Monday, September 4, 2017

SINDROM BRUGADA

SINDROM BRUGADA (BRUGADA SYNDROME)
Journal of the American College of Cardiology (Vol 41, 2003) memuat sebuah artikel khusus memperingati 10 tahun sindrom Brugada. Sindrom Brugada adalah suatu jenis abnormalitas elektrik jantung bawaan yang secara tragis dapat merenggut nyawa laki-laki usia sekitar 30 saat terlelap tidur.
Seperti halnya sindrom QT panjang, penderita sindrom Brugada sebelumnya sehat-sehat saja bahkan faktor-faktor risiko penyakit jantung koroner mungkin tidak ditemukan dan struktur jantungnya juga normal.
Kelainan ini sebenarnya dapat terdeteksi melalui elektrokardiografi (EKG), yaitu peralatan medis sederhana yang berfungsi merekam irama jantung. Abnomalitas irama jantung sindrom Brugada adalah adanya blok berkas jantung kanan (Right Bunddle Branch Block, RBBB) dengan elevasi segmen ST di sandapan jantung kanan yang kadang tidak kentara.
Sebelumnya, abnormalitas ini kurang begitu dipedulikan para dokter karena orangnya sehat dan bugar hingga Brugada bersaudara dari Barcelona, yaitu Pedro dan Josep Brugada, tahun 1992 mendeteksi adanya keterkaitan abnormalitas EKG tersebut. Mereka menemukan adanya kematian dan serangan aritmia (gangguan listrik jantung) ganas pada delapan pasien dengan struktur jantung yang normal.
Temuan itu menggugah para ahli. Berbagai pengamatan dilakukan hingga mereka sepakat ada suatu entitas klinis baru yang kemudian dinamakan sindrom Brugada tahun 1996 untuk menghargai penemunya.
Defek genetik yang bertanggung jawab terhadap disfungsi elektrik jantung pada sindrom ini pertama kali didentifikasi tahun 1998.
Asia lebih banyak
Tahun ini untuk kedua kali diadakan pertemuan para ahli membahas kemajuan studi terhadap sindrom yang masih menyisakan misteri.
Hal yang belum terjawab adalah mengapa sindrom letal ini lebih banyak terjadi di kawasan Asia Tenggara dan lebih sering menyerang laki-laki dibandingkan dengan perempuan (8:1).
Yang juga masih menjadi pertanyaan adalah walaupun sindrom Brugada mungkin saja terdapat pada berbagai lapisan usia, mengapa serangan kebanyakan terjadi di puncak kehidupan, yaitu pada usia dewasa muda?
Dalam rentang satu dekade, sindrom ini semakin luas dikenal seiring dengan bermunculannya laporan kasus dari berbagai negara di sejumlah jurnal kedokteran. Di Barat angka kejadian sindrom ini diperkirakan 1:10.000, sedangkan di Asia angka kasus ini empat kali lebih banyak.
Di Indonesia, sindrom maut ini dilaporkan pertama kali oleh Dr Muhammad Munawar SpJP tahun 2002, dimuat di Jurnal Kardiologi Indonesia.
Sebenarnya sejak lama para ahli mempertanyakan misteri penyebab kematian mendadak saat tidur (sudden unexplained nocturnal death) yang terjadi terutama pada laki-laki Asia dewasa muda yang sebelumnya sehat-sehat saja.
Literatur medis Filipina melaporkan kejadian yang dikenal sebagai bangungut ini pertama kali tahun 1917. Tiga dekade kemudian tim medis dari Honolulu melaporkan serial 81 kasus kematian orang laki-laki Filipina yang tinggal di Oahu County dengan pola yang serupa.
Misteri kematian ini ternyata juga dikenal di Thailand yang disebut sebagai lai tai, dan di Jepang dikenal dengan nama pokkuri, serta di Laos dengan sebutan noniaital.
Tahun 1983 Baron dan kawan-kawan melaporkan 51 kematian para pengungsi asal Asia yang berusia relatif muda dan sebelumnya tak ada gejala-gejala penyakit apa pun. Hampir semua korban adalah laki-laki (kecuali satu orang wanita) dan keseluruhan kematian terjadi saat mereka tertidur. Usia rata-rata korban adalah 33 tahun.
Akhirnya misteri kematian mendadak saat tidur itu mulai terkuak ketika Brugada bersaudara melaporkan hasil pengamatan mereka di Journal of the American College of Cardiology, 1992.
Sistem Elektrik Jantung
Mekanisme seluler yang mendasari sindrom ini amat kompleks karena berkait dengan elektrofisiologi jantung yang masih banyak menyimpan misteri.
Jantung yang berdenyut rata-rata 100.000 kali per hari untuk memompa sekitar 200 galon darah memiliki sistem elektrik tersendiri mirip dengan sebuah baterai. Sistem konduksi elektrik ini secara khusus menginstruksi jantung untuk berdenyut secara teratur dan terkoordinasi.
