Friday, January 15, 2016

KISAH TRAGIS DOKTER NANDA

Dr. Nanda  (Afrianda Novan Firsty)
Ibunda dokter Nanda Ungkap Penyebab Kematian Dr. Nanda
Dokter Cut Diah, ibunda dokter Afrianda Novan Firsty atau biasa disapa Nanda atau Novan, yang meninggal saat menjadi dokter internship di Dobo, Ibu Kota Kabupaten Kepulauan Aru, membantah anaknya mengidap penyakit gula (diabetes melitus).
“Saya ingin mengklarifikasi kebenaran cerita meninggalnya anak saya, dokter Nanda. Yang diberitakan semua tidak benar. Anak saya tidak pernah punya riwayat sakit gula. Tidak pernah sama sekali. Keluarga kami juga tidak ada keturunan mengidap diabetes,” kata Cut Diah kepada Edisi Medan.Com di rumah duka, Jalan Bilal No 1, Medan, Sumatera Utara, Minggu siang (20/12/2015).
Dengan air mata berlinang, Cut Diah yang bertugas sebagai Direktur RS PTPN I di Langsa, Aceh mengaku terpukul dengan berita-berita yang menyebutkan dokter Nanda putra kesayangannya itu meninggal karena sakit gula.
Apalagi, dia tidak sempat bisa ikut mengantarkan anak lelaki satu-satunya itu ke pemakaman karena pesawat yang dipesan Kementerian Kesehatan RI, baru tiba di Medan, Rabu (18/12/2015) malam.
Sebelumnya, Kepala Bidang Media Massa dan Opini Publik Kementerian Kesehatan, Busroni, membenarkan dokter Nanda meninggal karena penyakit gula.  “(meninggalnya) sakit, penyakit gula,” ujarnya seperti dilansir media-media nasional.
Berdasarkan pengalamannya sebagai dokter selama hampir 20 tahun, Cut Diyah yakin gejala penyakit yang merenggut nyawa putra pertamanya itu adalah malaria.
Namun karena buruknya penanganan medis di RSUD Cenderawasih, Dobo dan evakuasi yang terlambat serta kesalahan diagnosa penyakit, menyebabkan kondisi anaknya kian memburuk.
Bahkan saat di ICU di RSUD dr M Haulussy Ambon, dokter Nanda didiagnosa penyakit gagal ginjal dan sempat dimintai cuci darah.
“Ilmu medis manapun, penderita diabetes atau gagal ginjal tidak pernah suhu badannya meninggi. Sedangkan putra saya, panasnya sampai 40 derajat. Selama dua hari dirawat ICU, saya terus cek suhu tubuhnya, selalu di atas 40 derajat,” tegas dokter yang lima tahun lagi memasuki masa pensiun.
Dia mengaku, sempat berdebat dengan tim dokter yang mendiagnosa penyakit putranya gagal ginjal. Apalagi putranya itu masih muda, berusia 24 tahun dan tidak pernah punya riwayat penyakit ginjal sebelumnya.
“Beban stress karena sakit juga bisa menaikkan kadar gula darah. Tapi dokter gak percaya anak saya kena malaria. Alasannya selama dirawat anak saya tidak ada mengeluarkan urin (air seni),” ujarnya.
Menurutnya, tidak adanya air seni bukan karena gagal ginjal, tapi karena putranya dehidrasi akibat beberapa hari sebelumnya tidak bisa makan dan minum. “Wajarlah tidak ada air seni, karena seminggu sebelum meninggal, putra saya mengeluh selalu mual kalau makan dan minum. Saya sudah sampaikan ini, tapi dokter tidak terima,” jelasnya.
Karena keberatannya itu tidak diindahkan, akhirnya Cut Diah pasrah, dan menyerahkan kondisi kesehatan dokter Nanda kepada tim dokter yang terdiri dari lima dokter spesialis untuk menangani putranya.
“Anak saya meninggal dalam penderitaan yang panjang. Tak ada yang tahu kebenaran sakit anak saya. Hanya saya yang tau kebenarannya. Semoga Allah SWT memberikan surga-Nya,” tuturnya.
Cut Diah yakin, jika sejak awal pihak RSUD Cenderawasih, Dobo cepat mengetahui gejala penyakit malaria yang diidap putranya itu, tentu putra kesayangannya itu tidak sampai menderita hingga mengalami koma.  Namun dia menduga, gejala penyakit putranya itu tidak dianggap pihak RS Cendrawasih.
