Saturday, September 11, 2021

CHINA VS US

"If you think of China as a country that copies rather than innovate - think again!!" (Amy Webb)

Ambillah Tiongkok memang benar mencuri teknologi maka bagi AS untuk mengatasi hal ini sangat mudah. Tinggal buktikan saja didepan pengadilan dan tuntut Tiongkok untuk membayar lunas semua paten yang dilanggar, gampang sekali 'kan? Apalagi AS 'kan gudangnya ahli hukum (lawyer) kelas dunia, kurang apalagi? Jika AS menempuh jalan ini ada banyak keuntungan diperoleh, Tiongkok akan jatuh namanya karena terbukti mencuri dan AS akan menerima banyak uang sebagai ganti rugi paten yang dilanggar. Disinilah kita harus kritis, mengapa AS tidak menempuh jalan hukum yang begitu mudah ini? Namun memilih untuk sekedar berpolitik? Penjelasan rasional yang paling mudah adalah AS tidak memiliki bukti bahwa terjadi pencurian teknologi oleh Tiongkok. Lalu apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana fenomena ini dapat dijelaskan?

Untuk mendapatkan jawaban ini kita perlu terlebih dahulu memahami perkembang-an teknologi Tiongkok yaitu bahwa ada beberapa bidang teknologi dimana Tiongkok mandiri dari Barat. Sebagai contoh, Kereta Cepat (High-Speed Train), Teknologi Konstruksi, 5G, Space Technology, Railgun Technology, AI, Electric Car, Renewable Energy, Hydrogen Bomb and Thermonuclear yang diluncurkan tahun 1964 - 1967, pada saat Tiongkok masih di-embargo Barat. Disini perlu kita perhatikan hal-hal sbb yaitu:

Pertama, Apa perlunya Tiongkok susah-susah mencuri? Jika Tiongkoklah yang memimpin (world leader) dibidang teknologi tsb? Misalnya untuk Teknologi 5G, Railgun, High-Speed Train, Renewable Technology, AI dan Mobil Listrik.

Untuk 5G, Tiongkok sepenuhnya mandiri, Barat sendiri belum mampu membuat IC 5G dan komponen untuk antena 5G. Oleh karena Huawei memdominasi patent 5G dan semua proyek pembangunan jaringan 5G. (Elizabeth Woyke, "China is Racing Ahead in 5G. Here's What That Means," MIT Technological Review, December 18, 2018;  /s/612617/china-is-racing-ahead-in-5g-heres-what-it-means/).

Demikian juga dengan Railgun yang teknologinya jauh lebih modern daripada Railgun AS. Menurut analis militer, Railgun Tiongkok dapat merontokkan kapal induk AS dalam jarak 150 km dari pantai. Tiongkok begitu maju dalam Railgun Technology ini karena teknologi elektromagnetik-nya jauh lebih canggih daripada Barat (Jamie Seidel, "China's World First: Electromagnetic Railgun Goes to Sea," ,  news-story/ 6e31d167e88308f59ec9633 ef1e867b; Josh K. Elliott, "Why China's Miracle Railgun Weapon Should Scare the US Navy," Global News, January 3, 2019; news/ 4810853/china-railgun-warship-weapon/)

Tiongkok adalah yang terdepan di dunia ini dalam Teknologi Kereta Cepat. Sampai hari ini, AS tidak memiliki sebuah kereta cepatpun, sedangkan Tiongkok memiliki jaringan kereta cepat yang melayani seluruh kota besar yang ada (Agence France Presse, "China First in the World for High-Speed Train," The Jakarta Post, July 4, 2019;  life/2019/07/03/china-first-in-the-world-for-high-speed-trains.html).

Demikian juga untuk AI (Artificial Intelligent), mega investasi yang bernilai multi-milyar dollar US menyebabkan Tiongkok yang terdepan dibidang ini (Amy Webb, "China is Leading in Artificial Intellegence," 201809/amy-webb/china-artificial-intellegence.html; James Vincent, " China is about to overtake America in AI Research." The Verge, March 19, 2019; Louis Columbus, " How China is Dominating Artificial Intellegence." Forbes, December 16, 2018)

Untuk Enerji Terbarukan (Renewable Energy) ini adalah enerji masa depan. Pada saat perkembangan enerji terbarukan di Barat terhambat karena lobby politik perusahaan minyak. Tiongkok justru memimpin kemajuan di bidang ini (Dominic Dudley, "China is Set to Become the World's Energy Superpower," Forbes, January 11, 2019; Dominic Chiu, "The East is Green: China's Global Leadership in Renewable Energy," CSIS Report, e-energy)

Demikian juga dengan Teknologi Mobil Listrik. Teknologi ini adalah masa depan industri mobil. Saat ini kemajuan teknologi mobil listrik di Barat stagnan. Kini Tiongkoklah yang terdepan didunia ini (Bloomberg Businessweek, " China is Leading the World to an Electric Car Future," November 15, 2018; Alex Thornton, "China is Winning the Electric Vehicle Race," World Economic Forum, 04 February 2019;)

Kedua, Bagaimana Mungkin Tiongkok Mencuri Teknologi Jika Saat Itu Tiongkok diembargo dan di-isolasi oleh Barat? Misalnya, Teknologi Bom Hydrogen dan Bom Nuklir? Untuk Hydrogen Bomb (UPI Archives, "China Fires H-Bomb," June 17, 1967; "China First Hydrogen Test Successful, 1967")

Untuk Persenjataan Nuklir, Tiongkok adalah yang terbaik, bahkan melewati AS dan Russia, dalam Teknologi Persenjataan Nuklir (lihat, Alex Lockie, "We Ranked the World's Nuclear Arsenals. Here's Why China Came Out on Top." Business Insider, January 25, 2019).

