KOTA HANTU DI CHINA
Paradoks Pembangunan Cina
Panji-panji dengan dominasi merah berkibar di dalam mall. Papan-papan
reklame telah lama terpasang. Gerai-gerai belanja berjejer pada koridor yang
panjang. Lift dan tangga berjalan siap digunakan. Bangunan super besar ini
berdiri di atas lahan lebih dari 17 hektar. Inilah Mall New South China, mall
terbesar di planet bumi.
Satu-satunya yang membedakan mall ini dengan mall-mall lain di seluruh
dunia adalah orang. Mall ini hampir kosong dari hiruk pikuk orang. Hampir tidak
ada orang yang berbelanja. Gerai-gerai yang diperuntukkan bagi para penjual
juga kosong. Ini lebih menyerupai mall untuk para hantu, di mana penjual dan
pembeli adalah hantu yang tak nampak oleh mata manusia.
Mall hantu ini terletak di Dongguan,
provinsi Guangdong, China, juga sebuah kota hantu. Mall,
hotel, apartemen, perumahan, taman, jalan besar, dan bangunan-bangunan super
megah didirikan. Namun, jumlah burung merpati yang berterbangan di jalan
mungkin lebih banyak dari penduduk kota.
Kota-kota lain seperti Zheng Zhou
di provinsi Zhengdong dan Ordos di provinsi Canbashi juga memiliki cerita serupa. Dibangun dengan
begitu megah, namun sepi penghuni. Tidak hanya di dalam negeri, pemerintah Cina
juga mencoba membangun kota hantu di luar negeri seperti Angola.
Tentu tidak semua kota yang dibangun berakhir menjadi kota hantu. Ada
banyak kota yang tumbuh secara mengesankan dan menjadi kota-kota terbesar di
dunia. Salah satunya adalah Chongqing.
Kota dengan penduduk 30 juta jiwa itu muncul sebagai salah satu kota terbesar
di Cina. Ia dibangun dalam waktu yang super cepat, sekitar 20 tahun.
Kota yang pernah menjadi medan pertempuran pasukan komunis Cina pimpinan
Mao Zedong ini terbentang di pinggir sungai Yangtze yang terbentuk seperti
sebuah semenanjung. Gemerlap di malam hari, memukau di siang hari. Jika selama
ini banyak orang hanya mengenal Beijing dan Shanghai, kini mereka punya pilihan
lain: Chongqing.
Melalui proyek pembangunan fisik yang sangat masif, rezim komunis Cina dua
puluh tahun terakhir membuktikan diri sebagai rezim infrastruktur.
Bangunan-bangunan tumbuh dari dalam tanah seperti jamur di musim hujan.
Jalan-jalan terbentang luas dan panjang. Rel-rel kereta api tidak hanya
menghubungkan kota-kota di dalam negeri, tapi juga mencoba menjangkau daratan
Eropa. Ia seperti hendak menghidupkan kembali Jalan Sutra (The Silk Road) dalam bentuk yang paling modern. Cina mencoba menjangkau dunia tidak hanya
dalam dunia cyber, tapi juga jalan darat, laut, udara, bahkan ruang angkasa.
Cina membangun kota sebagai magnet. Itulah mungkin yang menjelaskan kenapa
pemerintah Cina mau menghamburkan uang untuk membangun kota-kota hantu tanpa
penghuni manusia. Mereka percaya bahwa dengan menyediakan fasilitas jalan yang
lebar, hunian, pelabuhan, bandar udara, taman-taman, mall-mall, dan bangunan-bangunan
teater, orang-orang akan datang.
Apakah ini berhasil? Ada yang berhasil, tapi tidak sedikit yang gagal
(mungkin belum) berhasil. Ada sekitar 64 juta apartemen di seluruh Cina yang
tak berpenghuni.
Apakah apartemen-apartemen itu akan berjumpa dengan penghuninya? Tidak bisa
dipastikan. Yang nyata di depan mata adalah bahwa dua puluh tahun dari
sekarang, Cina akan mulai masuk ke era orang tua.
