Thursday, December 21, 2017

WARISAN

WARISAN
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh...
Kebetulan saya lahir di Indonesia dari pasangan muslim, maka saya beragama Islam. Seandainya saja saya lahir di Holland atau Israel dari keluarga Kristen atau Yahudi, apakah ada jaminan bahwa hari ini saya memeluk Islam sebagai agama saya? Tentu Tidak.
Saya tidak bisa memilih dari keluarga mana saya akan lahir dan di mana saya akan tinggal setelah dilahirkan. Kewarganegaraan saya warisan, nama saya warisan, dan agama saya juga warisan.
Untungnya, saya belum pernah bersitegang dengan orang-orang yang memiliki warisan berbeda-beda karena saya tahu bahwa mereka juga tidak bisa memilih apa yang akan mereka terima sebagai warisan dari orangtua dan negara mereka.
Setelah beberapa menit kita lahir, lingkungan menentukan agama, ras, suku, dan kebangsaan kita. Setelah itu, kita membela sampai mati segala hal yang bahkan tidak pernah kita putuskan sendiri. Sejak masih bayi saya didoktrin bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar. Saya mengasihani mereka yang bukan muslim, sebab mereka kafir dan matinya masuk neraka.
Ternyata..., Umat Kristen  juga punya anggapan yang sama terhadap agamanya. Mereka mengasihani orang yang tidak mengimani Yesus sebagai Tuhan, karena orang-orang ini akan masuk neraka, begitulah ajaran agama mereka berkata.
Maka..., bayangkan jika kita tak henti-hentinya menarik satu sama lainnya agar berpindah agama, bayangkan jika masing-masing umat agama tak henti saling beradu superioritas seperti itu, padahal tak akan ada titik temu.
Jalaluddin Rumi mengatakan; "Kebenaran adalah selembar cermin di tangan Tuhan; yang jatuh dan pecah berkeping-keping. Setiap orang memungut kepingan itu, memperhatikannya, lalu berpikir telah memiliki kebenaran secara utuh."
Latar belakang dari semua perselisihan adalah karena masing-masing warisan mengklaim, "Golonganku adalah yang terbaik karena Tuhan sendiri yang mengatakannya".
Lantas..., pertanyaan saya adalah; kalau bukan Tuhan, siapa lagi yang menciptakan para Muslim, Yahudi, Nasrani, Buddha, Hindu, bahkan atheis dan memelihara mereka semua sampai hari ini?
Tidak ada yang meragukan kekuasaan Tuhan. Jika Dia mau, Dia bisa saja menjadikan kita semua sama. Serupa. Seagama. Sebangsa. Tapi tidak, kan?
Apakah jika suatu negara dihuni oleh rakyat dengan agama yang sama, hal itu akan menjamin kerukunan?  Tidak! Nyatanya, beberapa negara masih rusuh juga padahal agama dan rakyatnya sama.
Oleh karena itu, jangan heran ketika sentimen mayoritas vs minoritas masih berkuasa, maka sisi kemanusiaan kita mendadak hilang entah kemana.
Bayangkan juga seandainya masing-masing agama menuntut agar kitab sucinya digunakan sebagai dasar negara. Maka, tinggal tunggu saja kehancuran Indonesia kita.
Karena itulah yang digunakan negara dalam mengambil kebijakan dalam bidang politik, hukum, atau kemanusiaan bukanlah Alquran, Injil, Tripitaka, Weda, atau kitab suci sebuah agama, melainkan Pancasila, Undang-Undang Dasar '45, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika
Dalam perspektif Pancasila, setiap pemeluk agama bebas meyakini dan menjalankan ajaran agamanya, tapi mereka tak berhak memaksakan sudut pandang dan ajaran agamanya untuk ditempatkan sebagai tolakukur terhadap pemeluk agama lain.
Hanya karena merasa paling benar, umat agama A tidak berhak memaksakan kebijakan suatu negara yang terdiri dari bermacam keyakinan.
Suatu hari di masa depan, kita akan menceritakan pada anak cucu kita betapa negara ini nyaris tercerai berai bukan karena bom, senjata, peluru, atau rudal, tapi karena orang-orangnya saling mengunggulkan bahkan meributkan warisan masing-masing di media sosial.
Ketika negara lain sudah pergi ke bulan atau merancang teknologi yang memajukan peradaban, kita masih sibuk meributkan soal warisan
Kita tidak harus berpikiran sama, tapi marilah kita sama-sama berpikir untuk keutuhan dan kemajuan bangsa ini, agar kita bisa bersaing dengan bangsa-bangsa lain yang terus mengembangkan teknologi untuk memperbaiki peradaban manusia. Sayangnya, kita banyak ketinggalan, mari sama-sama kita berpikir dan berkarya bagaimana bangsa Indonesia bisa mengejar ketinggalan ini.
Wasallam, Mimuk Bambang Irawan

No comments:

Post a Comment