Friday, April 8, 2016

TAKSI BIRU

Taksi Biru
Oleh: Susbandono
Dulu saya memuji kehebatan pelayanan taksi dengan simbol burung berwarna biru.  Tapi, kali ini tentang demonstrasi yang digelar 3 hari lalu di sepanjang jalan Thamrin dan sekitar Istana Negara.
Siang itu jalanan dipenuhi oleh ratusan pendemo yang didominasi seragam bermotif batik, berwarna biru.  Mereka adalah sopir-sopir taksi.  Mayoritas berasal dari 2 perusahaan besar taksi berargometer di Jakarta.  Taksi biru dan taksi putih.
Isunya jelas.  Pendemo protes karena kehadiran perusahaan transportasi berbasis aplikasi.  Pelanggan taksi turun drastis.  Konon 30 sampai 40%.  Taksi aplikasi disebut tak berizin, tak bayar pajak, tak ditera, tak sesuai ketentuan tarif  dan seterusnya, dus, ilegal.  Harus ditutup.
Kalau selama ini “Taksi Biru” dianggap sebagai primadona taksi di Jakarta, bahkan Indonesia, kali ini merasa terdesak.  Meski sudah berbelas tahun atau bahkan berpuluh tahun menjadi the best taxy in the city dan merajalela di hampir semua kota besar di Indonesia, kali ini tak tahu bagaimana harus bertahan.  Belum lama, “Taksi Biru” masih dikenal dengan pelayanan yang prima, credible, bersih dan favorit, kini bertekuk lutut dan menyerah.
“Taksi Biru” cukup lama menjadi the winner.  Susah membayangkan ada perusahaan lain yang mampu menggeser dominasi mereka.  Organisasi yang matang, dikelola dengan  pengalaman segudang yang sulit dicari lawannya. 
Tapi justru karena itu, mereka lengah.  Berada dalam posisi juara, dalam waktu yang lama, membuat mereka lalai.  Lupa bahwa perubahan tidak lagi linier, melain eksponensial, dengan percepatan doubel atau tripel.  Tak menyangka bahwa “musuh” bisa datang dari mana saja, berupa apa saja, dan siapa saja.
Dulu, mereka sering didemo oleh sopir-sopir dari perusahaan taksi lainnya yang menjadi pecundang.  Diprotes karena dianggap mendapat fasilitas istimewa.  Sopirnya dikucilkan dan di-bullykalau berada di pangkalan taksi umum.  Dianggap elit dan eksklusif.  Kemaren mereka ganti mendemo “saingannya” yang bahkan tidak mempunyai 1 mobil sekali pun.  Tak terpikir sebelumnya, perusahaan jasa transportasi tidak mempunyai armada.  Dunia cepat berputar.  Bumi tidak lagi bulat.  “The world is flat”.
“Taksi Biru” beruntung dengan masa jaya yang relatif lama.  Produk lain lebih tragis, karena baru saja muncul, menjadi juara sejenak dan dilibas saingan-saingannya.  Fenomena “Taksi Biru” mirip becak. Pernah merajalela di Jakarta, becak digusur bemo.  Belum usai tukang becak marah, bemo ditendang helicak.  Tak lama bertahan, kendaran yang mirip capung itu, diganti perannya oleh bajaj.  Begitulah, mati satu, tumbuh seribu. 
Banyak kisah bagaimana pelaku bisnis taksi “legal” bisa memetik pelajaran berharga dari kehidupan di sekitar kita.  Kelahiran super market besar, seperti  Gelael atau Hero yang diprotes oleh warung-warung pinggir jalan.  Tak lama, ganti “Hero” dan “Giant” yang marah-marah karena banyak gerai  bernama akhiran “Mart” yang tumbuh bak jamur di musim hujan.  Yang dulu diprotes, ganti mendemo, yang dulu belum ada, tiba-tiba muncul dengan sesuatu yang sama sekali baru dan tak terkirakan.  Semuanya mendesah dengan keluhan yang persis sama, hanya waktunya berbeda.  “Patah hilang, tumbuh berganti”.
Kisah Travis Kalanick dan Garret Camp, pendiri Uber, perusahaan berbasis aplikasi, yang diprotes demonstran sopir-sopir taksi konvensional, menarik disimak.  Dia mengritik taksi “legal” sebagai bisnis yang stagnan dan raksasa yang penuh korupsi dan kronisme. “Perusahaan taksi melindungi dirinya agar kompetisi sehat tidak terjadi.  Mereka membetengi dirinya dengan regulasi yang tak masuk akal.  Mereka mempunyai karakter ongkos tinggi, servis rendah dan minim akuntabilitas.  Rentan digantikan dengan bisnis startup, karena banyak orang jengkel kepada mereka”. 
