Saturday, December 8, 2018

KOMENTAR PARA DOKTER SENIOR

KOMENTAR PARA DOKTER SENIOR
PATUT DIRENUNGKAN KOMENTAR PARA DOKTER USIA SEPUH DARI UI INI !!!   
Mereka adalah api yang tidak terpadamkan di usia senja. Ketika sebagian besar rekan seusianya terbaring tak berdaya di tempat tidur, semangat para senior ini justru menyala-nyala. Menjadi segelintir dari sangat sedikit lansia yang bugar di usia senja, tenaga dan pikiran para kakek dan nenek ini masih disumbangkan agar tak menjadi beban bagi pembangunan. Sejak dini, kesehatan di usia senja ternyata harus benar-benar dikejar.
Tepat 50 tahun menjalani profesi sebagai dokter, para dokter sepuh alumni Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) angkatan tahun 1968 ini memendam keprihatinan tersendiri. Ketika alumni kedokteran berkumpul, mereka terkejut karena, dari sekitar 120 dokter angkatan 1968, hanya tersisa separuhnya  ”Tinggal 60 yang masih di atas tanah. Itu pun tidak semuanya 100 persen sehat
Ada yang tidak bisa jalan, setengah lumpuh, atau pikun,” kata internis-nefrologis Prof. Dr. Jose Roesma PhD (75).
Jose yang menjadi Ketua Panitia Reuni Alumni 50 Tahun Angkatan 1968 FKUI bersama dengan rekan-rekannya, seperti : Ketua Alumni Angkatan 1968 FKUI Dr Hermansyur Kartowisastro SpBKBD (77), Dr Asril Bahar (75), dan Dr Doddy Pramodo Partomihardjo (74), lantas rutin bertemu hampir setiap pekan hingga puncak acara reuni yang menurut rencana akan digelar pada Desember mendatang. Dalam setiap pertemuan, mereka serius memperbincangkan sumbangsih apa yang harus mereka lakukan bagi terciptanya lansia yang berkualitas.
Seperti pada Rabu (11/7/2018), mereka sibuk membahas buku yang akan diterbitkan bagi kaum dokter dan buku panduan bagi generasi muda demi menggapai usia tua yang berkualitas. ”Dari kami berempat ini yang sehat hanya dokter Hermansyur. Akhir Juni lalu, saya pasang cincin di jantung. Dulu, usia 30-an enggak pernah berpikir tentang kesehatan di masa tua, hanya menjalani hidup dan TERUS MAKAN ENAK. Terlambat sudah karena enggak ada senior yang kasih tahu,” kata Asril yang merupakan dokter ahli penyakit dalam, konsultan pulmonologi, dan geriatri.
Hermansyur, yang anggota tim dokter kepresidenan dari tahun 1987 dan disebut-sebut paling sehat pun, ternyata mengaku tak pernah sadar akan pentingnya menjaga pola hidup sehat sejak dini demi kehidupan masa tua yang berkualitas.
Hidup saya cukup sehat secara tidak sadar. Baru sekarang tahu dan menyadari. Keluarga berperan penting mendorong gaya hidup sehat. Nantinya, saya ingin mati di lingkungan keluarga dan tak menderita sakit. Rumah jompo momok bagi saya,” ujar Hermansyur.
Persiapan dini
Keprihatinan semakin mendalam karena mereka yang berprofesi sebagai dokter seharusnya lebih paham terhadap upaya pencegahan dan pengobatan penyakit. Namun, kenyataannya berbeda. Kondisi kesehatan mereka di usia tua sama saja dengan masyarakat awam yang tidak dibekali pengetahuan mendalam tentang kesehatan. Hal ini terutama karena pola hidup yang tidak sesuai dengan teori gaya hidup sehat. Mereka pun tidak mempersiapkan diri sejak dini untuk menghadapi masa tua.
Dengan ilmu dan pengalaman 50 tahun menjadi dokter, Jose dan rekan-rekannya lantas berusaha berbuat sesuatu agar generasi milenial tidak mengikuti pola hidup seniornya. Agar tak menjadi tua yang renta, generasi milenial harus sudah mulai sadar untuk mengelola kesehatan dengan perubahan pola hidup yang lebih sehat. Tak sekadar membuat buku, para dokter sepuh ini berupaya menyumbangkan ide dan mendorong pemerintah untuk melindungi generasi baru dengan gerakan yang berorientasi pada lansia. ”Pola hidup salah sehingga berakibat penyakit. Ini menjadi concern (kepedulian) kami,” kata Jose.
Menurut Asril, proses menjadi tua terjadi karena menghilangnya secara pelan-pelan kemampuan jaringan tubuh manusia untuk memperbaiki dirinya dan mempertahankan fungsi dan struktur normalnya. Apabila sudah terkena penyakit, lanjut Asril, pasien geriatri biasanya akan mengonsumsi banyak obat, lambat respons terapinya, dan sering gagal pulih kembali dari sakitnya. Penurunan fungsi semua organ tubuh semakin memperberat kondisi sakit para lansia, sehingga sebisa mungkin harus dicegah.