“Mungkin karena masih bisa berjalan, putra saya tetap dipaksa bekerja hingga malam hari. Apalagi, beberapa hari sebelum dirujuk ke RS Ambon, Kepala RSUD Cendrawasih Dobo, Hendrik Hentije Darakay bilang, putra saya tidak apa-apa. Sehat-sehat saja,” kata Ade Yance, bapak dari dokter Nanda.
“Tapi setelah putra saya meninggal, itu si Darakay, tidak pernah lagi menghubungi saya,” tutur Ade geram.
Pihak keluarga mencurigai, pihak Kemenkes dan RS Dobo berusaha menutup-nutupi penyakit anaknya karena tidak ingin dianggap lalai dalam melindungi dokter internship yang menjalankan tugas di daerah terpencil.
Karena itu, demi melindungi para dokter internship, pihak keluarga dokter Nanda menyampaikan kebenaran ini, agar tidak ada lagi dokter internship yang meninggal dalam tugasnya.
“Tolonglah dibantu publikasikan. Jangan lagi ada pasien, terlebih dokter-dokter muda yang sakit dalam tugasnya di ujung Indonesia, jangan dianggap enteng sakitnya. Sehingga terlambat merujuk,” tambah Cut Diah.
Apalagi putri keduanya, Ocyin, juga sedang menjalani program dokter internship di Barabai, Kalimantan Selatan.
Dijelaskan, sepekan sebelum meninggal, Cut Diah dan Ade Yance, sudah merencanakan untuk membawa dr. Nanda dirawat ke rumah sakit yang berada di Medan.  Niat itu muncul karena putranya mengeluh tidak bisa makan dan minum karena sakitnya.
“Kami sudah memesan tiket untuk menjemput dr. Nanda. Dan Senin (14/12) jam 7 pagi, kami sudah sampai di Bandara Pattimura. Bahkan, putra saya hari Sabtu, sudah membeli tiket pesawat pulang pergi, dari Kepuluan Aru menuju Ambon PP. Rencananya, begitu sampai Bandara Pattimura, dia langsung kami terbangkan untuk dirawat di Medan,” tutur Cut Diah.
“Makanya, saya tidak membawa bekal apa-apa. Pakaian pun hanya yang kami kenakan, karena rencananya kami langsung terbang ke Medan,” sambungnya.
Begitu besar keinginan putranya itu untuk segera pulang dan dirawat di Medan, karena dr. Nanda mengaku trauma dengan kejadian yang dialami rekan kerjanya di Dobo, dokter Andra yang juga meninggal dunia setelah dirawat di RS Ambon.
Namun nasib berkata lain. Tuhan lebih memilih alumni FK UISU itu untuk bersama rekan sejawatnya, dokter Andra menuju peristrahatan terakhir mereka.
“Begitu anak saya tiba di bandara Pattimura, kondisinya sudah sangat menyedihkan. Untuk berjalan saja harus dibopong. Untung ada kami, kalau tidak, mungkin tidak ada yang membantunya masuk ke ambulance. Yang membuat saya terpukul, dia sudah tidak mengenali kami, mulai dari Bandara hingga akhirnya meninggal di ruang ICU. Sudah begitu buruknya kondisi anak saya baru dirujuk ke Ambon,” tutur Ade Yance.
“Ajal memang di tangan Tuhan. Tapi kami tidak puas dengan perlakuan pemerintah terhadap dokter internship. Pemerintah juga harus ikut bertanggungjawab,” pungkas Ade Yance yang berencana meminta rekam medis (medical record) selama dokter Nanda dirawat di RSUD dr M Haulussy Ambon dan RSUD Cenderawasih, Dobo.
Terimakasih atas Artikelnya pak Dedy Ardiansyah. Beliau adalah wartawan yang mewawancara keluarganya dr. Nanda. Artikel asli yang lebih lengkap bisa dilihat di http://edisimedan.com/ibunda-dokter-muda-nanda-ungkap-penyebab-kematian-putranya/
Sesuai keinginan orangtua dokter Nanda silahkan dishare ceritanya. Kemenkes harus bertanggung jawab! Hentikan program Outsourcing Dokter Indonesia (Internship) tanpa jaminan kesejahteraan, keamanan, dan kesehatan yang layak.

Cc: Anjari Umarjianto, Usman Sumantri, Slamet Budiarto, Wimpie Pangkahila, Restuti Saragih, Andika Sitepu, Eva Sridiana, Yadi Permana Agung Sapta Adi, Sudigdo Adi, Hasbullah Thabrany, Siti Fadilah Supari, Wahyu Triasmara, Vicka Farah Diba, Iwan Setiawan, Iwan Dakota.

No comments:

Post a Comment