Ketiga, Apabila Tiongkok Mencuri Teknologi, pasti teknologinya jauh lebih buruk dibandingkan Barat. Bagaimana mungkin bisa mendominasi hak Paten Teknologi? Paten diajukan untuk penemuan produk & teknologi baru dari segi ini Barat telah tertinggal oleh Tiongkok.

World Intellectual Property Organisation melaporkan bahwa untuk tahun 2017 dari 3.17 juta paten yang diterbitkan. Paten dari Tiongkok ada 1.38 juta (43.53%) sedangkan AS 607,000 (19.14%), Jepang 318,000 (10.03%), Korea Selatan 205,000 (6.46%). Baru disusul Uni Eropa 167,000 (5.26%). Data ini menunjuk kan bahwa selain dominasi teknologi Tiongkok; juga dominasi Asia karena dari 3 negara Asia Timur tsb sudah mendominasi 58.82% paten teknologi. Jika dilihat Asia secara keseluruhan ada 65% dari total paten. Sedangkan AS dan Eropa hanya 24.40%, jadi kini penemuan teknologi didominasi Asia, bukan oleh Eropa dan AS. Trend seperti ini stabil sejak tahun 2011 yl. Ini membuktikan bahwa Asia telah bangkit dan telah mendominasi teknologi ("China Continues to Dominate Worldwide Patent Applications" Engineering and Technology, December 4, 2018; Barney Thompson and Nian Liu, "China Leads the Way in Legal Technology Patents," Financial Times, 17 February 2019; IPPro, "China is Overtaking the US as the World's Largest Innovator," 20 November 2018,  specialistfeatures/ specialistfeature.php?specialist_id=26).

Keempat, Menurut intelektual dan akademisi Barat yaitu Joseph Needham, seorang ilmuwan yang terhormat (well-respected) dari Cambridge University, UK. Penulis ensiklopedia Science and Civilization in China. Needham menulis bahwa: "Tiongkok adalah Peradaban Sains dan Teknologi (Science and Technology Civilization). Masyarakat Tiongkok sangat menghargai proses belajar, studi dan meneliti, sehingga mereka memiliki kemampuan mengembangkan sains dan teknologi secara mandiri." Tulisan Needham ini menjelaskan mengapa pada saat diisolasi/diembargo Barat. Kemajuan teknologi Tiongkok untuk industri dasar, hydrogen dan nuklir tetap melaju kedepan secara mengesankan.

Lebih lanjut, Needham menulis bahwa kompas, jam (penunjuk waktu), mesiu, senjata api (senapan, meriam, dinamit, roket, dsb), crossbow, astronomi, kertas, uang kertas, bank, bank cheque, teknik percetakan, seismograph - alat pengukur gempa. Saat itu kaisar Tiongkok sudah bisa mengetahui kapan terjadi gempa, seberapa besar gempa tsb dan dimana lokasi gempa sehingga bisa cepat mengirim bantuan. Menarik bahwa seismograph modern masih tetap meng-gunakan prinsip teknologi yang sama dengan seismograph Tiongkok kuno. Serta masih banyak lagi seperti kincir air, irigasi, matematika, dsb. Seluruh teknologi ini telah biasa digunakan di Tiongkok dijaman dinasti Tang. Baru 1000 tahun kemudian diperkenalkan di Barat oleh rahib Jesuit, yang waktu itu ber -kunjung ke Tiongkok, menjadi tamu kaisar dan diijinkan belajar tekonologi Tiongkok. Jadi menurut Needham, Baratlah yang terlebih dulu belajar teknologi dari Tiongkok. Kehadiran teknologi Tiongkok di Eropa mendorong terjadinya Pencerahan (rennaisance) yang merupakan titik awal bangkitnya liberalisme dan humanisme, yang kemudian mendorong kebangkitan Eropa (Joseph Needham, Science and Civilization in China, Cambridge University Press, 2015).

Jika kita meminjam nilai-nilai liberal Barat, fairness, justice, gentleman, ethics dsb yang selama ini dijunjung tinggi dan dibanggakan oleh dunia Barat. AS semestinya membayar lunas semua paten teknologi Tiongkok yang digunakannya terlebih dahulu. Barulah AS bisa klaim pencurian teknologi oleh Tiongkok. Jika hal ini dilakukan maka AS tidak akan lagi mampu tegak berdiri, limbung karena bangkrut.