Agar tetap berdaya nantinya di usia senja, generasi muda diajak, antara lain, untuk mengurangi berat badan, makan gizi seimbang, menggerakkan tubuh secara teratur, dan mengawasi kesehatan dengan cek kesehatan berkala. Selain pola hidup sehat sejak dini, setiap lansia juga harus tetap beraktivitas kerja sehari-hari. ”Kalau saya satu minggu enggak keluar rumah dan beraktivitas, bisa sangat terganggu pikiran saya. Paling-paling cukup pergi ke rumah cucu setir mobil sendiri,” kata Toni Hartono (79) yang pernah menjabat Ketua 2 Komisi Nasional Lansia.
Ditemui secara terpisah di acara kumpul Komunitas Sahabat Lansia Tangguh pada Kamis (9/8), Toni mengatakan bahwa para lansia yang tinggal bersama keluarga dan terpisah dari komunitas sesama lansia biasanya akan mengalami keterasingan. Keterasingan di tengah keluarga bisa saja terjadi karena adanya jurang antar-generasi yang memisahkannya dengan anak dan cucu.
”Anak cucu main gadget. Ngobrol enggak saling ngerti. Di meja makan enggak berkomunikasi. Pressure (tekanan) lebih tinggi yang tinggal sendiri. Masalah psikologis juga jadi hambatan yang luar biasa,” tuturnya menambahkan.
Psikolog Prof (Em) Dr Saparinah Sadli (90) menyebut bahwa kesehatan para lansia meliputi tak hanya kesehatan fisik, tetapi juga emosional dan sosial. ”Lansia tangguh adalah mereka yang sehat seluruhnya. Orang tua pasti punya penyakit meski sakit harus mandiri. Tetapi tetap menyesuaikan diri dengan kondisi fisiknya,” kata Saparinah.
Negara terhormat
Prof Dr dr Siti Setiati SpPD - KGER MEpid FINASI dari Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) yang juga Ketua Perhimpunan Gerontologi Medik Indonesia menyebutkan, dari 25-30 juta warga lansia (berusia minimal 60 tahun), hanya 13,2 persen lansia yang sehat, 25 persen lansia renta, dan 61,6 persen kondisinya prarenta.
”Yang namanya sehat di masa tua sangat bergantung pada MASA MUDANYA. Kesehatan pada lansia ibarat life cycle (siklus hidup) dimulai sejak kanak-kanak,” kata Setiati.
Kondisi ini mengkhawatirkan karena jumlah penduduk lansia di Indonesia terus meningkat seiring naiknya usia harapan hidup sebagai dampak dari kemajuan bidang pembangunan dan teknologi kesehatan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, usia harapan hidup pada 1971 adalah 55,1 tahun dan pada 2015 menjadi 70,8 tahun. Pada 2015, jumlah manula di Indonesia sekitar 21 juta orang (8,2 persen dari total jumlah penduduk) dan pada 2030 diperkirakan jumlahnya akan meningkat menjadi sekitar 38 juta (13,2 persen). Indonesia sudah akan masuk dalam negara aging society, yang satu di antara lima penduduknya adalah orang tua.
Tingginya jumlah lansia ini bisa menjadi beban pembangunan jika mereka yang kondisinya prarenta berubah menjadi renta. Kerentaan membuat beban biaya pengobatan menjadi semakin mahal. Apalagi, saat ini pengobatan bagi kaum lansia belum sepenuhnya ditanggung BPJS. Padahal, mereka yang prarenta cenderung mulai dihinggapi beragam penyakit, mulai dari hipertensi, kolesterol, hingga pengapuran sendi yang memerlukan penanganan komprehensif dan biaya mahal.
Seperti di negara lain, kesejahteraan bagi kaum lansia sesungguhnya menjadi tanggung jawab pemerintah. Pemerintah harus benar-benar memiliki keberpihakan terhadap nasib lansia. Ia mencontohkan bagaimana Pemerintah Jepang dan Singapura memberdayakan warga senior agar bisa tetap bekerja di usia tua. Mereka juga memiliki kota yang ramah untuk lansia.
Doddy menambahkan, perlu adanya kemauan politik dari pemerintah untuk berpihak kepada lansia. Pendapat umum pun harus benar-benar dibangun untuk pemberdayaan lansia. ”Ini masalah strategis bagi masyarakat Indonesia. Jumlah lansia makin banyak jadi beban atau jadi suatu performa bangsa? Bagaimana idealnya orang tua ini aktif dan produktif,” tutur Doddy.
Indikator negara terhormat, lanjut Setiati, adalah negara yang menghargai warga senior dan membuat sistem yang berpihak kepada lansia, antara lain mempermudah mereka mengakses pengobatan. ”Enggak seperti sekarang ini. Tantangan yang harus segera dicari solusinya,” kata Setiati.

Usia panjang tidaklah akan ada artinya apabila kemudian menjadi tidak berguna dan tidak bahagia.

No comments:

Post a Comment