Tuesday, October 10, 2017

FINANCIAL ENGINEERING

FINANCIAL ENGINEERING
( Bisnis )

Ketika  tender kereta Cepat Jakarta Bandung digelar pemerintah peserta nya berasal dari Jepang, China, Korea, Jerman dan lainnya. Tapi yang menang adalah China.  Mengapa? Ini bukan hanya tender yang berkaitan dengan tekhnologi, bukan soal cara pembayaran tapi lebih luas lagi yaitu tender business model. China unggul karena mampu mengkombinasikan tekhnologi, sumber daya keuangan dan rekayasa keuangan. Yang hebatnya semua itu diajukan dengan standar kepatuhan atas regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah. Apa itu? tidak ada Financial Guarantee dari pemerintah. Tidak ada resiko fiskal yang akan menjadi beban pemerintah. Tidak mengurangi hak pemerintah menentukan tarif sesuai UU. Tidak melanggar Tata Ruang. Tidak melanggar Amdal. Tetap harus bayar pajak atas laba. Dan setelah jangka waktu BOT, maka proyek itu harus menjadi milik Negara untuk dikelola oleh PT.KAI.

Kalau anda orang awam, akan berkerut kening. Mengapa anda harus mengikuti semua standar kepatuhan yang ditetapkan pemerintah sementara pemerintah tidak mau ambil resiko. Mengapa anda sebagai pemilik uang harus jadi orang bego. Benarkan? Ya bukan hanya anda yang berpikir begitu tapi juga peserta tender lain seperti Jepang, Korea, Jerman dan Prancis punya pemikiran sama dengan anda. Tapi, bagi China yang menang dan dipercaya pemerintah membangun kereta Cepat itu, mereka tidak bego. Mereka lebih cerdas dan hebat secara kalkulasi bisnis. Mengapa? Karena semua orang berpikir soal bisnis kereta cepat dimana pemasukan dari tiket, tapi China berpikir tentang business derivative dari adanya proyek Kereta cepat itu. Apa? pembangunan kawasan dalam bentuk TOD. Dari pengelolaan kawasan TOD saja, China sudah bisa mengembalikan biaya investasi itu , bahkan bisa dapat  dua kali dari uang yang mereka keluarkan sebesar Rp. 60 triliun.

Ketika DKI dihadapkan dengan masalah banjir kiriman dan  banjir Rob, masalah yang dihadapi Ahok ketika jadi Gubernur adalah pemerintah pusat tidak punya uang untuk mengatasi banjir tersebut. Ini setelah dapat penjelasan dari Menteri PU, Menteri Keuangan dan Bappenas. Apalagi kebijakan dasar anggaran fiskal Jokowi adalah indonesia centris dan membangun dari pinggiran Indonesia kemudian terus maju ketengah. Ahok harus cari solusi mengatasi keterbatasan anggaran ini. Tapi dari mana uangnya? PAD DKI tidak bisa diandalkan karena peluang pertumbuhan bisnis stucked akibat tekanan urban yang tak ada solusi konkrit mengatasi kekumuhan  lingkungan. Sementara masalah Jakarta setiap tahun terus bertambah dengan ongkos sosial yang sangat mahal akibat dari adanya banjir Rob dan banjir kiriman dari Puncak. Semua punya ide hebat mengatasi banjir tapi selalu berhenti ketika bicara uang.  Uang tidak ada. 

Solusinya adalah melakukan social engineering dan financial engineering. Lantas apa pemicunya agar financial engineering dapat dilakukan dan social engineering dapat efektif? Menggunakan proyek yang sudah rampung Feasiblity Study di Era SBY. Apa itu? Giant Sea Wall yang merupakan bagian dari Proyek National Capital Integrated Coastal Development (NCICD). Kalau tadinya proyek ini diniatkan jadi “proyek politik” untuk menjarah APBN tapi oleh Ahok di rekayasa jadi proyek bisnis melalui Rekayasa Pembiayaan (Financial Engineering) dengan menjadikan lahan reklamasi sebagai off take income. Caranya?  menetapkan aturan retribusi tambahan sebesar 15% sehingga jadi 20%. Orang awam melihat ini proyek reklamasi pulau buatan,  tapi orang lupa bahwa ini sebetulnya produk dari financial engineering sebagai solusi mengatasi keterbatasan anggaran atas masalah yang mendesak harus diselesaikan.

Dari adanya proyek NCICD maka berpotensi mendatangkan PAD ratusan triliun dan itu belum termasuk pajak turunan lainnya seperti pajak F&B, pajak. Mengapa? dari Proyek itu bakal mengubah wajah Jakarta menjadi kota modern, nyaman, dan bersahabat dengan PAD raksasa yang memastikan terjadi pertumbuhan berkelanjutan. Dengan potensi penerimaan dana sebesar itu maka tidak sulit bagi Ahok untuk mengatasi banjir. Semua rencana hebat mengatasi banjir bisa dilakukan karena ada uang. Dan Social Engineering terjadi dengan sendirinya yang mengubah penduduk Jakarta menjadi penduduk berkelas dunia, responsif terhadap perubahan dan mampu  bersaing secara global.

Anies dan Sandi bersama partai pendukungnya mungkin masih punya mindset sama dengan Foke yang berharap proyek NCICD dibiayai oleh APBN agar menjadi “Proyek”. Sehingga tidak perlu berharap dari retribusi lahan atau bila perlu reklamasi dibatalkan. Makanya pertemuan kemarin dengan Jokowi, Anies-Sandi berharap Jokowi bicara “Ya kalau mau batalkan reklamasi engga apa apa. Nanti duit mengatasi banjir kita gunakan APBN”. Ternyata masalah reklamasi tidak dibahas, dan makan siangpun tidak tersedia di Istana. Mau batalkan reklamasi, silahkan. Tapi dari mana uang mengatasi masalah banjir Jakarta? Sehebat apapun solusi tanpa uang pasti bego. Smart lah. Era sekarang kalau gubernur tidak mampu menjadi pemain Financial Engineering, maka dia hanyalah jadi mandor kambing, bukan pemimpin berkelas dunia, dan Jakarta butuh pemimpin sekelas itu..


Copas tulisan menarik dari Erizeli Bandaro grup DDB

No comments:

Post a Comment