Thursday, November 1, 2018

KOTA HANTU DI CHINA

KOTA HANTU DI CHINA
Paradoks Pembangunan Cina
Panji-panji dengan dominasi merah berkibar di dalam mall. Papan-papan reklame telah lama terpasang. Gerai-gerai belanja berjejer pada koridor yang panjang. Lift dan tangga berjalan siap digunakan. Bangunan super besar ini berdiri di atas lahan lebih dari 17 hektar. Inilah Mall New South China, mall terbesar di planet bumi. 
Satu-satunya yang membedakan mall ini dengan mall-mall lain di seluruh dunia adalah orang. Mall ini hampir kosong dari hiruk pikuk orang. Hampir tidak ada orang yang berbelanja. Gerai-gerai yang diperuntukkan bagi para penjual juga kosong. Ini lebih menyerupai mall untuk para hantu, di mana penjual dan pembeli adalah hantu yang tak nampak oleh mata manusia.
Mall hantu ini terletak di Dongguan, provinsi Guangdong, China, juga sebuah kota hantu. Mall, hotel, apartemen, perumahan, taman, jalan besar, dan bangunan-bangunan super megah didirikan. Namun, jumlah burung merpati yang berterbangan di jalan mungkin lebih banyak dari penduduk kota.
Kota-kota lain seperti Zheng Zhou di provinsi Zhengdong dan Ordos di provinsi Canbashi juga memiliki cerita serupa. Dibangun dengan begitu megah, namun sepi penghuni. Tidak hanya di dalam negeri, pemerintah Cina juga mencoba membangun kota hantu di luar negeri seperti Angola.
Tentu tidak semua kota yang dibangun berakhir menjadi kota hantu. Ada banyak kota yang tumbuh secara mengesankan dan menjadi kota-kota terbesar di dunia. Salah satunya adalah Chongqing. Kota dengan penduduk 30 juta jiwa itu muncul sebagai salah satu kota terbesar di Cina. Ia dibangun dalam waktu yang super cepat, sekitar 20 tahun.
Kota yang pernah menjadi medan pertempuran pasukan komunis Cina pimpinan Mao Zedong ini terbentang di pinggir sungai Yangtze yang terbentuk seperti sebuah semenanjung. Gemerlap di malam hari, memukau di siang hari. Jika selama ini banyak orang hanya mengenal Beijing dan Shanghai, kini mereka punya pilihan lain: Chongqing.
Melalui proyek pembangunan fisik yang sangat masif, rezim komunis Cina dua puluh tahun terakhir membuktikan diri sebagai rezim infrastruktur. Bangunan-bangunan tumbuh dari dalam tanah seperti jamur di musim hujan.
Jalan-jalan terbentang luas dan panjang. Rel-rel kereta api tidak hanya menghubungkan kota-kota di dalam negeri, tapi juga mencoba menjangkau daratan Eropa. Ia seperti hendak menghidupkan kembali Jalan Sutra (The Silk Road) dalam bentuk yang paling modern. Cina mencoba menjangkau dunia tidak hanya dalam dunia cyber, tapi juga jalan darat, laut, udara, bahkan ruang angkasa.
Cina membangun kota sebagai magnet. Itulah mungkin yang menjelaskan kenapa pemerintah Cina mau menghamburkan uang untuk membangun kota-kota hantu tanpa penghuni manusia. Mereka percaya bahwa dengan menyediakan fasilitas jalan yang lebar, hunian, pelabuhan, bandar udara, taman-taman, mall-mall, dan bangunan-bangunan teater, orang-orang akan datang.
Apakah ini berhasil? Ada yang berhasil, tapi tidak sedikit yang gagal (mungkin belum) berhasil. Ada sekitar 64 juta apartemen di seluruh Cina yang tak berpenghuni.
Apakah apartemen-apartemen itu akan berjumpa dengan penghuninya? Tidak bisa dipastikan. Yang nyata di depan mata adalah bahwa dua puluh tahun dari sekarang, Cina akan mulai masuk ke era orang tua. 
