Thursday, February 19, 2015

10 KESALAHAN UMUM YANG DILAKUKAN ORANG TUA DALAM PARENTING

10 KESALAHAN UMUM YANG DILAKUKAN ORANG TUA (TERMASUK SAYA) DALAM MEMBESARKAN ANAK

Ketika saya menjadi seorang ibu, saya mendapat banyak saran tentang bagaimana mencintai anakku. Tapi baru beberapa tahun lalu seseorang menunjukkan bahwa mencintai anak sesungguhnya adalah menginginkan hal-hal terbaik bagi mereka untuk jangka panjang.
Ketika empat anak perempuan saya masih muda, kepentingan jangka panjang sama sekali tidak terpikir olehku. Waktu itu yang penting adalah mengenai bagaimana anak-anakku bisa tumbuh dan berkembang, memenuhi kebutuhan hidup mereka secara mandiri dan menjaga agar kami tetap dapat bertahan hidup.
Sekarang, saat anak-anakku beranjak dewasa, pemikiran lama itu mengalami perubahan. Saya tidak lagi terpaku pada janji untuk sekedar merawat dan menjaga anak, melainkan sebagai seorang anggota keluarga yang telah mengetahui cara bagaimana melakukan parenting yang benar. Yang menggembirakan dari perubahan ini adalah bahwa anak-anak saya kemudian ingin menghabiskan waktu mereka dengan saya. Kita melakukan percakapan yang nyata tentang kepribadian mereka masing-masing yang ternyata begitu indah. Dengan semua anak tidur nyenyak sepanjang malam, sayapun dapat tidur lebih baik. Saya dapat berpikir lebih jernih, logis dan terarah tentang bagaimana aku akan membesarkan mereka.
Sekarang saya lebih berpikir untuk perkembangan jangka panjang. Saya berpikir tentang sosok dewasa seperti apa yang saya harapkan dari mereka, lalu bekerja mundur dengan pertanyaan; “Apa saja yang bisa saya lakukan hari ini untuk mendorong mereka kearah itu?” Menjadi sadar tentang masa depan mereka telah mengubah paradigma parenting saya, karena apa yang membuat anak-anak saya bahagia pada usia 10 atau 15 tahun agak berbeda dari apa yang akan membuat mereka bahagia pada usia 25, 30, 40 tahun dan seterusnya.  
Beberapa waktu yang lalu saya menemukan beberapa artikel dan buku-buku menarik yang isinya menggali apa yang dilihat oleh para psikolog di hari-hari ini, yakni: meningkatnya sekitar 20% jumlah orang dewasa yang mengalami depresi tanpa tahu penyebabnya. Orang-orang dewasa muda ini mengklaim mereka memiliki masa kanak-kanak yang luar biasa. Orangtua mereka adalah teman terbaik mereka. Mereka tidak pernah mengalami musibah atau apapun yang dianggap lebih berat dari kekecewaan yang umum terjadi. Akan tetapi, karena beberapa alasan tertentu, mereka tetap tidak merasa bahagia.
Salah satu alasan yang dikemukakan adalah bahwa ortu sekarang terlalu cepat dalam mencegah sesuatu terjadi. Kita tidak ingin anak-anak kita jatuh, sehingga agar mereka tidak mengalami kesulitan seperti kesakitan atau terluka, kita mengamankan segala sesuatu yang kita anggap ‘berbahaya’. Kita menghilangkan berbagai hambatan untuk membuat hidup mereka mudah. Tapi justru kesulitan merupakan bagian dari kehidupan yang sesungguhnya, dan hanya dengan menghadapinya anak-anak kita dapat membangun keterampilan yang mereka butuhkan untuk menghadapi tantangan yang keras sepanjang hidup mereka. Jadi kalau sepertinya kita sedang berbuat sesuatu untuk membantu mereka, maka kita sebenarnya sedang menghambat tumbuh kembang mereka. Kita sedang mendahulukan kesejahteraan jangka pendek di atas kesejahteraan anak-anak kita untuk jangka panjang

Salah satu artikel yang saya baca menyebutkan adanya sekelompok mahasiswa perguruan tinggi yang ditengarai oleh para dekan sebagai 'cangkir teh yang mudah pecah' karena kerapuhan mereka dalam menghadapi masalah-masalah kecil. Pertanyaannya adalah: “Apakah karena melindungi anak-anak kita dari ketidak-bahagiaan di masa anak-anak, maka kita sedang merampas kebahagiaan masa depan mereka sebagai orang dewasa?”
