Friday, October 6, 2017

KASUS NICU

KASUS NICU (Neonatal Intensive Care Unit)
TENTANG MENINGGALNYA DEBORAH: BENARKAH KARENA TERLAMBAT MASUK PICU (Pediatric Intensive Care Unit)
Saya ikut berduka atas meninggalnya Tiara Deborah, bayi berusia 4 bulan 10 hari, di RS Mitra Keluarga Kalideres kemarin. 
Maaf, saya tidak dalam posisi yang tepat untuk menyalahkan ataupun membenarkan, baik terhadap keluarga pasien maupun Rumah Sakit, karena saya tidak berada di lokasi saat kejadian. Jadi, tulisan ini anggap saja sebagai sekedar wacana. 
Dalam kasus ini, saya terdorong untuk ikut berkomentar terkait pengertian ruangan PICU, yang sering disebut-sebut dalam kasus meninggalnya Deborah tersebut. 
Masalah ini jadi ribut karena keluarga pasien yang meninggal punya anggapan, bahwa seandainya Deborah kemarin itu segera masuk PICU mungkin akan selamat. 
Maka mereka merasa sangat kecewa dan sedih ketika terhambat masuk PICU karena alasan biaya, sehingga kemudian MENYALAHKAN RS atas meninggalnya Deborah tersebut. 
Anggapan ini kemudian diamini media massa dan masyarakat umum, bahkan para pejabat terkait, sehingga banyak yang terburu-buru mengeluarkan pernyataan yang menyudutkan RS dan tenaga kesehatan. 
Sebenarnya, izinkan saya mengungkapkan, di balik kasus ini ada kesalah-kaprahan anggapan tentang apa itu PICU (dan juga ICU, NICU, HCU, CVCU, dan semacamnya).
Jangankan masyarakat umum, bahkan di kalangan tenaga medis sendiri pun banyak yang salah kaprah.
Kesalah-pahaman itu yang kemudian sering memunculkan "keributan" antara RS dan masyarakat, ketika ada pasien yang tidak bisa masuk ruang ICU dengan berbagai alasan, entah karena ruangan ICU-nya penuh, atau status pasien ybs dalam jaminan BPJS Kesehatan sedangkan RS-nya tidak bekerjasama dengan BPJS. 
Banyak diantara kita yang beranggapan bahwa ICU itu semacam KAMAR AJAIB, yang di situ tertanam berbagai peralatan yang hebat dan canggih, sehingga pasien kritis yang dibawa masuk ke situ bisa dicegah kematiannya. 
Bagaimana, ada diantara kawan-kawan yang beranggapan demikian? 
Tidak usah kecil hati kalau memang iya. Jangankan sampeyan, saya dulu pun (saat awal-awal baru jadi dokter) berpikiran begitu. 
Ada masanya saya, ketika masih menjadi dokter jaga di UGD, bila ada pasien kritis datang maka saya buru-buru menggeretnya ke ruang ICU. Saya bisa jadi senewen kalau ada sesuatu hal yang menghambat pasien itu masuk ICU. Entah itu masalah administrasi, atau masalah teknis lainnya. Bahkan lift macet pun pernah saya maki-maki habis, saking senewennya. 
Dan ironisnya, keluarga pasien bisa ikut jadi senewen gara-gara saya. Mereka akan ikut marah, misalnya karena perawat ICU lambat menyiapkan tempat untuk pasien baru, atau urusan administrasi yang menurut mereka terlalu bertele-tele. 
Saya baru merasa legaaa kalau pasien kritis sudah berhasil saya masukkan ke ICU. Seolah dengan memasukkannya ke ICU, saya telah berjasa "menyelamatkan nyawanya". Padahal, ya enggak begitu juga. 
Pengalaman bekerja di UGD dan ICU kemudian baru membuat saya sadar, bahwa yang "menyelamatkan" pasien bukanlah di mana ruangan dia berada. Bukan soal masih berada di UGD atau sudah masuk ICU. 
