) lain dari PETA

Di Semarang, Jawa Tengah, berita proklamasi disiarkan oleh Masjid Besar Semarang menjelang sembahyang Jumat. “Umat yang hadir semuanya sangat terkejut karena yang pertama terdengar dari pemancar masjid bukan suara azan, melainkan berita  Proklamasi Kemerdekaan,” tulis majalah Intisari edisi September 1965. 

Di Surabaya, Jawa Timur, RM Bintarti dan Sutomo (Bung Tomo), selaku Wakil Pemimpin Redaksi Kantor Berita Domei Surabaya, menyiarkan berita proklamasi menggunakan bahasa Jawa. Langkah itu dilakukan demi menghindari sensor balatentara Jepang. 

Malam harinya, Radio Hosokyoku menyiarkan berita kemerdekaan menggunakan bahasa Madura. Pemilihan bahasa lokal itu kemudian diadopsi oleh media cetak ketika menyebarkan berita proklamasi kemerdekaan. Tujuannya sama, lolos dari pengawasan Jepang.

Sementara rakyat juga bergotong royong menyebarkan berita besar tersebut. Mereka mencetak pamflet dan membagikan ke semua orang. Menulis coretan di tembok- tembok. Membicarakannya dalam berbagai pertemuan kelompok. Indonesia sudah merdeka. 

PEMBUKAAN U.U.D 45 DIGUGAT

Seusai  proklamasi dibacakan, 17 Agustus 1945, Hatta masih sempat duduk-duduk  dulu, berbincang-bincang dengan orang-orang, sekitar 30 menit, sebelum langsung pulang ke rumah. 

Sore hari, telepon berdering. Nishijama pembantu Admiral Maeda. Apakah Hatta bersedia menerima seorang opsir Kaigun (Angkatan Laut)?.  Ada berita yang amat penting. Nishijama akan menjadi penerjemahnya. Hatta bersedia. 

Opsir tersebut membawa kabar dari wakil Protestan dan Katolik. Mereka saat itu sedang berkumpul di markas Kaigun. Kata sang opsir, mereka sangat keberatan terhadap bagian kalimat pembukaan UUD yang berbunyi: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Mereka paham bahwa kalimat itu tidak mengikat mereka. Kalimat itu hanya berlaku bagi yang beragama Islam. Tapi, ketetapan yang tercantum itu tetap dimaknakan sebagai “diskriminasi” terhadap mereka sebagai minoritas. Jika “diskriminasi” itu tetap dipertahankan, mereka terpaksa memilih di luar Republik Indonesia. 

Bagi mereka, Pembukaan Undang- Undang Dasar adalah pokok daripada pokok. Sebab itu haruslah  berlaku bagi seluruh bangsa Indonesia, tanpa kecuali. 

Hatta lama termenung. Terbayang perjuangan selama lebih dari 25 tahun. Segala kenangan penjara dan bayangan masa-masa pembuangan, berkelebat dan melintas bergantian. Semua itu untuk satu tujuan: Indonesia Merdeka. Indonesia yang bersatu dan tidak terbagi-bagi. Apakah Indonesia yang baru saja merdeka akan pecah lagi? Hanya karena perbedaan yang sebenarnya dapat diatasi bersama. Kalau Indonesia pecah, pasti daerah di luar Jawa dan Sumatera akan kembali dijajah Belanda. Tentara Belanda, akan menggunakan politik pecah belah, devide et impera. Opsir Jepang yang bersimpati pada kemerdekaan Indonesia itu, kemudian berbisik, mengingatkan Hatta kembali tentang semboyan, “Bersatu kita teguh dan berpecah kita jatuh”.

Hatta meminta waktu sehari. Ia berjanji akan membicarakannya dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sementara itu, Hatta juga meminta agar sang opsir  menyampaikan pesan Hatta kepada kaum Protestan dan Katolik, untuk bersabar, mendinginkan hati, dan jangan terpengaruh propaganda Belanda. 

TOLERANSI PEMIMPIN-PEMIMPIN ISLAM

Esok paginya, tanggal 18 Agustus 1945, sebelum sidang Panitia Persiapan dimulai, Hatta mengajak Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, Kasman Singodimejo, dan Teuku Hasan dari Sumatera untuk mengadakan rapat pendahuluan. Membicarakan masalah gugatan saudara-saudara Protestan dan Katolik. Rapat berjalan singkat, tidak lebih dari 15 menit. Kesimpulannya, untuk mencegah perpecahan sebagai bangsa, Hatta dan kawan-kawan bermufakat untuk menghilangkan kalimat yang menusuk hati kaum Kristiani itu. Dan menggantinya dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Mereka sepakat untuk benar-benar mementingkan nasib dan persatuan bangsa. 

Perubahan yang disusun kelima tokoh tersebut kemudian dibawa ke sidang lengkap PPKI, dan langsung diterima dengan suara bulat.Tugas PPKI untuk mengesahkan Undang-Undang Dasar 1945 itupun selesai tuntas. 