Dengan kebijakan satu anak, dua puluh tahun ke depan akan ada 300 juta penduduk Cina yang masuk ke usia senja dan pensiun (Beckley, 2011/2012, p. 61). Kemungkinan besar mereka tidak terlalu tertarik untuk mendiami apartemen-apartemen itu, tidak juga untuk menghidupkan mall-mall raksasa yang sekarang kosong.
Memang betul bahwa Cina diprediksi akan menjadi kekuatan dominan dalam ekonomi di masa yang tidak terlalu lama lagi. Goldman Sachs, misalnya, memprediksi bahwa kekuatan ekonomi Cina akan mengatasi Amerika Serikat pada 2027 (Nye: 2011, h. 4). Prediksi yang lain menyebut tahun 2030 dan 2050
Dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 9 persen per tahun dan diprediksi sekitar 7 persen dalam 20 tahun ke depan, total ekonomi Cina memang sangat mungkin melampaui Amerika Serikat.  Namun begitu, sejumlah ekonom prediksi 7 persen pertumbuhan ekonomi Cina per tahun itu terlalu tinggi. Yang sebetulnya akan terjadi adalah ekonomi Cina hanya akan tumbuh 2 sampai 5 persen pada dekade mendatang (Beckley, 2011/2012, p. 60).
Namun, di bawah rezim satu partai semi diktator, apakah Cina bisa diharapkan menjadi model pembangunan ekonomi di masa depan?
Kembali ke kota-kota hantu, terlalu sulit membayangkan bahwa penduduk dunia akan mau hijrah mengisi kota-kota itu di tengah politik yang mengekang. Siapa yang mau hidup di kota sebesar itu tanpa kebebasan mengakses facebook?
Akumulasi kekuatan ekonomi Cina mungkin sangat besar karena didukung jumlah penduduk yang juga besar. Tapi, dilihat dari pendapatan per kapita per tahun, Cina masih terlalu jauh tertinggal dari negara-negara maju seperti Amerika Serikat.
Bahwa pembangunan fisik infrastruktur bisa dilakukan dalam sekejap, betul. Ia tidak membutuhkan debat-debat publik di parlemen dan media seperti di negara-negara demokratis. Tapi, kebijakan satu arah itu belum tentu menjawab persoalan real masyarakat. Kota-kota hantu adalah salah satu contohnya.
Hilangnya kreativitas di bawah rezim diktator membuat negara ini sangat kurang dalam hal inovasi. Dibanding dengan Amerika Serikat, Cina tertinggal jauh dalam penemuan-penemuan baru di bidang teknologi dan ilmu pengetahuan.
Tahun 2007, misalnya, ilmuan-ilmuan Amerika mendaftarkan lebih dari 80,000 hak paten atas penemuan mereka (Nye, 2010, p. 6). Tidak ada kabar tentang penemuan dan pendaftaran hak paten serupa dari Cina.
Salah satu yang mendukung penemuan-penemuan itu adalah adanya lembaga-lembaga pendidikan yang bermutu. Times Higher Education yang berbasis di London tahun 2010 mengemukakan bahwa 6 dari 10 universitas terbaik di dunia ada di Amerika, tak satu pun universitas Cina yang masuk.
Sebuah penelitian dari universitas Cina, Shanghai Jio Tong University, menyebut bahwa 17 dari 20 universitas terbaik dunia ada di Amerika Serikat, lagi-lagi tak satu pun universitas Cina yang masuk dalam daftar (Nye, p. 7). Tidak hanya itu, di banding dengan negara-negara maju lain seperti AS, Jepang, dan Jerman, Cina masih jauh tertinggal dalam hal penggelontoran dana untuk research and development, hal mana sangat dibutuhkan oleh sebuah negara modern dan maju.
Tentu orang bisa berdalih bahwa Cina tidak terlalu membutuhkan universitas-universitas dan lembaga-lembaga penelitian terbaik. Mereka bisa mengirimkan putra-putri mereka ke universitas-universitas top dunia itu untuk meraup ilmu dan mengakses penemuan teknologi paling mutakhir.