Seorang psikiater bernama Paul Bohn memberikan tanggapan: “Setiap atau banyak orang tua akan melakukan apapun untuk mencegah anak-anak mereka mengalami ketidak-nyamanan yang bahkan amat ringan, kecemasan, atau kekecewaan, atau apapun yang kurang menyenangkan” Akibatnya, bila pada saat dewasa mereka mengalami frustasi kehidupan yang sebenarnya normal saja, mereka pikir bahwa telah terjadi musibah besar karena sesuatu yang sangat salah.
Mengapa aku berbagi informasi ini? Karena saya berpikir bahwa memang relevan untuk jaman ini. Walau saya merasa senang bahwa ortu masa kini lebih memperhatikan anak-anak mereka dibanding generasi sebelumnya. Tapi keterlibatan kita dalam pengasuhan anak-anak bisa kelewat batas. Apa yang kita anggap sebagai “good parenting” bisa saja mencelakai anak anak-anak kita di kemudian hari. Kecuali bila kita menyadari hal ini, bahwa memang mudah untuk menjadikan mereka sosok yang tidak berdaya kelak dengan membuat hidup mereka terlalu mudah di masa kanak-kanak.
Ada satu filosofi favorit saya dalam mengasuh dan membesarkan anak: “Siapkan anak anda untuk menempuh perjalanan, bukan menyiapkan jalan untuk anak anda”. Sehubungan dengan itu saya sudah menyiapkan 10 kesalahan umum ortu masa kini – termasuk saya – yang sering dibuat dalam mengasuh dan membesarkan anak. Niat saya bukanlah untuk menyalahkan seseorang, tapi untuk sekedar meningkatkan kesadaran para ortu. Apa yang mungkin telah tertanam dalam kebiasaan dan budaya kita belum tentu terbaik bagi kepentingan anak-anak kita.
Kesalahan #10: Memuja anak-anak kita. Banyak dari kita hidup dalam masyarakat yang terpusat pada anak. Kita membesarkan anak-anak kita dalam rumah di mana anak menjadi pusat perhatian kita. Dan tentu saja anak-anak kita menyukai hal ini, karena kehidupan para ortu berputar di sekitar mereka. Dan sebagian besar kita tidak perduli, karena kebahagiaan mereka adalah kebahagiaan kita. Kita tergugah untuk melakukan sesuatu untuk mereka, membeli sesuatu untuk mereka, dan mengasuh mereka dengan cinta dan penuh perhatian.
Namun saya pikir penting untuk diingat bahwa anak-anak kita tercipta untuk dicintai dan bukan untuk dipuja. Jadi bila kita memperlakukan mereka seperti pusat segala sesuatunya, maka kita membentuk seorang idol yang palsu. Daripada membangun rumah yang terpusat pada anak, kita harus berjuang untuk membuat sebuah rumah yang terpusat pada Tuhan. Mereka akan tetap menyukai kita, dan dengan cara yang lebih baik, yaitu cara yang tidak mementingkan diri sendiri dan mengesampingkan keegoisan.
Kesalahan # 9: Meyakini bawah anak-anak kita sempurna. Salah satu hal yang sering saya dengar dari para profesional yang bekerja dengan anak-anak (penasihat, guru, dll) adalah bahwa ortu masa kini tidak ingin mendengar apapun yang negatif tentang anak-anaknya. Ketika kepedulian tentang kekurangan seorang anak disampaikan kepada ortu, bahkan dengan cara yang sopan penuh kasih sayang, maka reaksi spontan dari ortu bernada menyerang justru dialamatkan kepada si pemberi nasihat.
Kebenaran memang dapat melukai dan terasa pedih, tapi bila kita mau mendengarkan dengan hati dan pikiran terbuka kita akan mendapatkan manfaat. Kita akan dapat mencegah sesuatu lebih awal sebelum situasi tak tertangani lagi. Memang akan lebih mudah untuk mengurus anak yang bermasalah dari pada memperbaiki orang dewasa yang gagal.