Dengan kebijakan satu anak, dua puluh tahun ke depan akan ada 300 juta
penduduk Cina yang masuk ke usia senja dan pensiun (Beckley, 2011/2012, p. 61). Kemungkinan besar mereka tidak terlalu
tertarik untuk mendiami apartemen-apartemen itu, tidak juga untuk menghidupkan
mall-mall raksasa yang sekarang kosong.
Memang betul bahwa Cina diprediksi akan menjadi kekuatan dominan dalam
ekonomi di masa yang tidak terlalu lama lagi. Goldman Sachs, misalnya,
memprediksi bahwa kekuatan ekonomi Cina
akan mengatasi Amerika Serikat pada 2027 (Nye: 2011, h. 4). Prediksi yang
lain menyebut tahun 2030 dan 2050.
Dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 9 persen per tahun dan diprediksi
sekitar 7 persen dalam 20 tahun ke depan, total ekonomi Cina memang sangat
mungkin melampaui Amerika Serikat. Namun begitu, sejumlah ekonom prediksi
7 persen pertumbuhan ekonomi Cina per tahun itu terlalu tinggi. Yang sebetulnya
akan terjadi adalah ekonomi Cina hanya akan tumbuh 2 sampai 5 persen pada
dekade mendatang (Beckley, 2011/2012, p. 60).
Namun, di bawah rezim satu partai semi diktator, apakah Cina bisa
diharapkan menjadi model pembangunan ekonomi di masa depan?
Kembali ke kota-kota hantu, terlalu sulit membayangkan bahwa penduduk dunia
akan mau hijrah mengisi kota-kota itu di tengah politik yang mengekang. Siapa
yang mau hidup di kota sebesar itu tanpa kebebasan mengakses facebook?
Akumulasi kekuatan ekonomi Cina mungkin sangat besar karena didukung jumlah
penduduk yang juga besar. Tapi, dilihat dari pendapatan per kapita per tahun,
Cina masih terlalu jauh tertinggal dari negara-negara maju seperti Amerika
Serikat.
Bahwa pembangunan fisik infrastruktur bisa dilakukan dalam sekejap, betul.
Ia tidak membutuhkan debat-debat publik di parlemen dan media seperti di
negara-negara demokratis. Tapi, kebijakan satu arah itu belum tentu menjawab
persoalan real masyarakat. Kota-kota hantu adalah salah satu contohnya.
Hilangnya kreativitas di bawah rezim diktator membuat negara ini sangat
kurang dalam hal inovasi. Dibanding dengan Amerika Serikat, Cina tertinggal
jauh dalam penemuan-penemuan baru di bidang teknologi dan ilmu pengetahuan.
Tahun 2007, misalnya, ilmuan-ilmuan Amerika mendaftarkan lebih dari 80,000
hak paten atas penemuan mereka (Nye, 2010, p. 6). Tidak ada kabar tentang
penemuan dan pendaftaran hak paten serupa dari Cina.
Salah satu yang mendukung penemuan-penemuan itu adalah adanya
lembaga-lembaga pendidikan yang bermutu. Times Higher Education yang berbasis
di London tahun 2010 mengemukakan bahwa 6 dari 10 universitas terbaik di dunia
ada di Amerika, tak satu pun universitas Cina yang masuk.
Sebuah penelitian dari universitas Cina, Shanghai Jio Tong University,
menyebut bahwa 17 dari 20 universitas terbaik dunia ada di Amerika Serikat,
lagi-lagi tak satu pun universitas Cina yang masuk dalam daftar (Nye, p. 7).
Tidak hanya itu, di banding dengan negara-negara maju lain seperti AS, Jepang,
dan Jerman, Cina masih jauh tertinggal dalam hal penggelontoran dana untuk
research and development, hal mana sangat dibutuhkan oleh sebuah negara modern
dan maju.
Tentu orang bisa berdalih bahwa Cina tidak terlalu membutuhkan
universitas-universitas dan lembaga-lembaga penelitian terbaik. Mereka bisa
mengirimkan putra-putri mereka ke universitas-universitas top dunia itu untuk
meraup ilmu dan mengakses penemuan teknologi paling mutakhir.
