Tuesday, August 1, 2017

APAKAH KITA BANGSA YANG XENOPHOBIA

APAKAH KITA BANGSA YANG XENOPHOBIA ???
Penulis: Emmy Hafild

Judul ini saya tulis sebagai renungan saya dalam perjalanan Jkt-Bdg-Jkt dengan KA, setelah berdialog dengan Presiden beberapa waktu lalu. Dari dialog tersebut, terlihat sangat jelas, beliau sangat menginginkan agar kita, bangsa Indonesia, bisa lompat ke depan dua tiga langkah untuk mengejar ketertinggalan dari bangsa lain, terutama negara berkembang Asia. 
Beliau bercerita dialog nya dengan Emir Kuwait, UAE , PM RRC dan PM Singapura. Dialog itu terfokus pada bagaimana dalam waktu singkat, negara-negara tersebut mampu menyamai negara maju dalam bidang industri, IT, pengelolaan pelabuhan, airport, bank, penerbangan, bahkan universitas. Ternyata kuncinya adalah: negara-negara tersebut membuka dan mengundang asing untuk masuk dengan membawa tidak hanya modal, tapi juga keahlian dan teknologi, artinya membawa juga tenaga asingnya
Waktu Presiden Jokowi bertanya, mengapa asing dipersilahkan masuk dan bekerja di negara Anda, bahkan memimpin universitas? Jawabannya sama: negara-negara tsb sudah 200 tahun meninggalkan kita, oleh karena itu seharusnya kita belajar dari mereka baru kemudian kita ambil alih dan tinggalkan mereka. Sekarang negara-negara yang tadinya miskin dan tertinggal itu adalah negara-negara yang maju di bidangnya masing-masing. 
Tahun 60-an, negara-negara Teluk adalah negara miskin, namun sekarang menjadi negara maju kelas dunia. Demikian juga Singapura dan kita selalu satu langkah di belakang Malaysia. 
Universitas di Singapura sudah masuk 25 besar dunia, padahal 20 tahun lalu, universitasnya belum dikenal dunia. Demikian juga China..pelabuhannya sekarang jadi pelabuhan paling canggih dan paling efisien sedunia.. hanya dalam waktu 20 tahun. 
Presiden gelisah, karena dia ingin berbuat tetapi bangsa ini terbelenggu dengan sensitivitas terhadap asing dan rawan diplintir jadi issu politis. Keinginan untuk berbuat agar kita lompat dua tiga langkah ke depan untuk mengejar ketertinggalan,  selalu dimanfaatkan lawannya sebagai sesuatu yang jahat. 
Percakapan  itu membuat saya tercenung, membuat saya berfikir dan merefleksikan sikap bangsa ini terhadap asing. Saya sendiri juga suka bersikap menolak asing dan ingin bangun dengan tenaga sendiri. BERDIKARI. Waktu saya kuliah, saya punya teman lebih dari 20 orang dari Malaysia yang kuliah di IPB, sepuluh tahun kemudian, anak-anak Indonesia kuliah di Malaysia. Dulu anak-anak kelas atas Indonesia sekolahnya ke AS, Eropa atau Australia, sekarang Singapore dan Malaysia banyaaak. Tahun 50-60-an Korea Selatan masih sama miskinnya dengan kita, tahun 80-an mereka telah menjadi Harimau Asia. 
Kita ini selalu ribut dengan yang berbau asing. Issu asing  ini malah dipolitisir sejak kita merdeka, dan semakin terasa setelah reformasi bergulir di negeri ini. Lama-lama terasa kita ini sebagai bangsa yang XENOPHOBIA, ultra nasionalistik, yang selalu mencurigai pihak asing
Kalau modal asing masuk dengan teknologi, pengetahuan dan tenaga ahlinya, kita selalu merasa dijajah. Kalau modal asing untuk mengelola sumber daya alam kita buka, kita selalu merasa negara ini dijual kepada asing. Kalau ada Manager atau CEO asing, selalu merasa dijajah. 
Sehingga ide untuk merekrut CEO berkelas internasional untuk BUMN Indonesia sudah ramai dikomentari. Kita juga menutup diri pada dokter asing untuk praktek di Indonesia. Sikap seperti ini menguntungkan kita atau merugikan? 
Padahal:
#1. Dengan kekayaan sumber daya alam yang luar biasa,  perusahaan Indonesia memang sudah masuk menjadi menjadi 500 perusahaan kelas dunia, namun jauh dari yang terbaik. Misal Pertamina no 213 di daftar Fortune 500, dibandingkan Petronas, yang jauh lebih belakangan lahir dan berkembangnya, telah masuk dalam perusahaan terbesar ke 75 dunia, dan yang paling menguntungkan se Asia. 