Seorang psikiater anak dari Alabama mengatakan kepada saya ketika saya mewawancarainya tentang depresi para remaja, bahwa penanganan dini lebih penting, karena itu bisa memperbaiki perjalanan hidup seorang anak. Oleh karenanya ia menyukai bidang psikiatri anak dan remaja – karena anak masih bisa diluruskan dan lebih mudah untuk dilakukan intervensi selagi mereka masih muda dari pada beberapa tahun kemudian, di mana masalahnya sudah lama berlangsung sehingga telah menjadi bagian dari identitas diri mereka.
Kesalahan #8: Menjadikan kehidupan anak sebagai pengganti kehidupan kita. Kita, para orang tua, sangat membanggakan anak-anak kita. Ketika mereka sukses, kita merasa lebih bahagia daripada kalau kita sendiri yang sukses.
Namun, jika kita terlalu terlibat dan mempengaruhi hidup mereka, maka akan semakin sulit untuk mengetahui di mana kita harus memulainya dan kapan harus berhenti. Bila anak-anak menjadi perpanjangan tangan kita, maka kita akan melihat anak sebagai kesempatan kedua. Dan tiba-tiba saja ini bukan menjadi tentang mereka, tetapi tentang kita. Di sinilah terjadi kerancuan antara kebahagiaan mereka dengan kebahagiaan kita.
Kesalahan # 7: Menginginkan anak menjadi sahabat baik kita selamanya. Ketika saya meminta seorang guru agama untuk menyebutkan kesalahan terbesar yang dilihatnya dalam mengasuh dan membesarkan anak, dia berpikir sejenak dan kemudian berkata: “Orangtua tidak lagi menjadi orang tua. Para ortu tidak lagi berpijak pada hal-hal yang membuat anak bisa melakukan hal-hal yang sulit”.
Seperti setiap orang, saya ingin agar anak-anakku mencintaiku. Saya ingin mereka memuji dan menghargai saya. Tapi jika saya menegur kesalahan mereka untuk melakukan sesuatu yang saya anggap benar, mereka bisa marah dan terkadang menjadi tidak menyukai saya. Mereka akan mengusap-usap mata, menangis dan mengerang, dan berharap bahwa mereka terlahir dalam keluarga yang lain.
Berusaha untuk menjadi sahabat baik anak kita selamanya, hanya bisa melahirkan sikap permisif dan membuahkan pilihan yang dibuat dari keputus-asaan karena kita takut kehilangan persetujuan mereka. Pada akhirnya hal itu bukanlah cinta, tetapi kebutuhan.
Kesalahan # 6: Terlibat persaingan dalam parenting. Setiap orangtua memiliki kualitas masing-masing dalam sebuah persaingan antar para ortu. Semua keinginan besar dalam diri ortu merupakan suatu bentuk dukungan lain dari ortu kepada anaknya yang dapat mengorbankan masa depan si anak.
Saya banyak mendengar cerita seperti ini di tingkat SMP dan SMA, cerita tentang pecahnya persahabatan dan pengkhianatan karena satu keluarga memandang rendah keluarga yang lain. Menurut pendapat saya, akar permasalahannya adalah ketakutan. Kita takut bahwa anak-anak kita akan tertinggal di belakang. Kita takut bahwa jika kita tidak terjun dalam persaingan anak kita dan membuang setiap hambatan untuknya maka anak-anak kita tidak bisa unggul. Kita takut bahwa mereka akan terjebak dalam hidup yang biasa-biasa saja di sisa perjalanan hidup mereka.
Saya percaya bahwa anak harus bekerja keras dan mengerti bahwa mimpi tidak akan terwujud begitu saja; mereka harus memeras keringat dan berjuang untuk diri mereka. Tapi ketika kita menanamkan sikap 'harus menang dengan segala cara', maka hal ini akan membuat mereka untuk menyingkirkan setiap halangan untuk menjadikan dirinya terdepan. Dan ini berarti kita kehilangan pandangan tentang membangun karakter.
Karakter mungkin tidak terlihat penting dalam masa remaja, tapi di masa dewasa ini akan berarti segalanya.
Kesalahan # 5: Kehilangan keajaiban masa kanak-kanak. Suatu hari aku menemukan sebuah stiker stroberi cake di dapur dalam tempat cucian piring. Kejadian ini menyadarkan saya betapa bersyukurnya aku untuk bisa berbagi rumah dengan manusia-manusia kecilku.