Ya, mereka memang melakukan itu. Fakultas-fakultas sains dan ekonomi di
Amerika, Eropa, dan Australia memang dipenuhi oleh mahasiswa-mahasiswa cerdas
bermata sipit asal Cina.
Persoalannya adalah
apakah mahasiswa-mahasiswa Cina itu kembali ke negaranya seusai mengenyam
pendidikan dan merasakan kehidupan demoratis di luar negeri?
90 persen mahasiswa Ph.D. bidang sains asal Cina di Amerika Serikat memilih
untuk mengisi jabatan-jabatan penting di perusahaan-perusahaan milik Amerika
daripada pulang ke Cina (Beckley, p. 66). Mereka adalah orang-orang terbaik
Cina yang bekerja untuk perusahaan-perusahaan Amerika dan negara-negara maju
lain tempat mereka menimba ilmu. Kediktatoran politik membuat Cina kurang
memiliki magnet untuk didiami, bahkan oleh warganya sendiri.
Oh, orang-orang Cina tidak perlu menjadi pelopor dalam inovasi dan penemuan
ilmiah. Apa pun yang ditemukan oleh ilmuan Amerika, Jepang, dan Jerman dengan
mudah mereka tiru. Lalu mereka akan memproduksi tiruan itu dalam jumlah yang
masif dan memberinya cap sendiri.
Upaya bertahun-tahun lembaga-lembaga penelitian bisa diduplikasi hanya dalam
hitungan minggu atau bulan. Di bawah rezim diktator dan media yang terkekang,
siapa peduli dengan barang bajakan.
Pertumbuhan industri Cina, terutama manufaktur, memang mengesankan. Mungkin
akan sangat sulit menemukan pasar di seluruh dunia sekarang ini yang tidak
terjangkau barang-barang dengan cap made in China. Bahkan, jemaah
haji yang datang dari Mekkah dengan bangga membawa oleh-oleh cangkir, arloji,
sajadah, tasbih, cerek, dan lain-lain dengan cap made in China.
Tunggu dulu, sebuah penelitian menunjukkan bahwa kendati barang-barang Cina
membanjiri pasar internasional, ternyata perusahaan-perusahaan yang memproduksi
barang-barang itu tidak semuanya milik Cina sendiri. 90 persen di antaranya
adalah milik asing. Bahkan, lebih jauh, sebagian besar bahan-bahan baku
produksi Cina bukan berasal dari Cina sendiri (Beckley, p. 68).
Sementara itu, sikap agresif militer Cina di kawasan Asia menyebabkan
negara ini dikepung oleh negara-negara demokratis yang potensial menjadi musuh.
Mereka adalah Jepang, Korea Selatan, Taiwan, India, mungkin juga Indonesia dan
Australia di masa depan.
Yang menarik, negara-negara itu adalah aliansi-aliansi terdekat Amerika
Serikat di kawasan Asia. Semua ini memperlemah posisi Cina dalam bidang
militer.
Lalu, apakah Cina patut dijadikan model pembangunan masyarakat dunia? Saya
kira tidak.
Referensi:
Beckley, M. 2011/2012, ‘China’s century? Why America’s edge will endure’,
International Security, Vol. 36, No. 3, pp. 41-78.
Nye, J. 2010, ‘The future of American power: dominance and decline in
perspective’, Foreign Affairs, Vol. 89, No. 6, pp. 2-12.
Subramanian, A. 2011, ‘The inevitable superpower: why China’s dominance is
a sure thing’, Foreign Affairs, Vol. 90, No. 5, pp. 66-78.
Youtube, 2013, ‘China’s empty cities’, Youtube.com, watched 11 March 2014,
.
Youtube, 2013, ‘China’s largest ghost city’, Youtube.com, watched 11 March
2014, < http://www.youtube.com/watch?v=Nc6tO9w8Nmw> .
Youtube, 2013, ‘Ghost mall in China, the largest mall in the world’,
Youtube.com, watched 11 March 2014, < http://www.youtube.com/watch?v=g9yfZBZdQaM>.
No comments:
Post a Comment