Travis menjadi salah satu “penemu besar” abad ini.  Alhasil, uang sebanyak 80 triliun rupiah tercatat menjadi kekayaannya.  Kisah sukses Travis tak sendirian. Di Malaysia ada Anthony Tan yang melahirkan Grab, yang beranak-pinak menjadi GrabBike, GrabTaxi dan GrabCar.  Di Indonesia ada Nadiem Makarim yang membuat GoJek, yang juga dimusuhi tukang ojeg pangkalan.  Mereka membuat marah para pelaku bisnis konvensional yang kadung nyaman dengan kemapanan yang memabukkan.
Travis, Anthony dan Nadiem mempunyai 3 kunci sukses, yang membuat dunia ternganga-nganga menyaksikan penemuannya.  Tak mau terlena dengan kenyamanan, inovatif dan tahan banting.  Uber dihujat di seluruh dunia, Grab dicemooh sinis dan GoJek dikeroyok ojeg pangkalan.  Sekali lagi, ketiganya maju terus, pantang mundur.
Ketika kenikmatan terusik dengan inovasi, orang barungeh kalau dunia sudah berubah.  Banyak yang ikut tersadar dan segera berubah, tak sedikit yang menjawab kekagetan ini dengan respons negatif.  Marah, protes, demo dan tindakan anarkis lainnya.  Sesuatu yang sia-sia, karena zaman tak mungkin ditahan bergerak, bumi tak mungkin dihentikan berputar dan matahari tak mungkin istirahat bersinar.
Tidak hanya di Jakarta.  Uber juga dikecam di berbagai belahan bumi lainnya, namun bergeming.  Paris adalah contoh kota besar yang bereaksi negatif.  Kerusuhan dikobarkan untuk melawan Uber.  Sekitar 70 mobil dirusak, 7 polisi terluka, 10 orang ditangkap, bahkan 2 pejabat Uber diadili dan diancam hukuman 5 tahun penjara. 
Brasil idem ditto.  Tiga kota besar, Sao Paulo, Rio de Janeiro dan Brasilia menolak Uber beroperasi.  Meski sudah terbit aturan untuk itu, Walikota setempat masih gamang.  “Dimakan ayah meninggal, tak dimakan ibu yang wafat”.  Serba salah.
Tipikal kebingungan serupa, juga ditunjukkan pemerintah di Jakarta.  Menteri yang satu melarang, menteri yang lain, wait and see.  Padahal disitulah sumber kebingungan ini.  Tak banyak pihak yang mampu mengantisipasi perubahan.  Dibutuhkan gerak dengan kecepatan tinggi.  Mereka yang mampu cepat akan bertahan, sementara yang lamban akan ditinggalkan.  Padahal, regulasi dan undang-undang adalah contoh produk dengan proses yang beringsut perlahan-lahan,  yang sulit bermanuver dengan gesit.  Akhirnya kegaduhan harus dikecap bersama.
Bukan hanya taksi legal yang dalam keadaan bahaya.  Industri atau bisnis lain pun, demikian juga.  Siapa saja, yang merasa nyaman terlalu lama,  lalai dan abai terhadap “ancaman” perubahan, tiba-tiba diserang oleh perubahan itu sendiri.  Sejarah membuktikan, tak ada satu pun kekuatan yang mampu menahannya. 
Kalau saja saya bisa mengirim pesan ini kepada mereka.  Kepada para pelaku industri transportasi kota yang enggan berubah.  Kepada pengusaha dan sopir taksi yang kecapaian demo tanpa setoran.  Kepada tukang ojeg pangkalan yang lagibengong nunggu penumpang.  Kepada pelaku industri angkot dan bis mini yang hobinya kebut-kebutan.  Kepada pelaku industri transportasi pada khususnya dan pelaku bisnis pada umumnya yang berduka karena ekonomi lesu.  Jangan tunggu dan harapkan orang lain - termasuk pemerintah - akan menolong anda.  Andalah orang yang sedang anda tunggu untuk melakukan perubahan itu.
“Change will not come if we wait for some other person or some other time. We are the ones we've been waiting for. We are the change that we seek”.  (Barack Obama)

Artikel-Artikel Tentang Transport Berbasis Aplikasi Online:

No comments:

Post a Comment