Suatu hari kelak, tidak akan ada lagi stiker stroberi cake dalam bak cucian piring. Takkan ada lagi boneka Barbies dalam bathtub saya, atau boneka bayi di tempat tidurku atau Cerita Frozen dalam DVD-playerku. Jendela kamar saya akan terbebas dari noda tangan-tagan kecil yang lengket, dan rumah saya akan tenang karena putri saya akan hanging-out dengan teman-teman sebayanya, tidak lagi nongkrong di rumah dengan saya.
Membesarkan anak kecil dapat merupakan kerja keras dan monoton. Ada saat-saat tugas ini terasa begitu melelahkan secara fisik dan mental sehingga kita berharap mereka lebih tua supaya hidup kita terasa lebih mudah. Kita juga agak penasaran, tumbuh seperti apa mereka jadinya kelak. Apa yang akan menjadi impian mereka? Akankah karunia Allah yang mereka miliki cukup jelas bagi mereka? Sebagai ortu tentu kita harapkan seperti itu, dengan mengetahui kekuatan mana yang harus dikembangkan memungkinkan kita untuk mengarahkan mereka ke jalan yang benar.
Namun saat kita memproyeksikan mereka ke masa depan – sambil bertanya-tanya apakah anak kita yang terampil dalam seni harus dijadikan seorang Picasso, atau jika ia bersuara merdu perlukah kita menjadikannya seorang diva – kita mungkin lupa untuk menyadari kenyataan yang sedang ada di depan mata kita, yaitu: seorang balita dalam pakaian tidur, cerita pengantar tidur, menggelitik perut dan tawa gembira si kecil. Kita mungkin lupa untuk membiarkan anak-anak kita menjadi anak kecil dan menikmati satu masa kanak-kanak yang tengah diberikan kepada mereka.
Tekanan terhadap anak-anak dimulai terlalu dini. Jika kita benar-benar menginginkan anak-anak kita untuk mandiri, kita harus melindungi mereka dari tekanan ini. Kita perlu membiarkan mereka bersenang-senang dan tumbuh kembang dengan kecepatannya sendiri, sehingga 1) mereka dapat menggali keingin-tahuan mereka tanpa rasa takut dari kegagalan dan 2) mereka tidak mengalami lelah mental dan fisik karena stress dan aktifitas yang berlebihan.
Masa kanak-kanak adalah masa untuk bebas bermain dan penuh penemuan. Bila kita memaksa anak-anak untuk terburu-buru melaluinya, maka kita telah merampok masa-masa yang tak berdosa dari usia mereka yang tak akan pernah mereka lewati lagi.
Kesalahan # 4: Membesarkan anak yang kita inginkan, bukan anak yang kita miliki. Sebagai orang tua kita memiliki mimpi untuk anak-anak kita. Ini sudah muncul ketika kita hamil, bahkan sebelum jenis kelamin diketahui. Secara diam-diam kita berharap mereka akan seperti kita, hanya lebih cerdas dan lebih berbakat. Kita ingin kita menjadi pembimbing mereka, memanfaatkan pengalaman hidup kita sebaik-baiknya.
Tapi ironi dalam parenting adalah bahwa anak-anak berubah menjadi cetakan orangtua secara terbalik-balik. Mereka tumbuh dengan cara yang tidak pernah kita antisipasi. Tugas kita adalah untuk mencari tahu apa inherent mereka sebagai ciptaan Tuhan dan melatih mereka ke arah itu. Memaksa impian kita pada mereka menang takkan berhasil. Hanya ketika kita melihat siapa mereka kita bisa memberikan dampak yang kuat pada kehidupan mereka.
Kesalahan # 3: Lupa bahwa tindakan kita berpengaruh lebih besar dari kata-kata. Kadang-kadang saat anak-anak saya bertanya, mereka akan berkata;”Aku mohon, jawablah dengan satu kalimat”. Mereka mengenal saya dengan baik, sebab aku selalu berusaha untuk memaksakan pelajaran hidup pada kesempatan bertanya mereka. Saya ingin mengisinya dengan pelajaran kebijaksanaan, tapi apa yang saya lupakan adalah bahwa contoh yang saya berikan tidak sesuai dengan perkataanku.
