Thursday, April 12, 2012

FALSAFAH KERIS JAWA

Makna Keris Dalam Kebudayaan Jawa

Keris ialah sejenis senjata pendek kebangsaan Melayu yang digunakan sejak melebihi 600 tahun dahulu. Senjata ini memang unik di dunia Melayu dan boleh didapati di kawasan berpenduduk Melayu seperti Malaysia, Indonesia, Singapura, Thailand Selatan, Filipina Selatan (Mindanao), dan Brunei.

Keris digunakan untuk mempertahankan diri (misalnya pada waktu bersilat) dan sebagai senjata kebesaran diraja. Senjata ini juga merupakan lambang kedaulatan orang Melayu. Keris yang paling masyhur ialah keris Taming Sari yang merupakan senjata Hang Tuah, seorang pahlawan Melayu yang terkenal.


Keris purba berasal dari Kepulauan Jawa telah digunakan antara abad ke-9 dan ke-14. Senjata ini terbagi kepada tiga bagian, yaitu mata, hulu, dan sarung. Keris sering dikaitkan dengan kekuatan mistik oleh orang Melayu pada zaman dahulu. Antara lain, kepercayaan bahwa keris mempunyai ruh-nya tersendiri.

Menurut adab Melayu tradisional keris perlu dirawat dengan cara diperasapkan (diprapeni) pada masa-masa tertentu, malam Jumat misalnya. Ada juga kebiasaan mengasam-limaukan keris sebagai cara untuk memelihara logam keris dan juga untuk menambah racunnya.

Ada pepatah yang menyatakan: “Penghargaan pada seseorang tergantung karena busananya.”. Pepatah itu mungkin didasarkan pada pandangan psikologis yang mengutamakan kerapian, kebersihan busana yang dipakai seseorang, serta menunjukkan watak atau karakter orang itu. Di kalangan masyarakat Jawa Tengah pada umumnya, dalam suatu perhelatan tertentu, misalnya pada upacara perkawinan, para kaum prianya diwajibkan mengenakan busana Jawi jangkep (Jawa lengkap).

Dan kewajiban itu harus ditaati terutama oleh mempelai pria, yaitu harus mengenakan busana pengantin gaya Jawa, yaitu berkain batik, baju pengantin, tutup kepala (kuluk), dan juga sebilah keris diselipkan di pinggang. Mengapa harus keris? Karena keris itu oleh kalangan masyarakat Jawa dilambangkan sebagai simbol “kejantanan”. Dan terkadang apabila karena suatu sebab pengantin prianya berhalangan hadir dalam upacara temu pengantin, maka ia diperkenankan untuk diwakili oleh sebilah keris.

Keris merupakan lambang pusaka.

Pandangan ini sebenarnya berawal dari keyakinan masyarakat Jawa kuno, bahwa awal mula keberadaan mahluk di dunia bersumber dari falsafah agraris, yaitu menyatunya unsur lelaki dengan unsur perempuan. Di dunia ini, Allah SWT menciptakan makhluk dalam dua jenis gender yaitu jantan dan betina, baik manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Keyakinan pada falsafah agraris ini sangat mendasar di lingkungan keluarga besar Keraton di Jawa, seperti Keraton Kasultanan Yogyakarta, Karaton Kasunanan Surakarta, dan lain-lain. Keyakinan semacam ini berawal dari ajaran Hinduisme yang pernah dianut oleh sebagian besar masyarakat Jawa, sehingga muncul pula keyakinan  tentang adanya bapak angkasa dan ibu bumi/pertiwi.



Yang juga dekat dengan keyakinan falsafah agraris di masyarakat Jawa ialah penampilannya dalam bentuk upacara kirab pusaka pada menjelang satu Sura dalam kalender Jawa dengan mengkirabkan pusaka-pusaka unggulan Keraton yang terdiri dari senjata tajam seperti keris pusaka, tombak pusaka, pisau besar (bendho) dan lain sebagainya. Arak-arakan pengirab senjata pusaka unggulan Karaton berjalan mengelilingi kompleks Keraton sambil memusatkan pikiran, perasaan, memuji dan memohon kepada Sang Maha Pencipta alam semesta, untuk beroleh perlindungan, kebahagiaan, kesejahteraan lahir dan batin.