Ya, mereka memang melakukan itu. Fakultas-fakultas sains dan ekonomi di Amerika, Eropa, dan Australia memang dipenuhi oleh mahasiswa-mahasiswa cerdas bermata sipit asal Cina.
Persoalannya adalah apakah mahasiswa-mahasiswa Cina itu kembali ke negaranya seusai mengenyam pendidikan dan merasakan kehidupan demoratis di luar negeri?
90 persen mahasiswa Ph.D. bidang sains asal Cina di Amerika Serikat memilih untuk mengisi jabatan-jabatan penting di perusahaan-perusahaan milik Amerika daripada pulang ke Cina (Beckley, p. 66). Mereka adalah orang-orang terbaik Cina yang bekerja untuk perusahaan-perusahaan Amerika dan negara-negara maju lain tempat mereka menimba ilmu. Kediktatoran politik membuat Cina kurang memiliki magnet untuk didiami, bahkan oleh warganya sendiri.
Oh, orang-orang Cina tidak perlu menjadi pelopor dalam inovasi dan penemuan ilmiah. Apa pun yang ditemukan oleh ilmuan Amerika, Jepang, dan Jerman dengan mudah mereka tiru. Lalu mereka akan memproduksi tiruan itu dalam jumlah yang masif dan memberinya cap sendiri.
Upaya bertahun-tahun lembaga-lembaga penelitian bisa diduplikasi hanya dalam hitungan minggu atau bulan. Di bawah rezim diktator dan media yang terkekang, siapa peduli dengan barang bajakan.
Pertumbuhan industri Cina, terutama manufaktur, memang mengesankan. Mungkin akan sangat sulit menemukan pasar di seluruh dunia sekarang ini yang tidak terjangkau barang-barang dengan cap made in China. Bahkan, jemaah haji yang datang dari Mekkah dengan bangga membawa oleh-oleh cangkir, arloji, sajadah, tasbih, cerek, dan lain-lain dengan cap made in China.
Tunggu dulu, sebuah penelitian menunjukkan bahwa kendati barang-barang Cina membanjiri pasar internasional, ternyata perusahaan-perusahaan yang memproduksi barang-barang itu tidak semuanya milik Cina sendiri. 90 persen di antaranya adalah milik asing. Bahkan, lebih jauh, sebagian besar bahan-bahan baku produksi Cina bukan berasal dari Cina sendiri (Beckley, p. 68).
Sementara itu, sikap agresif militer Cina di kawasan Asia menyebabkan negara ini dikepung oleh negara-negara demokratis yang potensial menjadi musuh. Mereka adalah Jepang, Korea Selatan, Taiwan, India, mungkin juga Indonesia dan Australia di masa depan.
Yang menarik, negara-negara itu adalah aliansi-aliansi terdekat Amerika Serikat di kawasan Asia. Semua ini memperlemah posisi Cina dalam bidang militer.
Lalu, apakah Cina patut dijadikan model pembangunan masyarakat dunia? Saya kira tidak.
Referensi:
Beckley, M. 2011/2012, ‘China’s century? Why America’s edge will endure’, International Security, Vol. 36, No. 3, pp. 41-78.
Nye, J. 2010, ‘The future of American power: dominance and decline in perspective’, Foreign Affairs, Vol. 89, No. 6, pp. 2-12.
Subramanian, A. 2011, ‘The inevitable superpower: why China’s dominance is a sure thing’, Foreign Affairs, Vol. 90, No. 5, pp. 66-78.
Youtube, 2013, ‘China’s empty cities’, Youtube.com, watched 11 March 2014, .
Youtube, 2013, ‘China’s largest ghost city’, Youtube.com, watched 11 March 2014, < http://www.youtube.com/watch?v=Nc6tO9w8Nmw>  .
Youtube, 2013, ‘Ghost mall in China, the largest mall in the world’, Youtube.com, watched 11 March 2014, < http://www.youtube.com/watch?v=g9yfZBZdQaM>.

No comments:

Post a Comment