Mereka melihat bagaimana saya menangani penolakan dan kesulitan ... bagaimana saya memperlakukan teman dan orang asing ... apakah saya mengecilkan atau membangun dukungan bagi ayah mereka ... ya mereka menyaksikan hal-hal ini. Dan cara saya menanggapi semua itu sepertinya memberikan izin kepada mereka untuk bertindak sama.
Jika saya ingin anak-anakku menjadi luar biasa, aku butuh satu tujuan yang luar biasa pula. Aku harus menjadi orang seperti anak-anak harapan saya kelak.
Kesalahan # 2: Menilai orang tua lain dan anak-anaknya. Tanpa peduli seberapa jauh ketidak-setujuan kita dengan gaya parenting seseorang, maka bukanlah pada tempatnya kita untuk menilainya. Tak seorang pun di dunia ini yang 'semuanya baik' atau 'semuanya buruk', kita semua merupakan paduan dari kedua ekstrim itu.
Secara pribadi, saya cenderung untuk lebih mudah tidak memperdulikan orang tua lain ketika mengalami masa-masa sulit. Ketika anak saya sedang menguji kesabaran saya, saya merasa kasihan pada orangtua yang senasib dengan saya. Ketika hidup saya sedang luar biasa, saya bisa mudah memaafkan ortu lain yang melakukan kesalahan dan membiarkan hal-hal yang salah terjadi.
Kita tidak pernah tahu apa yang sedang dialami oleh seseorang atau kapan waktunya kita perlu mengasihani diri kita sendiri. Dan karena kita tidak bisa mengkontrol pikiran kita untuk tidak men-judge orang lain, maka kita bisa mengatasinya dengan mencari jalan bagaimana memahami seseorang dan bukan langsung melompat pada kesimpulan.
Kesalahan # 1: Memandang enteng KARAKTER. Jika ada satu hal yang saya harapkan harus benar dalam diri anak-anak saya, adalah inti sanubari mereka, yakni karakter, moralitas dan tuntunan hati, yang menjadi dasar untuk bisa hidup bahagia dan sehat di masa depan. Inti sanubari mereka ini jauh lebih penting dari catatan rapor atau piala penghargaan yang mereka terima.
Tak satu pun dari kita dapat memaksakan karakter pada anak-anak kita, dan pada usia 10 atau 15 karakter belumlah banyak berarti. Anak-anak perduli pada kepuasan jangka pendek, tapi kita sebagai orang tua tahu apa yang lebih penting. Kita tahu bahwa apa yang menjadi penting pada usai 25, 30 dan 40 adalah bukan seberapa jauh mereka bisa melemparkan bola, atau menjadi cheerleader, tetapi bagaimana mereka memperlakukan orang lain dan apa yang mereka pikirkan tentang diri mereka sendiri. Jika kita ingin mereka membangun karakter, percaya diri, kekuatan dan ketahanan, maka kita perlu membiarkan mereka menghadapi kesulitan dan mengalami perasaan bangga ketika mereka berhasil menjadi lebih kuat setelah melalui berbagai tantangan.
Memang sulit untuk melihat anak-anak kita gagal, namun terkadang kita harus menerima kegagalan anak-anak kita. Kadang-kadang kita harus bertanya pada diri kita sendiri apakah campur tangan kita adalah hal terbaik bagi kepentingan mereka. Ada banyak cara untuk mencintai anak, tetapi dalam pencarian kita untuk membuat mereka bahagia, mari kita tetap sadar bahwa kadang-kadang diperlukan rasa sakit jangka pendek untuk memperoleh keuntungan. jangka panjang
Tulisan aslinya dalam bahas Inggris ada di  karikampakis.com, halaman blog:
http://www.karikampakis.com/2013/11/10-common-mistakes-parents-today-make-me-included/ 

1 comment:

  1. terimakasih artikelnya sangat bagus dan inspiratif buat mendidik anak-anak. saya sangat ingin menerapkan pendidikan kepada anak-anak agar bisa menghargai hak-hak orang lain seperti mengantri, karena dengan mengantri berarti kita menghargai orang lain yang datang terlebih dahulu. ingin tahu cara pencegahan ketidakabnormalan dalam disiplin mengantri? silahkan Koleksi Tiang Antrian Murah

    ReplyDelete