Wednesday, November 7, 2018

NILAI TUKAR TAHU GORENG

NILAI TUKAR TAHU GORENG
"Dolar naik terus, mas," ujar Abu Kumkum. Dia menyomot sebuah tahu goreng isi toge. Ini tahu ketiga yang dimakannya. Kumkum membayar Rp5000. Harga tahu sama seperti delapan bulan lalu, sebelum dolar naik seperti sekarang. Goceng dapat tiga potong.
Saya cuma manggut-manggut. 
Abu Kumkum menegaskan lagi, seolah saya gak mendengar omongannya. "Dolar sudah Rp14.850 lho mas."
Saya diam saja, Barusan saya beli rokok, harganya juga sama seperti beberapa beberapa bulan lalu. Gak banyak berubah. 
Tadi pagi, kata Kumkum, dia membeli beras, ikan dan sayuran di pasar. Harganya juga tidak berubah jauh. Ada yang naik, ada yang turun. Tapi gak gila-gilaan juga naik-turunnya. Harga telur memang pernah naik sedikit, tapi sekarang sudah normal lagi.
Jadi dolar naik, emang kenapa, Kum?
Coba lihat di pasar. Semua bahan makanan tersedia. Kamu mau membeli apa semuanya ada. Harganya juga masih biasa-biasa saja. Gak banyak berubah. 
"Lalu kalau dolar naik, siapa yang repot? Kenapa orang-orang pada teriak soal dolar?"
Begini, kang. Yang terkena dampak kenaikan dolar itu adalah barang-barang impor. Atau barang-barang yang proses produksinya menggunakan bahan baku impor. Kalau barang itu diproduksi sendiri oleh kita, kenaikan dolar gak banyak pengaruhnya.
Siapa yang pertama kena imbas kenaikan dolar, yaitu mereka yang terbiasa menggunakan barang impor untuk konsumsinya. Harga makanan kemasan yang berasal dari impor juga naik. Tapi itu hanya dirasakan oleh kalangan menengah. Kelas kayak kita yang makan bubur ayam gerobakan, mah, cuma kena isunya doang. Dampaknya belum terasa sekarang.
Ok, dolar naik. Tapi coba lihat angka inflasi sekarang. Menurut data BPS inflasi kita rata-rata gak sampai 4%. Artinya untuk barang yang dikonsumsi publik kenaikkannya gak besar-besar amat. Kenapa inflasi bisa terjaga? Karena pemerintah serius memikirkan kemampuan daya beli rakyat.
Untuk kita, Kum, yang paling penting adalah angka inflasi terjaga. Harga-harga barang terjangkau. Bisa dibeli dengan mudah. Barangnya tersedia banyak di pasaran. Itu yang penting. "Ngapain kamu mikirin dolar yang naik, wong kamu masih bisa makan tahu seharga goceng tiga potong," kataku.
"Tapi kalau dolar naik, kan bahaya buat ekonomi kita?"
Iya, kalau naikknya gila-gilaan memang bahaya. Turun gila-gilaan juga bahaya. 
Tapi begini. Dulu ekonomi AS krisis. Pemerintahnya memproduksi dolar banyak untuk menggerakkan roda ekonomi. Bunga bank rendah agar pengusaha bisa meminjam. Sebagian uang dengan bunga rendah itu dilarikan untuk investasi di luar AS yang keuntungannya lebih tinggi.
Lalu Trump menang. Dia mengambil kebijakan berbeda yaitu dengan menarik kembali uang yang ada di luar agar masuk kandang. Trump menaikkan pajak barang impor. Dia menghambat barang dari luar untuk masuk dengan bebas. Di sisi lain, The Fed menaikkan suku bunga.
Akibatnya orang lebih untung menempatkan dolarnya di AS dibanding dengan di luar negeri. Dana yang tadinya berada di berbagai negara, lalu terbang kembali ke haribaan AS. Akibatnya terjadi kekosongan dolar di berbagai negara.
Nah, negara-negara itu atau rakyatnya kan juga harus melakukan transaksi dengan dolar. Karena harus impor barang atau bayar utang kepada investor asing. Kita butuh dolar, sementara dolar lagi balik kandang ke AS. Akibatnya dolar yang ada di pasaran harganya jadi naik.
Bukan hanya rupiah yang tertekan. Lira Turki juga ngos-ngosan. Ringgit Malaysia juga deg-degan. Peso Argentina juga ampun-ampunan. Bath Thailand juga kena imbas. Pokoknya seluruh dunia kena imbas dari kebijakan Trump yang ajaib ini.
Seluruh dunia kena imbasnya. Termasuk Indonesia. Tapi ada negara yang imbasnya pada angka inflasi yang melonjak sehingga barang-barang mahal. Ada juga yang berusaha menjaga dampak fluktuasi dolar dengan mempertahankan angka inflasi yang rendah. Nah, Indonesia mengambil kebijakan tersebut.
Orang-orang ada yang teriak dolar naik. Dolar naik. Tapi dia masih bisa beli beras Rp9.500 seliter. Bisa membeli rokok dengan harga biasa. Bisa membeli pakaian dengan harga yang gak banyak berubah. Tapi dia sok-sokkan menyerang pemerintah dengan belagak pusing mikirin harga dolar. Wong, isi data saja belinya paket gocengan.
Jalan yang paling realistis untuk mengantisipasi adalah dengan menganjurkan kepada orang-orang kaya pemilik dolar untuk melepas dolarnya ke pasar. Para politisi dan pejabat yang memegang dolar, jangan cuma kritik dan nyonyor harga dolar naik, tapi tukarkan dolar miliknya menjadi rupiah.
Coba tanya Sandiaga Uno, yang sekarang lagi nyinyir. berapa banyak dolar yang sudah dilepas ke pasar untuk membantu memperbaiki rupiah? Tanya Fadli Zon, berapa sudah simpanan dolarnya ditukarkan. Tanya hal yang sama pada SBY atau Prabowo. atau kepada siapa saja orang-orang superkaya yang sekarang nyinyirin pemerintah. Apakah mereka benar mau membantu rupiah agar nilainya kembali normal dengan melepas dolarnya, atau jangan-jangan malah mengambil keuntungan dari fluktuasi nilai tukar.
Bagi rakyat kebanyakan, yang menjadi soal bukan dolar mahal atau murah. Toh, transaksi kita tetap menggunakan rupiah. Dan masuk ke restoran mahal setahun sekali. Yang paling penitng bagi kita, apakah harga barang di pasar mahal apa gak. Barangnya tersedia apa gak. 
Kalau dilihat dari data inflasi sih, kenaikan rata-rata barang nilainya rendah. Masuk ke warung, minimarket atau supermarket juga mau cari barang apa saja masih banyak.
"Tahu goreng nilai tukarnya masih sama," ujar Abu Kumkum. 
"iya benar."
"Harga rokok tetap."
"Nah..."
"Honor penulis juga belum ada kenaikan, ya mas."
"Rese lu!"
Eko Kuntadhi

No comments:

Post a Comment