Friday, October 9, 2020

YOGYA BERHATI MANTAN

Khusus buat teman-teman yang pernah tinggal di Yogya atau yang hatinya pernah tertinggal di Yogya.

(Mangayubagyo HUT Jogja ke 264)

Sulit bagi saya untuk tidak menyertakan Yogyakarta sebagai sebuah peristiwa pendewasaan. 

Saya cinta kota ini, karena pada beberapa derajat, ia jauh lebih mendewasakan, lebih mencerdaskan dan membuat saya  lebih 'matang' dari yang saya peroleh dari keluarga dan sekolah.

Di Jogja saya menemukan terlalu banyak alasan untuk menjadi sebenar-benarnya manusia. Tentang bagaimana kota ini menjadikan keinginan 'membaca'  pada titik paling tinggi, juga tentang bagaimana di kota ini saya menemukan manusia2 getir yang begitu optimis menjalani hidup. 

Lebih dari itu, kota ini adalah tempat dimana setiap kenangan bermuara dan berujung haru. Banyak hal sentimentil yang bisa kita gali dari Jogja.

Tapi yang membuat Jogja jadi istimewa, selain GUDEG, BAKMI GODOK/GORENG, kebersahajaan, keramahan, adalah karena : 'Jogja berhati mantan', selalu ada kenangan yang susah dilupakan.

Ada banyak alasan mengapa mereka yang pernah dan atau tinggal di Jogja susah beralih atau melupakan kota ini. Jogja terlalu banyak memiliki sudut melankolis yang menjadi kediaman kisah.  

Tanyakan teman, rekan, handai tolan yang pernah punya hubungan kehidupan di Jogja. Mereka pasti akan berkata bahwa tiap sudut kota meninggalkan residu perasaan yang indah, haru dan segenap rasa lainnya.

Pernahkah kalian merasakan bersepeda menelusuri jalan yang sempit dan berliku di sekitar Ngasem, menikmati nikmatnya makan di emperan yang selalu tersedia sampai tengah malam bahkan smp subuh, merasakan keterpaksaan untuk 'menyekolahkan harta milik' di saat 'kiriman' belum tiba, atau bertamu ke kost2-an, nangkring cukup dengan segelas teh hangat dan sedikit camilan bisa guyon sampai tengah malam. Banyak kenangan lain tersedia dan tertinggal di Jogja.

Jogja terlalu sempit untuk hanya dimaknai sebagai sebuah kota. Ia adalah peristiwa, dimana masing-masing yang datang ke kota ini pasti mengalami dan memiliki nostalgi & sensasi yang individual.

Di kota ini pula kita belajar bahwa uang bukan segalanya, mungkin ia bisa memberimu banyak hal. 

Tapi di kota ini, kebersamaan dan keberadaan teman yang selo, kurang pegawean dan punya energi iseng yang melimpah-ruah adalah alasan untuk tetap hidup. Di kota ini kalian akan menemukan keriangan-keriangan dungu, tolol, namun ngangeni. Tentang obrolan di angkringan, wedangan, warung kopi hingga perihal cerita lucu dan lelucon yang diulang-ulang namun tak pernah kehilangan kelucuannya.

Di Jogja kalian akan merasakan bahwa menjadi bodoh dan tak tahu apa-apa bukanlah pilihan. Di kota ini terlalu banyak sumber pengetahuan yang membuat orang paling bodoh, setidaknya bisa memahami hidup dengan membaca, berdiskusi atau sekadar kursus singkat. 

Terlampau banyak perpustakaan, toko buku murah, kantung2 kebudayaan, partner berbantah, yang membuat kita cerdas. Terlalu sedikit alasan untuk tidak mendatangi mereka dan menjadi pintar karenanya.

Di kota ini makanan murah enak dan nikmat bukan keajaiban. Itu sebuah keniscayaan, dan semuanya itu yang menyelamatkan mahasiswa-mahasiswi di saat 'tanggal tua'. Mereka selalu ada dan tetap alami.

Jogja adalah kesadaran, ia menjadi penting bagi banyak orang, karena membuat tiap-tiap yang datang merasa nyaman, merasa punya kenangan, merasa memiliki 'mantan' yang merupakan bagian dr kehidupan.

Jogja terlalu besar untuk dilupakan... 

Jogja benar-benar berhati mantan.

Sugeng tanggap warso Ngajogjakarto Hadininingrat...

No comments:

Post a Comment