Saturday, December 16, 2017

RESOLUSI 2018 - FOKUS BERPIKIR UNTUK SEHAT

RESOLUSI 2018 - FOKUS BERPIKIR UNTUK SEHAT

Waktunya kini kita semua merenungkan, sekaligus memastikan, dan memutuskan, bahwa ke depan nanti hendaknya kita semua fokus berpikir untuk sehat.
Bukan karena saya dokter kalau berulang kali perlu mengatakan kembali, bahwa tiada yang lebih indah daripada kalau kita dalam kondisi sehat. Uang, harta, kekuasaan menjadi tidak ada artinya kalau kita tidak sehat. Maka selalu kejarlah bagaimana supaya kita sekurangnya tetap sehat.
Bahwa tubuh kita mungkin sudah telanjur menyimpan penyakit keturunan, sudah telanjur ada organ yang tidak beres, beberapa kelemahan, atau kekurangan. Biarlah itu menjadi otobiografi tubuh milik kita hari ini, yang terbentuk akibat ketidaktahuan kita selama ini bagaimana seharusnya membangun tubuh yang sehat. Sekarang sekurangnya kondisi itu tidak bertambah memburuk. Untuk itu perlu fokus berpikir agar bagaimana sehat sebagai satu-satunya pilihan.
Kalau sedang makan, kita tetap berpikir dan tidak mengumbar keinginan belaka. Anak-anak dididik untuk makan dengan kepala, dan bukan dengan hati, untuk itu meja makan rumah kita senantiasa diisi dengan menu yang menyehatkan, bukan menu yang merusak badan. Bahwa sebagian besar masalah kesehatan manusia di dunia bermunculan lantaran yang kita makan ternyata salah.
Apakah kita juga sudah melakukan aktivitas fisik yang memadai sesuai kodrat tubuh untuk selalu bergerak, dan bukan cuma duduk. Sudahkah kita menggerakkan seluruh sendi dan otot seturut kodratnya. Persendian bahu kodratnya berputar, persendian lutut menekuk dan mengedang, persendian ruas tulang leher berputar, persendian ruas tulang belakang membungkuk dan menegak, jemari tangan menggenggam, meremas, dan memegang. Kalau semua persendian diberi kesempatan melakukan pergerakan yang bersesuaian dengan kodratnya, tentu akan tetap terpelihara lentur, dan tidak kaku.
Demikian pula halnya dengan otot-otot yang menyangga persendian. Tidak semua otot tubuh kita yang ribuan jumlahnya itu diajak bergerak, mengetul dan mengedang apabila badan kita tidak selalu bergerak. Maka bergerak, menggerakkan seluruh otot tubuh yang paling kecil sekalipun, layak menjadi keharusan. Hanya apabila kita selalu bergerak, melakukan semua pekerjaan harian sendiri, seluruh otot tubuh ikut aktif, maka secara fisik kita lebih sehat. Idealnya menurut Cooper, penggagas Aerobic, kita wajib berjalan kaki tergopoh-gopoh setiap hari barang 50 menit seminggu bisa 6 kali.
Apakah kita juga sudah mendengarkan “suara tubuh” secara bijak. Hanya makan kalau sedang lapar saja, hanya minum kalau haus saja, dan menyimak apa pun yang menjadi jeritan tubuh. Kalau lutut terasa nyeri, pikirkan kemungkinan lutut sedang menjerit. Dengarkan. Kalau dada terasa nyeri, mungkin jantung sedang menjerit, dengarkan. Kalau dada terasa sesak, mungkin paru-paru sedang menjerit, dengarkan. Kalau perut terasa nyeri, mungkin usus sedang menjerit, dengarkan. Kalau kepala terasa nyeri, mungkin otak sedang menjerit, dengarkan. Hanya bila kita mendengarkan apa pun jeritan tubuh, maka selagi masih awal kita minta pertolongan dokter untuk mendeteksinya, siapa tahu benar ada organ tubuh kita yang sedang menjerit. Jeritan yang masih sangat awal, sekiranya itu betul masalah medis, sehingga penanganan medisnya masih mudah, murah, dan tidak harus telanjur merusak organ tubuh akibat komplikasi lantaran dibiarkan terus menjerit, dan kita tidak mengindahkannya.
Kalau kita sudah telanjur mengidap suatu penyakit, sudahkah kita mengobatinya, dan mengendalikannya agar penyakit tidak berkembang menjadi penyakit menahun. Penyakit menahun yang tidak terkendali akan berubah menjadi penyakit kritis yang ongkos mengobatinya berlipat kali lebih mahal. Hanya bila semua penyakit yang kita idap, berhasil kita kendalikan, kita menjadi sama sehatnya dengan orang yang tidak mengidap penyakit. Sebaliknya, waspada mereka yang tidak memiliki penyakit, tak punya keturunan penyakit apa pun, kalau tidak fokus berpikir untuk sehat, tepat memilih gaya hidup, maka tubuhnya akan menderita lalu menjadi semakin rusak. Tidak semua kerusakan tubuh bisa diperbaiki, berapa pun uang dan harta kita punya.