Selama bertahun-tahun para petinggi di Washington meremehkan (underestimate) Tiongkok. Mereka terjebak kedalam paradigma yang diciptakan sendiri; bahwa Tiongkok dikuasai rejim komunis yang otoritarian, bahwa rakyat Tiongkok menderita dibawah pemerintahan otoritarian, bahwa dengan kemajuan ekonomi yang terjadi, rakyat Tiongkok akan bangkit dan menuntut demokrasi, jika tuntutan demokrasi ini terjadi maka rejim komunispun tumbang dan Tiongkok - pun menjadi demokrasi liberal seperti Barat. Ditambah lagi untuk politisi dari kubu White-Supremacy, Tiongkok adalah non-Caucasian jadi secara budaya, moral dan kecerdasan sangat rendah, jadi tidak mungkinlah bisa berkembang menyaingi AS, dsb.

Ini adalah asumsi yang sepenuhnya irasional; oleh karena tidak didasarkan pada data dan studi kontemporer (contemporary studies) yang mendalam pada struktur sosial-politik Tiongkok. Namun hanya didasarkan pada persepsi "sebagai orang luar terhadap komunisme Tiongkok." Akibatnya seperti intelektual AS Gordon Chang yang laris dan disukai para petinggi Washington. Gordon sejak tahun 2005 yl selalu memprediksikan bahwa rejim politik dan ekonomi Tiongkok akan runtuh dan prediksinya selalu keliru. Sekalipun selalu keliru, Gordon tetap digandrungi para petinggi Washington karena Gordon berceritera apa yang ingin didengar oleh para petinggi Washington, bukan apa yang sebenarnya terjadi. Akibatnya, kebijakan Washington terhadap Tiongkok tidak pernah efektif, bahkan sepenuhnya tidak tepat sehingga Washington gagal menghentikan kemajuan Tiongkok. Puncak dari kegagalan Washington ini adalah perang dagang baru saja berlalu.

Frustasi menghadapi Tiongkok, langkah paling mudah adalah melancarkan hoax politik "mencuri teknologi" dengan tujuan membentuk persepsi dan opini publik AS dan dunia bahwa Tiongkok adalah negara inferior dengan tingkat kecerdasan rendah, bermoral rendah, bisanya cuma mencuri. Sedangkan AS adalah sang adikuasa yang superior, pembela demokrasi dan HAM, sumber ilmu dan teknologi; yang telah mejadi "korban" kejahatan Tiongkok.

Hoax politik ini sangat jitu dalam menenangkan publik AS atas rontoknya superioritas teknologi AS oleh Tiongkok. Gambaran bahwa AS adalah "korban" kejahatan dan kelicikan Tiongkok cukup meyakinkan kaum White Supremacist dan dapat menenangkan kemarahan kaum buruh dan para penganggur korban PHK karena relokasi industri ke Tiongkok. Film yang dibuat Peter Navarro, "Death by China" menggambarkan dengan jelas upaya politik ini. Tiongkok menjadi kambing hitam kegagalan kebijakan ekonomi AS sehingga sektor manufaktur dalam negeri rontok, hutang menumpuk, pengangguran meningkat, produktivitas nasional menurun dan AS menjadi sangat konsumtif yang mengakibatkan defisit perdagangan meledak semua ini berujung pada meningkatnya angka kemiskinan. Kini jauh lebih banyak jumlah orang miskin di AS daripada di Tiongkok. Pada tahun 2017 yl UN Rapporteur Philip Alston berkunjung ke AS untuk meneliti kemiskinan yang terjadi dan dia melapor-kan ada sejumlah 51 juta orang yang dikategorikan sebagai on extreme poverty (Ed Pilkington,"The UN Rapporteur on Extreme Poverty in America," The Guardian, 1 December 2017). Pada tahun yang sama jumlah orang miskin di Tiongkok tinggal 9 juta dan Xi mentarget-kan bahwa ditahun 2020 kemiskinan tidak ada lagi di Tiongkok.

Semua ini hanyalah mentalitas pihak yang kalah (the loser mentality). Tidak akan menolong AS untuk memperbaiki dirinya. AS bagaikan atlit yang kalah bertanding kemudian sibuk menyalahkan lawannya (Tiongkok) dan wasitnya (WTO).

"Sebagai akhir kata, data diatas menunjuk dengan jelas bahwa kini Asia memimpin dunia dalam Inovasi Teknologi sehingga langkah Asia memasuki abad 21 adalah dengan tegap. Fajar telah merekah di Asia, yang dulu adalah budak dan jajahan Barat. Akhirnya semua kembali kepada kita, Apakah kita akan menoleh ke Timur dimana fajar merekah dengan indah? Ataukah tetap terpaku ke Barat untuk menyaksikan matahari terbenam? Apakah kita akan ikut berderap bersama para tetangga memasuki abad Asia sambil memberi warna Indonesia? Ataukah kita memilih sibuk bertengkar masalah Suku, Ras, Agama dan Politik? Langkah apapun yang kita ambil adalah pilihan kita sendiri"


No comments:

Post a Comment