Tuesday, May 5, 2020

VENEZUELA, SEBUAH CONTOH

Ketika harga minyak dunia sedang melambung tinggi,  Venezuela  menasionalisasi perusahaan Migas nya.

Maka jadilah Venezuela sebagai negara terkaya di dunia..., dalam hal penguasaan Sumber Daya Alam Migas.

Mereka menggunakan kelebihan dollar..., dengan membeli emas.  

Kemudian..., emas itu dijadikan jaminan untuk mencetak uang.

Para PNS gajinya naik berlipat..., orang miskin dapat uang..., para pengangguran dapat uang juga setiap bulan. 

Upah para buruh...,  setara dengan upah di negara maju. 

Karena itu..., Partai Sosialis yang berkuasa..., seakan  menjadi dewa bagi rakyat. 

Bahkan orang venezuela berkata...:

“Tuhan hadir di dunia..., melalui Partai Sosialis....“.

Ketika harga minyak dunia mulai turun...., maka otomatis  pendapatan juga turun. 

Sementara..., biaya sosial terus meningkat. 

Lama-lama devisa habis..., dan pemerintah Venezuela meminjam ke luar negeri dengan skema counter trade untuk membeli barang barang konsumsi rakyat. 

Counter trade ..., adalah sebuah konsep yang membahas mengenai kegiatan ekspor dan impor suatu negara...; yang mana dari kegiatan ekspor dan impor tersebut disertakan sebuah perjanjian yang di dalamnya berisikan mengenai perjanjian untuk pembelian barang kembali..., transfer teknologi..., dan lain sebagainya.

Uang terus dicetak...,  untuk memenuhi belanja sosial. 

Karena volume kontrak counter trade sudah di atas limit..., sehingga tidak ada lagi yang bisa diijonkan. 

Maka..., mereka menjual cadangan emas untuk impor barang kebutuhan dalam negeri.  

Saat itulah mata uang Venezuela jatuh..., dan terus jatuh karena pemerintah tidak bisa lagi berhutang untuk impor barang..., apalagi cadangan emas nya sudah habis. 

Tapi karena kebutuhan belanja sosial kepada rakyat tidak bisa ditunda..., pemerintah Venezuela terus mencetak uang dan membagikannya kepada rakyat. 

Tetapi..., barang-barang kebutuhan rakyat sangat terbatas di pasar. 

Semua kebutuhan dalam negeri..., baik untuk impor bahan baku industri maupun konsumsi rakyat...; Venezuela masih tergantung impor. 

Letter of Credit (LC) yang diterbitkan bank-bank di Venezuela..., tidak lagi diakui internasional.

Pabrik tutup..., jaringan ritel tutup..., harga-hargapun melambung.

Tapi..., pemerintah Venezuela tidak kehilangan akal.

Mereka meningkatkan uang beredar dengan mencetak uang..., dan membagikannya lebih banyak kepada rakyat.

Namun akhirnya...,  barang yang tersedia di pasar sudah sangat terbatas. 

Mana ada pedagang yang mau dibayar dengan kertas senilai tissue toilet. 

Uang..., sudah tidak ada nilainya.  

Karena uang tidak laku..., rakyat menjual apa saja untuk makan. 

Mengapa....? 

Karena mereka tidak terlatih struggle..., terbiasa disuapin dengan politik populis. 

Bahkan..., ada yang menjual anak gadisnya untuk sepiring spaghetti. 

Di tengah krisis multidimensi..., Venezuela harus menghadapi pandemi COVID-19. 

Bagaimana mereka bisa bertarung...?

Sebelum ada COVID-19 saja mereka sudah menderita kelangkaan obat...,  akibat tidak ada uang impor obat. 

Andai mereka berhasil menemukan sebotol alkohol (disinfektan) di pasar..., harganya 300.000 Bolivares ($ 4,17).

Sementara..., upah minimum sebulan 350.000 Bolivares  (dinilai hanya $ 4,85). 

Keadaan ini memaksa mereka memilih...: makan atau obat. 

Apapun pilihannya..., resikonya sama saja. 

Mereka juga tidak bisa lagi mengambil uang bansos di Bank..., karena senilai USD 50 mata uang mereka harus diangkut dengan truk mini.

Oleh karena itu...; kIta harus bersyukur punya pemimpin hebat..., yang tidak terjebak politik populis yang mengutamakan solusi mencetak uang. 

Walaupun kita mengeluarkan stimulus sebesar Rp. 405 T..., namun yang dibagikan untuk bansos hanya 25% saja. 

75 % tetap untuk tujuan produksi..., agar setelah Juni kita kebut kerjakan lagi proyek-proyek. 

Mari bersyukur…, karena kita tidak sengsara seperti Venezuela...; yang diberi Tuhan kekayaan Migas dengan deposit terbesar di dunia tetapi kelaparan. 

Itulah harga dari kebodohan politikus populis.

Rahayu (Babo inspired.....)

No comments:

Post a Comment