[Presiden dan Pimpinan DPR Terpaku
Dengar Tausiah ini | Nasional | Beritasatu.com]
Presiden dan Pimpinan DPR Terpaku
Dengar Tausiah ini
Selasa, 06 Juni 2017 | 04:21
Jakarta - Acara buka puasa bersama
antara Presiden Joko Widodo dengan para pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Senin (5/6) diisi dengan ceramah oleh Imam Besar Masjid Istiqlal Kyai Haji
Prof. Nasaruddin Umar, yang tampaknya sengaja memilih topik khusus untuk para
hadirin sesuai dengan kondisi yang dihadapi bangsa sekarang.
Nasaruddin mengaku pernah mempelajari
hadits yang dirasanya cocok dengan dinamika bangsa sekarang dan harus
mencari-cari riwayat sahih hadits tersebut agar dia merasa yakin bisa
disampaikan ke para pemimpin dan rakyat Indonesia, dan akhirnya dia temukan juga.
"Kita hanya menghukum apa yang
tampak, jangan menghukum akidahnya orang. Mau aliran sesat atau aliran apapun
juga, asalkan formalnya sudah bersyahadat, jangan dikorek-korek lagi,"
kata Nasaruddin menjelaskan hadits tersebut.
"Hanya Allah yang tahu apa yang
tersembunyi dalam hati orang. Jadi kalau ada orang yang menghakimi akidahnya
orang lain 'kamu itu aliran sesat' misalnya, saya ingin meningatkan kita semua
jangan terlalu gampang mengaliransesatkan orang."
"Dan sebaliknya juga jangan
terlalu gampang mengkafir-kafirkan orang, karena hadits Nabi mengatakan kalau
kita mengkafirkan orang yang tidak kafir -- itu mental (memantul), kita yang
jadi kafir.. Tidak ada keuntungan untuk memvonis seseorang itu kafir atau
sesat," ujar pria kelahiran Bone, Sulawesi Selatan itu.
Masyarakat Plural Kehendak Allah
Presiden dan hadirin yang lain tampak
makin tekun menyimak tausiah kyai tersebut, ketika dia menyebutkan bahwa
masyarakat heterogen yang terdiri atas berbagai suku atau agama seperti
Indonesia adalah suatu keniscayaan yang dikehendaki Allah.
"Dalam masyarakat plural seperti
kita, saya ingin mengingatkan sebuah ayat bahwa nggak mungkin kita akan bisa
menyatukan umat dalam pengertian persatuan yang homogen. Ayatnya dalam surah An
Nahl ayat 93," ujarnya.
“Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu
umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi
petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan sesungguhnya
kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan” [QS An Nahl : 93]
"Jadi mustahil kita bisa
menciptakan masyarakat yang homogen di atas muka bumi ini, yang terjadi adalah
masyarakat heterogen," jelas Nasaruddin, lulusan Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah.
"Heterogenitas itu juga perlu
bingkai, dan itulah sebetulnya Bhinneka Tunggal Ika yang dicerminkan dalam
Quran."
"Quran tidak pernah
mengisyaratkan perlunya ada persatuan dalam pengertian homogenitas di
masyarakat."
"Membaca ayat ini, kalau orang
paham Bahasa Arab, insya Allah dia akan berkesimpulan tidak mutlak kita harus
menciptakan suatu masyarakat yang homogen (satu umat saja)."
"Masyarakat yang heterogen itu
yang penting adalah bagaimana wai‘tashimuu bihabli allaahi jamii’an [QS Ali
Imran: 103], berpegang teguh kepada sebuah tali, common platform, ini yang
paling penting."
"Kita dinamisnya tidak mungkin
bisa menyatukan menjadi satu Indonesia yang utuh dalam pengertian homogennya. Tetaplah menjadi
sukunya masing-masing, tetapi yang paling penting adalah kita berpegang pada
sebuah tali universal yang kita ikuti."
"Inilah yang dimaksud wai‘tashimuu
bihabli allaahi jamii’an. Semuanya kalian harus berpegang teguh
pada hanya satu tali. Kalau kita di sini itulah Pancasila. Ini perintah Quran,
bukan perintah siapa-siapa."
No comments:
Post a Comment