Impuls elektrik bermula dari sinoatrial node yang terletak di sisi atas serambi (atrium) kanan jantung. Impuls itu kemudian menyebar ke seluruh serambi yang menyebabkan kedua serambi berkontraksi. Selanjutnya setelah mengalami perlambatan sejenak, yaitu di atrioventricle (AV) node impuls bergerak menuju kedua bilik jantung (ventrikel) melalui serat-serat penghantar khusus yang bercabang ke bilik kanan dan kiri jantung sehingga kedua bilik dapat memompa darah ke seluruh tubuh.
Aktivitas listrik di sel-sel jantung terjadi karena adanya perbedaan potensial listrik. Muatan listrik di dalam sel lebih negatif dibandingkan dengan di luar sel yang disebabkan karena perbedaan komposisi ion-ion di antaranya, yaitu sodium, kalium, kalsium, dan klorida.
Pada membran sel terdapat kanal- kanal protein yang mengatur arus keluar masuk ion-ion tersebut. Setiap ion memiliki kanal yang spesifik dan terbuka pada waktu tertentu. Aktivitas listrik jantung diawali dengan masuknya ion sodium melalui kanal sodium ke dalam sel yang mengubah keseimbangan muatan listrik di dalam sel sehingga memicu kontraksi jantung.
Sindrom Brugada terjadi bila terdapat defek gen yang menyandi kanal sodium, yaitu gen SCN5A pada kromosom 3. Mutasi pada gen yang diturunkan ini menyebabkan pembukaan kanal ion terjadi lebih cepat dan berlangsung lebih lama. Keadaan ini dapat memicu timbulnya suatu aritmia ganas yang disebut fibrilasi ventrikel.
Fibrilasi ventrikel adalah kekacauan aktivitas elektrik di bilik jantung yang merupakan mesin pompa darah utama. Akibatnya otot-otot jantung berdenyut tidak karuan sehingga darah tak dapat terpompa ke seluruh tubuh termasuk otak. Bila situasi ini tak dikoreksi segera dengan alat kejut jantung (defibrilator), maka korban akan cedera otak karena kekurangan oksigen dan akhirnya dapat berakibat kematian. Sering kali fibrilasi ventrikel pada sindrom ini tercetus saat jantung dalam dominasi pengaruh saraf vagal, misalnya saat tidur.
Diagnosis tak sengaja
Sebagai entitas klinis yang relatif baru, riwayat perjalanan penderita sindrom Brugada masih belum diketahui dengan jelas.
Disebutkan bahwa tingkat kerusakan kanal-kanal sodium inilah yang dianggap menentukan perjalanan penyakit. Artinya, mereka dengan persentase tingkat kerusakan kanal-kanal sodium yang lebih berat, umur menjadi lebih pendek.
Sebagian besar penderita sindrom ini tidak memiliki keluhan sehingga terdiagnosis tanpa sengaja, yaitu saat check up atau bahkan berobat karena penyakit lain. Deteksi terjadi setelah perekaman EKG. Sebagian tersaring karena adanya riwayat keluarga mati mendadak atau sering pingsan yang tak jarang dikira epilepsi.
Yang paling sulit terdiagnosis adalah mereka yang tanpa keluhan dan memiliki gambaran EKG dengan pola Brugada yang kurang jelas atau bahkan normal. Penderita sindrom Brugada yang seperti ini dapat terlacak bila ia memiliki riwayat keluarga berusia muda yang mati mendadak dan ia dideteksi dengan stimulasi memakai obat penghambat kanal sodium guna memperjelas abnormalitas EKG.
Hingga kini belum ditemukan terapi untuk sindrom Brugada yang disertai keluhan. Obat-obatan antiaritmia seperti amiodarone dan penghambat beta tidak terbukti sanggup mencegah serangan fibrilasi ventrikel. Satu-satunya alternatif adalah menanamkan alat kejut jantung (implantable cardioverter defibrilator/ICD) untuk untuk memproteksi dari serangan fibrilasi ventrikel yang dapat mematikan itu.
Bagaimana dengan penderita sindrom Brugada yang tidak ada keluhan sama sekali? Haruskah pada mereka ditanam ICD yang berharga lebih dari 20 ribu dollar AS? Pada mereka ini disarankan pemeriksaan elektrofisiologi jantung untuk mengetahui apakah mereka memiliki potensi munculnya aritmia ganas. Bila memang aritmia dapat tercetus, pemasangan ICD diperlukan .
Yang lebih penting lagi adalah tidak menyepelekan riwayat keluarga. Bila memiliki orangtua, anak, atau saudara dengan riwayat pingsan berulang atau bahkan mati mendadak di usia muda, sebaiknya memeriksakan diri untuk mencari potensi nahas itu pada diri sendiri sehingga dapat diantisipasi.

No comments:

Post a Comment