#2. Universitas kita sudah berdiri sejak awal abad ini, tapi tak satupun masuk dalam 20 besar universitas dunia. Bandingkan dengan National University of Singapore dan Nanyang University, yang masuk 12 dan 13 besar universitas dunia, mengalahkan Yale, Cornell dan John Hopkins dari AS yang nomor 15, 16 dan 17 dunia. NUS diketahui mempunyai banyak sekali dosen asing kelas dunia, sementara Nanyang   mempunyai rektor dan dosen asing.  
#3. Kita melarang dokter asing praktek di Indonesia, kalaupun boleh, syaratnya sangat ketat. Kenyataannya, setidaknya ada 700 ribu orang Indonesia berobat keluar negeri setiap tahun, menghabiskan devisa kurang lebih USD 11 milyar.  Yang mengambil untung dari ketertutupan kita pada dokter asing adalah Malaysia dan Singapore dan terakhir Thailand, yang diketahui terbuka bagi dokter asing. 
#4. Kita ribut kontraktor asing melakukan proyek-proyek infrastruktur, kenyataannya, jalan tol yang paling baik masih tol jagorawi yang dibangun Korea Selatan. Dan pembangunan MRT oleh kontraktor Jepang adalah kegiatan pembangunan yang paling rapih dan bersih yang pernah terjadi di negeri ini, bandingkan dengan pembangunan jalan tol Cinere yang berantakan atau jalan layang Mampang Ciledug, dan proyek-proyek infrastruktur lain. 
#5. Kita ribut selalu soal Freeport menguasai tambang Grassberg di Papua. Syukurlah setelah 49 tahun akhirnya kita menguasai saham mayoritasnya, namun sudahkah kita kuasai teknik penambangan dataran tinggi dengan tingkat safety yang tinggi termasuk bagaimana mengelola limbahnya? 
#6. Jepang dikenal sebagai negara yang sangat tertutup terhadap modal dan perusahaan asing tetapi tidak pada tenaga ahli asing. Perusahaan Jepang dalam dua puluh terakhir dikenal merekrut CEO dan top manajemen dunia nonJepang untuk dapat bersaing di dunia. Fenomena balapan Moto GP yang didominir oleh Honda dan Yamaha, dengan pimpinan racing dan teknisi asing non Jepang semestinya menginspirasi kita bahwa memperkerjakan orang asing tidak berarti branding bangsa luntur. Honda, Yamaha atau Suzuki tetaplah Jepang walaupun mayoritas yang bekerja dalam balapan tersebut asing. 
Untuk maju, kita harus lebih terbuka terhadap tenaga ahli dan top manajemen asing serta perusahaan-perusahaan kelas dunia yang bergerak di bidang yang belum kita kuasai. 
Kuncinya adalah:
#1. Modal dan tenaga asing tersebut membawa etos kerja, keahlian dalam proses bekerja, manajemen, ilmu pengetahuan, teknologi mereka dalam desain yang terstruktur untuk alih pengetahuan dan teknologi dalam jangka waktu tertentu. 
#2. Pemerintah sebagai regulator dan penegak hukum tidak korup, bekerja untuk kepentingan orang banyak, membuat standard kualitas dan KPI yang tinggi dan memastikan semua hukum dan KPI  dipenuhi. Memastikan bahwa kita adalah Tuan di rumah sendiri bagi perusahaan-perusahaan asing dan tenaga ahli dan top manajemennya. 
#3. Memastikan anak bangsa belajar dan duduk di posisi-posisi strategis untuk menyerap semua keahlian, ilmu, manajemen dan teknologi yang ada.
#4. Menyediakan dana yang cukup untuk pada saatnya mengambil alih perusahaan-perusahaan asing tersebut 
#6. Tetap menjaga dan meningkatkan kualitas ilmu, proses, teknologi, manajemen dari yang ditinggalkan oleh asing tersebut pada saat ambil alih. Misalnya pengambil alihan 80% saham Newmont Nusa Tenggara oleh perusahaan anak negeri dan 51% saham Freeport jangan sampai menurunkan standard prosedur kerja maupun kualitas dan proses manajemen perusahaan-perusahaan tsb, bahkan seharusnya meningkatkan ke standard yang lebih tinggi. 
Dengan populasi 255 juta orang dan pendidikan yang lumayan tinggi, jangan sampai kita terjebak dalam ekonomi negara kelas menengah dan tidak bisa naik kelas menjadi negara maju hanya karena phobia terhadap modal, SDM dan teknologi asing. Lama-lama kita jadi katak di bawah tempurung.

EH , 30 Agustus 2017

No comments:

Post a Comment