Bukan. Bukan itu. Tidak ada bedanya masuk ICU kalau kemudian juga tidak dilakukan apa-apa di situ. Pasien gawat tetap saja akan makin gawat, bahkan akhirnya meninggal juga. 
Yang membedakan bukan soal UGD atau ICU nya, tapi soal TINDAKAN APA yang sudah dokter lakukan untuk menyelamatkan pasien, dan OBAT-OBAT APA yang sudah diberikan. 
Dan ternyata SEBAGIAN BESAR (bisa dibilang 95%-lah) tindakan untuk mengatasi kondisi kritis pasien BISA DILAKUKAN DI UGD. 
TIDAK PERLU MENUNGGU PASIEN MASUK ICU atau PICU untuk melakukan tindakan medis dan memberikan obat-obatan yang mungkin bisa menyelamatkan nyawanya. TIDAK PERLU. 
Sama sekali tidak ada urgensinya terburu-buru menyeret bed pasien ke ruang ICU dengan pasang muka panik seperti dikejar setan, seperti adegan-adegan di sinetron lokal. Itu sama sekali tidak perlu! 
Penanganan medis yang benar adalah:
Lakukan segala tindakan yang diperlukan untuk menyelamatkan nyawa pasien DI UGD (bukan di ICU) hingga pasien kondisinya cukup stabil untuk dipindahkan. 
Setelah kondisi emergency (gawat-darurat)nya teratasi, barulah dokter menjelaskan pada keluarga pasien. 
Bila kondisi pasien stabil sepenuhnya, maka pasien bisa masuk ruang rawat inap biasa, atau bahkan bisa pulang.  Hal ini karena UGD BUKAN TEMPAT UNTUK MENGINAP. 
Bila kondisi pasien stabil, tapi kondisinya masih berat sehingga memerlukan pengawasan ketat dan perawatan intensif, maka di situlah saatnya Dokter menawarkan pasien untuk dirawat di ruang ICU. 
Apa sebenarnya ICU itu? 
ICU = Intensive Care Unit, sesuai namanya adalah ruangan untuk memberikan perawatan intensif pada pasien kritis. 
PICU (Pediatric Intensive Cara Unit) khusus untuk pasien Pediatrik (anak), dan NICU (Neonatal Intensive Cara Unit) untuk pasien neonatal (bayi baru lahir).
Betul, di ruang ICU terdapat banyak peralatan canggih, seperti terlihat di gambar. Perbandingan jumlah perawat : pasien juga beda dengan ruang rawat biasa. Bisa 1 : 1 atau 1 : 2, sehingga perawat bisa fokus menangani pasien dengan monitor ketat. Beda dengan ruang rawat biasa yang 1 perawat bisa untuk 5 - 10 pasien. 
Tapi itu bukan berarti pasien kritis kalau mau selamat harus buru-buru dimasukkan ke ruangan ini. 
ICU adalah sekedar RUANGAN. Sama dengan UGD. Ruangan tidak bisa menyelamatkan nyawa manusia.  Peran dokter dan petugas kesehatan lain di situ yang menentukan (dan izin Allah tentunya).
Mengenai tindakan medis pada pasien kritis, bisa dilakukan dokter di UGD maupun ICU. Bedanya:
·         Tindakan di UGD adalah tindakan dalam jangka pendek. Dalam KONDISI DARURAT karena pasien baru saja datang, masih serba darurat. 
·         Sedangkan ICU adalah ruang rawat pasien kritis untuk perawatan jangka panjangnya. 
Pemindahan pasien dari UGD ke ICU tidak sepenuhnya terkait dengan soal "penyelamatan nyawa".
UGD tidak untuk terus-menerus menangani pasien dalam waktu lama. Tidak bisa, karena pasien baru akan datang susul-menyusul dan harus segera ditangani juga. 
Pasien yang sudah berhasil diselamatkan dan distabilkan di UGD perlu SEGERA dipindahkan ke ruangan lain, agar ruangan, bed, dan alat-alat di UGD bisa digunakan untuk pasien lain berikutnya. 