MELIBATKAN BERBAGAI UNSUR BANGSA   

Rapat PPKI tersebut  bertempat di gedung Road van Indie (Pejambon)  dan dihadiri berbagai unsur bangsa. Beberapa orang yang menjadi anggota dari PPKI tersebut diantaranya yaitu  Mr. Soepomo, Dr. Radjiman Wedyodiningrat, R. P. Soeroso, Soetardjo Kartohadikoesoemo, Kiai Abdoel Wachid Hasjim, Ki Bagus Hadikusumo, Otto Iskandardinata, Abdoel Kadir,  Pangeran Soerjohamidjojo, Pangeran Poerbojo, Dr. Mohammad Amir, Mr. Abdul Maghfar, Mr. Teuku Mohammad Hasan, Dr. GSSJ Ratulangi, Andi Pangerang, A.H. Hamidan, I Goesti Ketoet Poedja, Mr. Johannes Latuharhary, dan Drs. Yap Tjwan Bing.

Tetapi tanpa sepengetahuan pemerintah Jepang, anggota PPKI ini ditambah lagi 6 orang yang terdiri dari Achmad Soebardjo, Sajoeti Melik, Ki Hadjar Dewantara, R.A. A. Wiranatakoesoema, Kasman Singodimedjo dan Iwa Koesoemasoemantri.

SENJATA ULAR BERBISA

Pada tanggal 10 Oktober 1945, pasukan Inggris memasuki Jakarta. Sebagian tentara Belanda ikut menyusup. Di beberapa kantor yang belum dikuasai Republik, mereka mengibarkan  bendera Belanda. Menunjukkan bahwa kekuasaan Belanda di “Nederlands Indie”, sudah kembali. Setiap siang, tentara Belanda dengan memakai jeep dan truk berkeliling kota, patroli. Ada kalanya mereka melepaskan tembakan kepada mobil-mobil pembesar Indonesia, yang memasang bendera Merah Putih di depan kap mesinnya. Kadang-kadang tentara Belanda itu meronda sampai keluar Jakarta, misalnya Klender. Di sana mereka akan diserang rakyat. Terjadilah perkelahian. Belanda menembak dengan senapan dan dilawan rakyat dengan batu dan botol kosong. Muwardi, kepala barisan propaganda menganjurkan supaya rakyat mengumpulkan ular-ular berbisa. Ular itu kelak untuk dilemparkan ke dalam truk-truk Belanda. Anjuran itu tidak sepenuhnya diikuti rakyat. Menangkap ular berbisa, apalagi mengumpulkannya, tentu bukanlah  pekerjaan mudah. 

PERANG BENDERA

Setelah proklamasi, ada sebagian tentara Jepang, Kempetai, yang tidak menerima begitu saja. Di kantor-kantor yang masih diduduki Jepang,  bendera Jepang tetap berkibar. Setiap pagi, para pejuang kita menurunkan bendera Jepang dan menaikkan bendera Merah Putih. 

Siangnya datang tentara Kenpetai, menaikkan kembali bendera Jepang. Satu jam kemudian, pejuang kita menurunkannya lagi dan menaikkan kembali Merah Putih. Begitu seterusnya. Akhirnya, sekumpulan mahasiswa “Ikadaigako”, kedokteran, menemukan siasat cerdik. Setelah bendera Jepang diturunkan dan bendera Indonesia dipasang, mereka memasang aliran listrik pada tiang bendera tersebut. Bendera Jepang tidak pernah naik lagi. Perang bendera selama beberapa minggu itupun berakhir.

PERAYAAN PELANTIKAN PRESIDEN RI PERTAMA

“Nah, kita sudah bernegara sejak kemarin. Dan sebuah negara memerlukan seorang Presiden. Bagaimana kalau kita memilih Soekarno?” Ini adalah ucapan Otto Iskandardinata. Bung Karno pun menjawab singkat , “Baiklah.” Tepuk tangan pun sontak bergemuruh di ruang sidang PPKI tersebut. 

Sesederhana itu. Maka jadilah Bung Karno sebagai Presiden pertama Republik Indonesia. Waktu itu tidak ada mobil kepresidenan yang mengantar, Bung Karno  pulang berjalan kaki.

“Di jalanan aku bertemu dengan tukang sate yang berdagang di kaki lima”, kata Bung Karno kepada Cindy Adams, penulis otobiografi Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat.   

Bung Karno memanggil pedagang yang bertelanjang kaki itu. Iapun mengeluarkan perintah pelaksanaan yang pertama, sebagai Presiden kepada rakyatnya. 

“Sate ayam 50 tusuk” ujar  Bung Karno yang lapar. Waktu berbuka puasa sudah tiba. 

Sate selesai dibakar,  Bung Karno jongkok di pinggir selokan dekat tempat sampah. Sate ayam 50 tusuk tadi pun dihabiskannya dengan lahap. 

Itulah pesta perayaan pelantikan Presiden RI pertama.

SUMBER :

Mohammad Hatta- Memoir

Penulis: Mohammad Hatta

Penerbit : Tintamas Indonesia, 1979

Riwu Ga, 14 Tahun Mengawal Bung Karno

Penulis : Peter A Rohi

Penerbit : PT Koran Indonesia Utama, 2004

Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat

Penulis : Cindy Adams

Penerbit : Yayasan Bung Karno, 2007

No comments:

Post a Comment