Soal kesehatan jiwa kita, apakah kita sudah bersahabat dan cukup pandai hidup berdampingan dengan aneka stressor yang menghadang dalam kehidupan kita sehari-hari. Bohong kalau dalam hidup kita terbebas dari stressor tekanan, konflik, frustrasi, serta krisis. Semua orang, besar kecil tua muda lelaki perempuan, kaya papa, tentu dihadang oleh aneka stressor dalam keseharian. Hanya bila ketahanan jiwa kita kokoh, akibat kita dilatih lalu terlatih hidup prihatin, demikian juga selama masa kanak-kanak, maka kita kebal untuk tidak rentan jatuh stres.
Sama halnya dengan badan yang memerlukan imunisasi supaya kebal terhadap penyakit infeksi, jiwa juga perlu dikebalkan terhadap serangan stressor yang tak terelakkan, dengan membangun ketahanan jiwa. Caranya jiwa harus digembleng tidak lembek, dengan hidup prihatin, pernah merasa sedih, putus asa, kecewa, hidup susah. Hanya bila jiwa pernah mengalami semua itu, tidak rentan jatuh stres. Melatih jiwa untuk lekas bersyukur, dan ekspektasi dalam hidup tidak muluk-muluk.
Ingat paradigma “Jangan didik jadi orang kaya, tapi didik mereka jadi orang berbahagia. Bila anak dididik jadi orang kaya, maka anak melihat segala sesuatu sebagai harga, dan bukan sebagai nilai. Menghargai orang dari apa yang dimiliki, bukan dari isi kepala dan kepribadian, integritasnya. Kekayaan, kepemilikan harta, dan kekuasaan, tidak menambah kebahagiaan manusia.
Berpikir positif, tidak dengki iri hati dan syak wasangka, karena itu berpengaruh buruk pada jiwa. Yakinilah bahwa perbuatan baik saja yang kita lakukan, resonansinya akan bergetar positif terhadap kehidupan kita ke depan nanti.
Hidup prihatin itu bersusah-susah dahulu, bersenang-senang kemudian. Mendahulukan kewajiban baru mengharapkan hak.
Hanya bila kita membangun religiusitas, bahkan lebih dari itu, yakni spiritualitas yang sehat saja, maka jiwa kita ayem. Banyak orang hanya benar arah hidupnya, jalan hidupnya, namun mengabaikan bagaimana benar cara menempuhnya di hadapan Sang Khalik. Kalau bisnis, berbisnis yang benar di mata Sang Khalik. Kalau bergaul, bergaul juga yang benar di mata Sang Khalik. Begitu pula, apa pun tindakan, sikap, dan perilaku kita perlu benar di mata Sang Khalik. Hanya bila itu semua kita sikapi, maka akan ayem hidup kita.
Sekarang semakin banyak orang cacat moralnya, karena memilih kelakuan yang tidak benar di mata Sang Khalik. Banyak orang mengaku beragama, tekun beribadah, namun kita melihat yang korupsi tidak berkurang. Artinya benar hanya arah hidup, namun tidak benar cara menempuhnya. Sayang sekali kalau prestasi, reputasi, nama (besar) yang kita bangun, menjadi runtuh hanya karena cara kita menempuh hidup ini tidak benar di mata Sang Khalik. Maka perlu berpikir benar.
Sehat berikutnya, seyogianya sehat secara sosial juga, selain sehat secara spiritualitas sebagaimana sudah diungkap di atas. Kita hidup guyub dalam kebersamaan. Melihat sesama sebagai saudara sendiri. Melihat keberagaman sebagai anugerah, sehingga hidup rukun, karena sama-sama cucu Adam-Hawa. Kita semua di dunia mewarisi gen yang sama, maka kita menjadi insan adiluhung kalau melihat semua insan adalah sama, dan itu merupakan bagian dari berpikir egaliter.
Demikian, hendaknya kita semua punya permenanungan di ujung tahun, sekurangnya bersepakat menegakkan fokus untuk berpikir sehat, apa pun sikap, tindakan, dan perilaku keseharian kita. Tujuannya bagaimana hidup memberi kita sebanyak-banyak kebahagiaan.
Salam sehat.
Dr HANDRAWAN NADESUL

No comments:

Post a Comment