Jadi itu ALASAN SEBENARNYA dokter di UGD mendorong agar pasien secepatnya dipindahkan ke ICU. 
Dokter dan petugas kesehatan di UGD harus menjelaskan pada pasien dan keluarganya dengan cara yang tepat. Jangan sampai salah ngomong, sehingga timbul persepsi pada keluarga pasien bahwa JIKA SEGERA MASUK ICU PASIEN AKAN SELAMAT, SEDANGKAN JIKA TERLAMBAT MASUK ICU BISA FATAL. 
Kalau menilik berita di https://m.detik.com/news/berita/3635958/ibunda-harusnya-debora-bisa-selamat-kalau-masuk-picu seandainya benar itu beritanya, sepertinya pola komunikasi yang kurang tepat dari petugas RS yang memunculkan persepsi salah tersebut. 
Saya kutip sedikit dari link berita tersebut:
"Oh, jadi anak saya meninggal karena nggak masuk ruang PICU? 'Iya, Bu', jadi kalau masuk ruang PICU bisa diselamatkan dong? Mereka diam, lalu saya tanya 'Bu, saya bisa minta surat pernyataan nggak, kalau anak saya ini nggak bisa masuk ruang PICU karena kurang DP?' susternya bilang 'ngomong sama dokternya' saya karyawan di sini, Pak," cerita Henny.
Saran saya, sebaiknya petugas RS menghindari cara berkomunikasi seperti di atas. Karena itu bisa menjadi biang kerok dari semua keruwetan selanjutnya. 
Menurut saya, pilihan RS Mitra Keluarga untuk "menolak" pasien Deborah masuk PICU RS tsb cukup beralasan, dan bisa jadi merupakan pilihan terbaik, karena pasien sebenarnya dalam jaminan BPJS. Uang yang dipakai masuk PICU RS swasta lebih baik digunakan untuk kebutuhan lain yang masih banyak nantinya. 
Lebih baik mengusahakan untuk mencari PICU RS lain yang bekerjasama dengan BPJS, karena toh pada jam-jam itu tidak banyak bedanya bagi pasien apakah segera masuk PICU atau sementara menunggu di UGD, asalkan penanganan di UGD sudah dikerjakan dengan tepat sesuai standar. 
Kalau membaca klarifikasi dari RS bahwa pasien sudah diberikan pertolongan intensif, mencakup pemberian oksigenasi, suctioning (penyedotan lendir), intubasi (pemasangan selang nafas), dll. (bila itu benar) semestinya itu cukup. Hanya caranya berkomunikasi dengan keluarga pasien yang (mungkin) gagal. 
Pejabat terkait yang memanggil pihak RS besok, hendaknya fokus ke penyelidikan tentang tindakan medisnya di UGD, sudah benar atau tidak. Bukan cuma mengungkit-ungkit soal kenapa-kenapa "ditolak" masuk PICU, karena itu tidak relevan dengan kasusnya. 
Dan pejabat yang tidak terkait, sebaiknya tidak asal komen kalau tidak tahu masalahnya. Jangan asal ngomong, misalnya "Tutup saja RS yang tidak manusiawi."
Eh pak, masih mending di Jakarta ada RS swasta yang ikut andil menyediakan ruang ICU/PICU dlsb. 
Tengok noooh... di seluruh Indonesia buuaanyak rakyat yang sakit tidak punya akses ke ruang ICU/PICU karena fasilitasnya di daerah sampai sekarang belum tersedia.  Bukannya itu TANGGUNG JAWAB NEGARA untuk menyediakan? Gak malu kalau disebut negara tidak manusiawi? Memangnya rakyat Indonesia itu cuma penduduk Jakarta aja?
Tidak apa-apa pak, silakan mengoreksi RS swasta. Kalau ada yang bengkok ya diluruskan. Asal jangan lupa bahwa ada tanggung jawab negara juga di situ. 
Jangan sampai nanti dibilang orang: "Buruk muka, cermin tetangga dibelah."
Oleh. Rahadi Widodo

No comments:

Post a Comment