Fungsi utama dari senjata tajam pusaka dulu adalah alat untuk membela diri dari serangan musuh, dan binatang atau untuk membunuh musuh. Namun kemudian fungsi dari senjata tajam seperti keris pusaka atau tombak pusaka itu berubah. Di masa damai, kadang orang menggunakan keris hanya sebagai kelengkapan busana upacara kebesaran saat temu pengantin. Maka keris pun dihias dengan intan atau berlian pada pangkal hulu keris. Bahkan sarungnya yang terbuat dari logam diukir sedemikian indah, berlapis emas berkilauan sebagaikebanggaan pemakainya. Lalu, tak urung keris itu menjadi komoditas bisnis yang tinggi nilainya.

Tosan aji atau senjata pusaka itu bukan hanya keris dan tombak khas Jawa, melainkan hampir seluruh daerah di Indonesia memiliki senjata tajam pusaka andalan,seperti rencong di Aceh, badik di Makassar, pedang, tombak berujung tiga (trisula), keris bali, dan lain-lain.

Keris pusaka atau tombak pusaka yang merupakan pusaka unggulan itu keampuhannya bukan saja karena dibuat dari unsur besi baja, besi, nikel, bahkan dicampur dengan unsur batu meteorid yang jatuh dari angkasa sehingga kokoh kuat, tetapi cara pembuatannya disertai dengan iringan doa kepada Sang Maha Pencipta Alam (Allah SWT) dengan suatu upaya spiritual oleh Sang Empu.

Dengan melakukan ini,  kekuatan spiritual Sang Maha Pencipta Alam itu pun dipercayai orang sebagai kekuatan magis atau mengandung tuah sehingga dapat memengaruhi pihak lawan menjadi ketakutan kepada pemakai senjata pusaka itu. Ada suatu pendapat yang berdasarkan pada tes ilmiah terhadap keris pusaka dan dinyatakan bahwa keris pusaka itu mengeluarkan energi/kekuatan yang tidak kasat mata (tak tampak dengan mata biasa).

Yang menarik hati adalah keris yang dipakai untuk kelengkapan busana pengantin pria khas Jawa. Keris itu dihiasi dengan untaian bunga mawar melati yang dikalungkan pada hulu batang keris. Ternyata itu bukan hanya sekadar hiasan, melainkan mengandung makna untuk mengingatkan orang agar jangan memiliki watak beringas, emosional, pemarah, adigang-adigung-adiguna, sewenang-wenang, dan mau menangnya sendiri seperti watak Arya Penangsang yang pemarah, emosional dan tidak bisa menahan diri. Menurut hikayat, Aria Penangsang ini terbunuh oleh kerisnya sendiri.

Tosan aji atau senjata pusaka seperti tombak, keris dan lain-lain itu bisa menimbulkan rasa keberanian yang luar biasa kepada pemilik atau pembawanya. Orang menyebut itu sebagai piyandel, penambah kepercayaan diri. Bahkan keris pusaka atau tombak pusaka yang diberikan oleh Sang Raja terhadap bangsawan keraton itu mengandung kepercayaan Sang Raja terhadap bangsawan unggulan itu. Namun manakala kepercayaan sang raja itu dirusak oleh perilaku buruk sang adipati yang diberi keris tersebut, maka keris pusaka pemberian itu akan ditarik/diminta kembali oleh sang raja.



Hubungan keris dengan sarungnya secara khusus oleh masyarakat Jawa diartikan secara filosofis sebagai hubungan akrab, menyatu untuk mencapai keharmonisan hidup di dunia. Maka lahirlah filosofi “manunggaling kawula-Gusti”, bersatunya abdi dengan rajanya, bersatunya insan kamil dengan Penciptanya, bersatunya rakyat dengan pemimpinnya, sehingga kehidupan selalu aman damai, tentram, bahagia, sehat sejahtera. Manusia, selain saling menghormati satu dengan yang lain masing-masing, juga harus tahu diri untuk berkarya sesuai dengan porsi dan fungsinya masing-masing secara benar. Namun demikian, makna yang dalam dari tosan aji sebagai karya seni budaya nasional yang mengandung pelbagai aspek dalam kehidupan masyarakat Jawa pada umumnya, kini terancam perkembangannya karena aspek teknologi sebagai sahabat budayanya kurang diminati ketimbang aspek legenda dan magisnya.